Skip to main content

[muse] cinta yang terlalu pedas


(narasi 1)
maafkan aku, katamu.
aku takut,
aku bingung,
aku canggung menatap mata orang-orang,
tapi, ternyata aku jauh lebih takut kehilanganmu, tutupmu.


dengan canggung kupeluk pinggangmu dari belakang. kubisikkan, bahwa keberanianmu mencintaiku sudah anugerah bagiku. kau terisak. aku terisak. kita, dua remaja perempuan yang terlalu pedas mendefinisikan cinta.

apa boleh buat, cinta sepasang kekasih dijatuhkan kepada kita. cinta dianugerahkan kepada siapa saja. namun, ketika cinta itu menimpa kita berdua, kenapa orang-orang dengan lantang mencibir kita? barangkali kamu tahu itu. dan aku, aku tak peduli. cinta yang kuat ini, jika akan mematahkan kaki dan tanganku, maka kuterima. selama penasaranku padamu terkuak, cinta yang pedas ini akan kupelihara.

ini adegan detik-detik terakhir film remaja lesbian yes or no. film ini khas dari negara thailand yang memang liberal akan soalan homoseksual. film ini dramatis, ironis, lucu, dan sangat menghibur. saya, sudah tak terhitung kali menontonnya. daya tarik utama, selain bercerita tentang remaja lesbian, juga para lakon yang sangat charming dan manis. aksi-aksi mereka lucu dan seolah-olah alami. misal, scene kim dan pie berciuman mesra setelah bertengkar habis di bawah guyuran hujan malam. apa ya? mmm, adegan ini berhasil mengaduk emosi penonton. bukan romantisnya, tapi terpublikasinya hubungan lesbian remaja ini.

konon, film ini adalah film pertama yang bercerita tentang lesbian remaja di thailand. fans film ini cukup semarak di indonesia. terutama dari remaja putri. dan tentu saja oleh mereka yang menjalin hubungan cinta yang pedas, serupa hubungan kim dan pie. saya, juga terbawa sebagai fans film ini. tadinya sebagai sarana menganalisis fenomena lesbian remaja, eh lama-kelamaan kok ketagihan mengetahui kabar terbaru tentang yes or no, atau tentang kim dan pie. pelan tapi pasti menjadi fanatik.

sebagai fans, dan sebagai eks tomboy, saya seolah-olah disadarkan oleh film ini. saya disadarkan bahwa saya ialah saya yang saya mau yang lahir dari dalam diri. bukan oleh karena teman dan lingkungan. hingga hari ini, saya merasa nyaman dengan ketomboyan saya. meski itu dibungkus dengan sifat feminin yang kadang dominan. sementara hubungan lesbian remaja, saya belum menemukan radar itu di diri saya.

film ini secara tersirat tidak hanya berkisah cinta yang pedas, lesbian remaja. tapi dalam ranah heterokseksual pun juga berarti. ya seperti kisah klasik itu. leela dan majnun. romeo dan juliet. atau si kaya dan si miskin.

(narasi 2)
hingga hari ini kamu tak pernah menatap mataku dengan jujur, kataku padamu.
kamu, selalu takut kepada orang-orang akan hubungan cinta kita yang timpang,
kamu, mementingkan cinta kita sebagai kesekian setelah ibumu, saudaramu, dan karibmu,
tapi aku, aku selalu menerima,
karena aku, aku terjebak,
terjebak dengan cinta yang pedas ini,
kubiarkan kau menyebutku apa saja,
asal kau senang, aku senang,
asal kau riang, aku riang,

kau benturkan kepalamu pada dadaku,
terisak payah kau minta maaf,
pasti aku maafkan,
tapi, dalam telepon kau masih menyebutku sebagai teman,



iron shell, 25/12/12

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...