"Bocah itu, kemarin yang meminta-minta padaku.”
"Kamu kasih berapa?"
"Ogah ah, emang aku bodoh."
"Heheheh, kirain."
Sangat jernih kata-kata yang diucapkan bocah-bocah itu. “Minta duit Bang. Buk. Pak”. Anak-anak jalanan, mungkin juga tidak. Mereka, suka minta-minta pada orang-orang. Kadang di pasar, di terminal, di SPBU juga. Tak takut.
Pakaian seadanya. Celana pendek tambalan di paha, kaos oblong lusuh, dan kaki tak beralas. Kadang membawa plastik, isinya beras, dan macam lainnya. Kadang juga lenggang kangkung. Ketiganya laki-laki, belum beruntung. Si tua, sekitar 13 tahun, tengah, 10 tahun, dan yang kecil 8 tahun. Sama-sama plontos.
Hari itu, mereka di pasar. Awalnya, pagi hari tak bawa apa-apa. Celingak-celinguk di belakang orang-orang yang sedang jual beli. Tangan dibelit di belakang pinggang. Jalan beriringan. Jangan berpisah. Dan jangan takut nanti kalau tak makan. Sudah biasa. Kalimat terakhir, kalimat iseng dari kami.
“Kamu sering lihat mereka?” Tanya Arman padaku.
“Tiga kali. Di terminal, dan dua kali di sini.”
Sudahlah, lanjutkan saja apa yang akan kita beli pagi ini, pintaku pada Arman. Dia hanya mengangguk. Baru dua hari kami menginjakkan kaki di kampung ini. Aku dan Arman, mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) selama enam bulan dari salah satu perguruan swasta di kota kabupaten, 398 kilometer dari sini.
Aku sudah melarang Arman agar tak lagi mencurahkan perhatiannya pada si bocah yang lalu lalang di kerumunan orang pasar. Dan aku sudah jelaskan apa dan bagaimana tentang kehidupan si bocah ingusan pada temanku ini. Info yang aku peroleh, bocah-bocah ini anak piatu. Tak punya bapak. Sudah dua tahun katanya. Tetap saja teman satu kampusku ini mengekori bocah-bocah tersebut. Aku tak ambil pusing.
Aku lelah. Kami berhenti sejenak. Arman masih mencari si bocah dengan sudut matanya. Aku pun sibuk dengan es kelapa muda di tangan. Ah, biarlah. Nanti dia juga tak tartarik lagi, capek. Pikirku dalam hati.
“Kamu tahu nama-nama mereka?”
“Belum,” tolehku pada Arman.
“Aku mau kenalan dengan mereka,” ujarnya sambil menyeringai.
“Mending sama gadis desa di sini, Man. Lebih afdol,”
“Mana tau mereka bisa dijadikan teman,” alihnya.
“Teman apaan?”
“Disuruh beli rokok,” ucapnya sambil berlalu.
Aku diam saja. Tidak mengerti. Dan tak kuhiraukan.
***
Arman, temanku sejak tiga tahun lalu. Baru menginjak perguruan tinggi tersebut, aku telah mulai berkawan dengannya. Asal, ibu kota Jakarta. Sekolah Menengah Atas di Depok. Kota yang cukup rindang jika dibanding Jakarta. Sejuk, dan tempat berdirinya perguruan tinggi terbesar di Negeri ini, Universitas Indonesia. Itu cerita Arman padaku suatu waktu di musim ujian lalu.
Awal kuliah, Arman selalu menjadi acuan teman-temanku. Khususnya bahasa yang ia gunakan sehari-hari di kampus. Dialek Jakarta banget. Belum lagi pakaian dan sepatunya. Selain dari otaknya yang cukup encer juga keterampilannya memainkan alat musik, gitar, sebagai bassist. Cukup menghipnotis para gadis jika sedang manggung di atas panggung. Seperti Ariel ‘Peterpan’ kata teman gadisku, suatu hari dimusim lalu. Itu Arman di awal kuliah.
Sekarang, aku dan Arman, telah menginjak semester delapan. Banyak berubah, dan itu mungkin kesengajaan. Mengingat tuntutan kami jauh lebih besar dibanding tahun-tahun lalu. Menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang semakin banyak dan tentunya lebih berat. Belum ditambah dengan kegiatan-kegiatan lain, seperti pelatihan, seminar, dan temu-temu lainnya. Entah untuk apa. Sampai saat ini aku belum memetik manfaatnya.
Kini, sudah lima bulan aku tak banyak berkomunikasi dengan Arman. Tak seperti awal kuliah beberapa tahun lalu. Aku hanya bercakap dengannya jika ada keperluan penting saja. Atau hanya kebetulan. Aku lebih memfokuskan diri pada penyusunan tugas akhir kuliah. Kuambil penelitian bersifat kuantitatif, Arman kualitatif. Perbedaan yang signifikan, pikirku. Bahan dan referensi penyusunan tugas akhir pun tak bisa ditemukan pada satu tempat. Namun kami bisa disandingkan pada satu desa sewaktu KKN ini. Ini aneh bagiku.
Sebenarnya Arman tak butuh hal-hal yang berbau kuliah kerja nyata, magang, dan lain-lain. Toh tugas akhirnya bisa dikerjakan dengan tanpa cara ini.
“Tapi saya ingin jalan-jalan, dan nemenin kamu, suntuk!”
“Ini baru sohib,”
“Aku senang sekali, Man,” lanjutku.
Dan sampailah kami di desa ini.
