Skip to main content

Dicari, Perempuan Bercelana Ketat

Otonomi daerah yang diterapkan beberapa tahun silam, memberikan kebebasan kepada daerah-daerah untuk mengurus daerah masing-masing sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan daerah tersebut. Pemerintah daerah (Pemda) berwenang membuat aturan atau regulasi untuk menertibkan dan memajukan daerahnya. Hal ini pula yang mendasari lahirnya peraturan daerah (Perda) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tentang pelarangan memakai celana ketat. Aceh juga dikenal dengan nama daerah Serambi Mekah, yang memang penerapan syariat Islam semakin kental di daerah ini.
Penerapan Perda pelarangan memakai celana ketat pun dimulai. Memang tidak disemua daerah di Aceh, lebih dikhususkan pada daerah Kabupaten Aceh Barat, salah satunya kota Meulaboh. Meulaboh menjadi tempat pertama yang memulai mengoperasikan razia pelarangan memakai celana ketat. Puluhan bahkan ratusan perempuan pun terjerat dalam razia ini. Para perempuan yang terjerat razia diinstruksikan langsung mengganti celana mereka dengan rok yang telah disediakan aparat perazia. Dalam aksi razia tersebut pemerintah menyediakan sekitar 20 ribu rok.
Mekanismenya, perempuan yang kedapatan mengenakan celana (jeans) ketat, maka akan langsung ditangkap dan celananya digunting oleh petugas, kemudian disuruh mengganti dengan rok yang telah disediakan. Perda dan aksi ini pun menjadi sorotan di masyarakat. Kritikan dari berbagai kalangan kepada pemerintah semakin banyak. Ada yang sepakat, dan ada pula yang kontra.
Kritikan yang bernada kontra terhadap Perda tersebut banyak bermunculan dari aktivis perempuan. Mereka menganggap Perda tersebut dibuat dan diiringin oleh unsur yang melegitimasi diskriminasi terhadap perempuan. Larangan menggunakan celana jeans, adalah semacam regulasi yang dibuat tidak partisipatif, menekan, dan mempersulit perempuan, justru bukan sebaliknya, membuat masyarakat nyaman.
Regulasi tersebut juga terkesan membatasi hak perempuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan yang lebih luas. Para aktivis perempuan yang keberatan dengan aturan tersebut menjelaskan, tindakan merazia, memotong, dan mengganti langsung celana yang dikenakan adalah tindakan sewenang-wenang dan mempermalukan perempuan di tengah kota tersebut. Apakah dengan cara berpakaian, sepertinya telah menjelaskan dan mewakili dengan lengkap bahwa seseorang patuh atau tidak, matang atau tidak, dalam menjalankan agamanya? Ini yang membuat regulasi pelarangan berpakaian ketat menjadi dilemma dan kontroversi dikalangan masyarakat dan perempuan.
Inilah wajah hukum dari Pemda di Aceh. Regulasi yang digodok atau dirancang, diujikan, kemudian disahkan ternyata belumlah sangat matang. Kontroversi, pro dan kontra semakin mewarnai daerah dengan regulasi-regulasinya. Keefektifan Perda, UU dan lainnya masih perlu dipertanyakan lagi. Jika Perda yang dibuat melahirkan instabilitas daerah tersebut, para pembuat peraturan patut mempertanyakan kembali efektifitas aturan-aturan tersebut.
Perda pelarangan mengenakan pakaian (jeans) ketat di daerah Aceh, tidak menutup kemungkinan mengandung unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terkhusus pada perempuan. Padahal, sudah seyogyanya Perda yang dibuat untuk meninggikan harkat dan derajat manusia, dalam arti harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM bagi masyarakat. Namun, jika Perda yang dibuat bermuatan pelanggaran HAM, tentu hal ini akan melahirkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang jauh lebih besar lagi.
Hal ini sudah seharusnya menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Pemda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat dalam membuat sebuah regulasi. Tidak buruk, jika sebelumnya Perda yang akan dibuat berdasarkan masukan dan ide-ide dari masyarakat dan dari berbagai kalangan. Karena Perda yang akan dibuat dan disahkan terkhusus kepada perempuan kelaknya, ya, mengakomodasi saran serta ide-ide dari kalangan perempuan pun juga harus diperbanyak dan diperdalam. Hal ini demi terwujudnya sebuah regulasi yang efektif, yang tidak hanya menyelesaikan gejala suatu penyakit namun mampu mengobati dan menumpasnya hingga ke akar-akarnya.
Begitu juga dengan Provinsi Sumatra Barat (Sumbar), yang notabene akan memuarakan syariat Islam ke dalam Perda atau regulasi-regulasi bagi masyarakat Sumbar. Belajar dari Aceh, juga bukanlah hal yang sia-sia. Iklim-iklim demokrasi dan jiwa pancasila harus tetap didukung dan ditegakkan. Tidak ada pemaksaan, tidak ada kesewenang-wenangan, apalagi diskriminasi terutama kepada perempuan.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...