Skip to main content

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord


Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan.

Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (hegemoni), melainkan pada saat yang bersamaan penonton juga terasing (alienasi) dalam relasi sosial dan standar nilai yang mengindetifikasikan diri mereka.

Media massa sebagai bagian dari industri budaya adalah korporasi dari sistem ideologi ekonomi kapitalisme. Media melakukan representasi dan komodifikasi berita, informasi, dan hiburan sebagai langkah strategis untuk memproduksi komoditas demi meraup keuntungan yang berdampak kepada pamor atau rating industri media tersebut.

Dalam masyarakat tontonan, media massa sekaligus menjadi tontonan (spectacle) itu sendiri. Media tidak hanya berperan sebagai ‘pasar’, mengiklankan banyak produk, melainkan juga memproduksi citra individu secara positif. Misalnya selebritis dan diidolakan. Dalam konteks ini, media menjadikan penonton sebagai konsumen aktif atas komoditi yang diidolakan. Pada sisi lain, sang idola, tanpa disadari juga ikut serta ‘dijual’ oleh media sebagai rezim konstruksi realitas. Industri budaya memanipulasi penonton tidak sekedar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua (lebih banyak) artefak budaya sebagai produk industri dan komoditas belaka.

Oleh karena itu Debord menulis, masyarakat modern adalah akumulasi dari tontonan (spectacle) yang tak terhingga. Apa yang telah dihidupi menjadi representasi semata. Kehadiran spectacle sepertinya menyatu dengan kehidupan masyarakat, padahal dalam realitas autentik terpisah satu dengan yang lain. Sehingga yang tampak adalah imajinasi yang tersusun rapi dalam kesadaran semu masyarakat.

Agaknya fenomena ini sejalan dengan alasan sikap pesimistik Adorno dan Horkheimer bahwa industri budaya, termasuk media, turut menawarkan kebutuhan dan citra palsu. Penonton mencari kepuasan melalui konsumsi semu, demi sebuah kepentingan tertentu. Kepentingan ini tidak lepas dari keuntungan industri atas segala bentuk produk budaya.

Comments

  1. Commodity market fluctuations depends upon the global market activities.The best solution will be Provided by us only.

    [url="http://commodityonlinetips.in/trading-advisory"]http://commodityonlinetips.in/trading-advisory[/url]

    ReplyDelete
  2. Media have a great influence in making the image of industry among audience.
    http://100mcxtips.in

    ReplyDelete

Post a Comment

Silahkan berkomentar ^_^

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id