Dulu, keseharian Arman setelah tidak lagi tergabung dengan teman-teman bandnya, hanya duduk di koridor jurusan kami. Duduk di sana, berlama-lama, dan betah sekali. Aku dengar dari beberapa teman lamaku perihal Arman. Walau aku tak bisa langsung bertemu muka dengannya, namun apa saja kegiatan yang ia lakukan, aku selalu tahu.
Setahuku, sejak kami telah jarang berkomunikasi, Arman semakin disibukkan dengan teman-teman mayanya. Sepertiga dari waktunya acapkali dihabiskan di depan komputer jinjing. Hampir setiap hari ia lakukan hal itu. Dengan sukacita ia selalu memberi kabar tentang dirinya dan menanyakan balik. Bercengkerama, berbagi cerita, dan saling mengirim pesan.
Arman kadang menceritakan kenikmatan berinteraksi dengan teman-teman mayanya kepadaku. Setiap ada kesempatan kami berjumpa, Arman menerangkan apa saja yang ia lakukan dalam dunia mayanya. Mulai dari perkenalan konyol sampai pada keinginan akan melamar seorang dari mereka. Namun dilain hari, Arman telah memutuskan mereka, bahkan menyumpahi. Hal ini tak asing bagiku. Begitulah Arman, di mataku.
***
“Man, tolong ambilkan asbak di kakimu,”
“Rokoknya habis ya,”
Aku mengangguk. Kutawarkan agar Arman membeli rokok lagi. Namun ia hanya diam. Melihatnya tak bereaksi, aku kembali pada bukuku. Kularutkan pikiran dalam tata kelola sebuah ruangan yang akan menjadi objek penelitian dari tugas akhirku. Tata kelola ruangan sebuah rumah megah abad 15. Peninggalan leluhur bangsa Indonesia yang sampai sekarang tidak dikenal banyak generasi. Generasi terlalu sibuk dengan dongeng tempo dulu yang indah dan jaya-jaya. Tapi lupa pada hakikat sebuah perjuangan.
Sebentar saja, pikiranku sudah melayang kemana-mana. Mulai dari teman-teman di kampus, orang tua, gadisku yang menjauh, dan berujung pada Arman. Kutolehkan pandangan pada tempat duduk teman sekampus ku ini, Arman tak di situ lagi. Kemana dia? Kubiarkan saja ia menghilang. Sebentar lagi matahari turun. pak tani yang biasa lewat pagi hari di samping rumah ini akan kembali lewat, pulang ke rumahnya. Arman akan kembali. Kupicingkan mata, mengingat masa indah dengan gadisku yang menjauh di sana dan terlelap.
Jam beker hitam, di atas meja bersama tumpukan buku-buku menunjukkan tepat pukul delapan malam. Aku baru terjaga dari tidur lelap dengan gadisku. Pandangan di luar jendela gelap. Tak ada bintang apalagi bulan. Kuangkat tubuh yang lunglai ini. Kubiarkan jendela menganga. Kebiasan baru kami di rumah ini. AC alam, terang Arman pada malam pertama kami menginap.
Mataku mencari-cari Arman. Sudah malam begini, di tengah desa sepi dan kerlap-kerlip lampu kecil, masih juga keluyuran. Apa yang dicari pukimae itu, umpatku. Berat hati, kuturunkan kakiku dari lantai rumah ini. Kususuri jalan setapak, tak lupa menutup pintu. Dengan bantuan senter baterai kumulai bergerilya mencari lelaki jalang di kampung ini. Begitu kunamai Arman malam itu. Sesekali kuberpapasan dengan orang-orang desa, kebanyakan bapak-bapak, berkain sarung dan berbaju panjang lengan. Itu saja, menuju kedai menghilangkan penat setelah seharian bergumal dengan tanah dan kerbau.
Dimana Arman. Tidak biasanya ia pergi semalam ini dan tak mengajakku. Sudah dua puluh rumah, kakiku beranjak dari tempat hunian. Di ujung jalan ini ada surau. Arman tak pernah ke surau selama di kampung ini. Namun kujejali juga surau yang mulai sepi itu. Kiri kanan surau ada lorong lepas, langsung berbatasan dengan rumah penduduk. Lorong kanan kosong, sedikit temaram karena di sampingnya rumah warga berpenghuni. Lorong kiri juga kosong, sekilas. Gelap, hanya samar-samar cahaya dari surau. Tak ada Arman.
Tiba-tiba, dua bocah lari terbirit-birit ketakutan dari samping kananku. Segera mereka meninggalkanku tanpa sapa. Langkah kakinya membuatku menoleh, aku sangat yakin mereka bocah peminta-minta di pasar tempo hari. Malam-malam begini masih berkeliaran. Kudekati arah kira-kira dimana mereka keluar. Lorong kiri. Tempat segelap ini. Sebelum kutinggalkan lorong tak berguna itu, sayup-sayup kudengar suara tertahan dari balik semak-semak rumah warga yang kosong. Bergoyang-goyang dengan frekuensi tak menentu. Hentakan-hentakan kebinalan. Serta rintihan kepasrahan.
Kemeja putih dengan garis-garis hitam vertikal, mencengkeram benda bulat, kepala manusia. Kudongakkan kepalaku di sela-sela dedaunan. Senyum kepuasan mengembang dari raut wajah laki-laki yang seminggu ini satu peraduan denganku. Sedetik pikiranku tak terkendali, dan didetik lain kutelah kembali pada jasadku. Tak butuh waktu lama, kutinggalkan tempat jahanan itu. Kerongkonganku tercekal, mataku memanas dengan tangan terkepal.
Pagi-pagi sekali aku terbangun. Sebuah benda melingkari pinggangku, Arman, pulas dengan piyamanya. Aku terpaku. Dan jendela menganga melukiskan awan hitam nan berat.
Padang 2010
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^