Skip to main content

Jadi Jurnalis Profesional, Tak (Lagi) Kuli Tinta





Memilah-milah sumber atau ide berita yang menarik, penting, dan bermakna untuk ditulis merupakan suatu hal yang harus diperhatikan oleh seorang jurnalis atau wartawan. Hal ini disampaikan Yurnaldi, Redaktur Harian Kompas, dalam workshop menulis feature, Minggu (4/7) lalu di lokal GL 9 UNP.
Seorang wartawan, tambahnya, dituntut untuk jeli bagaimana mengemas berita yang diperlukan dan bermakna bagi masyarakat di tengah persaingan media massa yang begitu ketat. Selain itu, wartawan harus mempunyai manajemen berita, mulai dari perencanaan, peliputan ke lapangan, menyeleksi data, penulisan, dan kemudian evaluasi. “Seorang wartawan harus kaya gagasan,” terang Yurnaldi di depan 40 peserta workshop.
Penulis buku best seller Menjadi Wartawan Hebat ini, juga menjelaskan tentang etika-etika yang harus dihormati wartawan sebagai pekerja publik. Seperti kejujuran, independensi, kebal suap, keseimbangan meliput dua sisi (cover both side), serta tetap menghormati undang-undang dan hukum yang berlaku. “Bekerjalah sebagai wartawan profesional dan tidak tukang atau kuli tinta,” tutupnya dalam penyampaian makalah yang berjudul Menggali Sumber Berita, Menulis dengan Luar Biasa.
Dalam workshop ini, Yurnaldi mencontohkan bagaimana menulis feature dengan mengangkatkan hal-hal kecil yang ada di lingkungan sekitar. Seperti mengungkapkan keunggulan bengkoang dari Kota Padang, yang menjadikan bengkoang sebagai cirri khas kota ini. Kearifan dan produk-produk lokal bisa dijadikan sumber tulisan. “Tinggal bagaimana penulis mengemasnya menjadi sebuah tulisan yang menarik,” jelasnya.
Sementara itu, Yurnaldi juga mengenai sosok wartawan yang diperhitungkan baik oleh sesama wartawan, media tempatnya bekerja, serta pihak lain. Seorang wartawan dituntut tidak hanya mampu melahirkan ide-ide bernas, tetapi juga mampu menuliskannya dengan sangat apik, cerdas, dan bermanfaat bagi pembaca atau khalayak ramai.
Dalam menuliskan ide-ide yang telah didapat, tambah Yurnaldi, adalah bagaimana wartawan menulis mencakup, menjelaskan, ringkas, dan menarik. Rumusannya tentu tidak berubah dari 5W + 1 H (what, who, when, where, why, dan how). Dalam 5W + 1H tersebut, menyajikan berita dengan peristiwa, dan menyajikan peristiwa dengan jalan cerita. “Pendeknya Don’t tell, but show,” kata Yurnaldi.
Sebenarnya tidak hanya bergantung kepada 5W + 1H, ia juga menjelaskan mengenai pembuatan lead atau teras berita. Untuk lead hindari menggunakan kalimat-kalimat yang panjang. Jumlah kata dalam lead usahakan tidak lebih dari 30 kata, serta menampilkan lead yang ‘bicara’. “Gunakan kalimat yang pendek, enak dibaca, dan langsung kepada pokok tulisan,” kata Yurnaldi.
Walaupun demikian, tambah Yurnaldi, belajar menulis berita atau feature dengan kaidah-kaidah yang diajarkan tidak selalu mudah ketika mempraktikkan. Dalam dunia jurnalistik, seni jurnalistik juga ada. Seni tak bisa diajarkan, namun seni ini bisa diperoleh oleh seorang wartawan jika wartawan gigih berlatih atau mempraktikkan. “Seni hanya tumbuh dalam praktik terus-menerus,” katanya.
Mengenai hal ini, Yurnaldi langsung menyuruh peserta mempraktikkan menulis feature kemudian membahasnya bersama-sama. Adapun Workshop ini diadakan oleh Surat Kabar Kampus Ganto Universitas Negeri Padang (UNP) Sumatra Barat dalam rangka meningkatkan kemampuan dan memotivasi mahasiswa UNP untuk menulis.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...