Skip to main content

Andai Aku Menjadi Ketua KPK



SEMASA SD, sekitar 15 tahun lalu, bu guru menyuruh saya menjualkan dagangan beliau berupa gorengan dan es lilin di sekolah. Alasan bu guru, karena saya pintar dan punya banyak teman. Riang gembira saya menjual panganan itu pada jam istirahat. Banyak yang laku. Ketika bel tanda sekolah usai, saya melaporkan hasil penjualan dan –yang saya tunggu-tunggu- bu guru memberi saya upah sekian ribu rupiah dari jerih payah itu. Ibu dan ayah tahu hal ini. Mereka diam saja, mungkin terlalu sibuk berjualan kian kemari. Sudahlah, yang pasti saya mendapat tambahan jajan waktu itu.

Ketika saya menonton film pendek Kita vs KPK yang settingnya di sekolah dengan tema yang sama; membantu guru berjualan kemudian mendapatkan komisi, saya terbahak sekaligus insaf. Satu sisi ini tamparan bagi masa lalu saya di SD. Sisi lain, ya, bisa jadi ini salah satu perilaku kecil yang tidak disadari, guru maupun siswa, yang kelak berpotensi besar pada perilaku gemar korupsi. Memang, ucapan terima kasih dari orang dewasa kepada anak kecil atau remaja sering dalam bentuk uang tunai ketimbang yang lain. Ini dianggap simpel dan lebih ampuh. Tapi, coba bayangkan dampaknya kelak, saya yang baru 8 tahun sudah diajari oleh guru sendiri untuk belajar menerima ‘gratifikasi’, meski ‘gratifikasi’ itu dibungkus dengan retorika ‘upah belajar kerja keras’. Retorika yang luar biasa!

Nah, kemudian saya ditantang oleh KPK RI beserta Tempo, apa yang akan saya perbuat seandainya saya menjadi ketua KPK. Bagi saya fungsi dan tugas KPK RI secara tertulis sudah sangat mulia, mantap, komprehensif, dan sangat Pancasilais. Pelaksanaannya juga sudah profesional, patuh etika, dan sangat signifikan membuat koruptor bergidik selama 12 tahun ini. Tapi, kenapa koruptor tak jera-jera di negeri kita? Sejenak, mari kita berkaca siapa diri.

Hemat saya, suap dan gratifikasi sebagai awal dari perilaku korupsi bukanlah budaya bangsa kita. Perilaku ini membumi karena etika, nurani, dan budaya malu menyusut. Ia tak lebih dihargai dari lembaran ‘apel malang’ dan ‘apel washington’ saja. Sementara itu, cepat lupa akan saudara yang hidup di bantaran kali seperti tumpukan sangkar burung; berisik, kumuh, lapar, dan (di) bodoh (kan). Belum lagi mirisnya mereka yang buruh diobral di negeri tetangga bak pakaian bekas. Sementara, pajak mereka bertriliun itu dijarah, digondol ke negeri orang, dan dipakai sesuka hati hanya untuk kepentingan perut sendiri. Seberapa canggih pun sistem, hukum, undang-undang dibuat untuk memberantas korupsi jika nurani dan etika kita tak lagi utuh melekat pada badan, saya mengundurkan diri saja jadi ketua KPK.

Bukan saya pesimis, bukan saya tidak cinta Indonesa, tapi mari kita mulai bekerja pada level bawah dan kecil-kecil menyangkut etika, nurani, dan budaya malu. Misalnya, di keluarga, di sekolah, di kelurahan, di kantor camat, di jajaran birokrasi, di kantor pajak, di partai-partai, di LSM, di APBD-APBN, di BUMN, di swasta-swasta, dan seterusnya. Saya heran, kenapa kita tidak malu menyuap? Dan tidak merasa terhina menerima suap? Bukankah menyuap dan menerima suap itu sebagai tanda kita lemah, bodoh, tapi kalah dengan hasrat kemaruk dan loba. Jika posisi Abraham Samad itu diganti dengan saya, selain hukum dan keadilan memang harus tegak dengan semestinya, hukum masyarakat pun (norma, etika, budaya, adat, dll) juga harus dikaji ulang, didefinisikan kembali, dan diterapkan sesuai dengan asas-asas kemanusiaan dan keadilan universal.


#foto dari google.co.id

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...

Gilby Mohammad