Skip to main content

Bisakah Indonesia Ikut Piala Dunia 2022?

Euforia Piala Dunia 2010 segera berakhir. Namun tidak untuk tim nasional (timnas) Spanyol empat tahun ke depan sebagai the winner yang berhak membawa trofi piala dunia dan memboyong hadiah lainnya. Kemenangan yang dipetik tim Matador bukanlah sebuah kado cuma-cuma yang dihadiahkan Belanda. Perjuangan yang gigih, tangguh, dan apik adalah kunci untuk memperoleh kesuksesan tersebut.
Sebanyak 32 negara mengikuti ajang akbar tersebut. Semua corong negara pun membicarakannya setiap hari selama kompetisi berlangsung, atau bahkan sepanjang masa. Tentu tak ketinggalan Indonesia. Walau hanya sebagai penonton dan komentator, yang tak kalah hebatnya, setidaknya kita (Indonesia_red) merasakan euforia tersebut.
Beberapa tahun silam, wacana yang digulirkan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) adalah Indonesia akan mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia tahun 2022 kelak dengan tema Road to Green World Cup Indonesia 2022. Begitu optimis. Sayangnya, setelah wacana ini singgah di Istana Merdeka, Andi Mallarangeng, juru bicara presiden dan sekarang Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, menyarankan dan memikirkan kembali akan mencanangkan wacana tersebut.
Menurutnya tantangan terbesar timnas Indonesia adalah bagaimana bisa berjaya tampil di depan negara-negara Asia Tenggara serta Asia secara keseluruhan. Setelah itu baru percaya diri mencalonka diri ikut ajang sepakbola sejagat tersebut. Jangankan menang melawan Jepang, melawan Laos saja dalam Sea Games, Indonesia tak berkutik. Begitu merosotnya dunia persepakbolaan di tanah air.
Kalau ingin mengingat sejarah, Indonesia pernah ikut berlaga pada Piala Dunia 1930 hingga 1934 yang pada waktu itu bernama negara Hindia Belanda. Kesohoran Indonesia pada waktu itu cukup menjanjikan. Namun pascatahun 1990-an prestasi sepakbola tanah air pun semakin merosot.
PSSI yang dinilai serta diharapkan mampu melahirkan pemain-pemain tangguh, hebat, dan menjanjikan bagi timnas, harus segera mereformasi visi dan misi serta benar-benar serius untuk mewujudkannya. Kongres Sepakbola Nasional Indonesia di Kota Malang, Jawa Timur, pada 30-31 Maret 2010 lalu, merekomendasikan tujuh poin penting sebagai pekerjaan rumah PSSI. Ketujuh poin tersebut meliputi reformasi dan restrukturisasi, pembangunan dan peningkatan infrastruktur olah raga, pembinaan atlet usia dini, serta poin penting lainnya.
Namun hingga saat ini rekomendasi tersebut tidak memberikan arti kepada dunia sepakbola nasional. Stagnasi persepakbolaan tanah air tak dapat dihindari. Rekomendasi tinggal rekomendasi. Asumsi PSSI ditunggangi oleh kepentingan dan kekuasaan yang kuat, dalam hal ini kapitalistik, bisa saja tak terbantahkan. Pengaruh ini menyebabkan PSSI tak mampu lagi menentukan jalan ‘hidupnya’; melahirkan timnas yang berprestasi. Walaupun di luar sana sering mendengung-dengungkan sistem administrasi dan manajemen yang bagus, tetapi dalam segi prestasi diragukan, sama saja dengan omong kosong.
Dunia sepakbola tanah air tak bisa dibiarkan melempem begitu saja. Jika PSSI tak mampu lagi, campur tangan pemerintah harus ada di sini. Pemerintah seharusnya menagih rekomendasi kongres di Malang kepada PSSI. Ada saat-saat tertentu pemerintah harus campur tangan dalam urusan dapur PSSI dan hal tersebut harus dilakukan dengan penuh ketegasan.
Jadi apakah Indonesia (mampu) bergabung dalam Piala Dunia 2022? Jawabnya, berkaca pada kondisi sekarang, jauh panggang dari api. Atau tak buruk jika ingin bertanya kepada Paul Si Gurita.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...