I’m Nothing
Saya sedang tidak menempatkan mental poskolonial saya, saya sedang merefleksikan posisi saya dalam ajang festival ini.
Ketika novel Keringnya Ladang Nurbaya yang kutulis dipilih oleh kurator Ubud Writers and Readers Festival 2013 (UWRF13) sebagai emerging writers yang akan hadir, aku bertanya-tanya. Pasalnya –sebelum membicarakan isi novel- tak satupun karyaku baik kumpulan cerpen, tulisan esai, apalagi novel yang pernah diterbitkan, mengingat oplah penerbitanlah sebagai eksistensi berkarya yang menjadi indikator seorang penulis diundang ke festival ini, begitu awal pikirku. Tesis ini agaknya teruntuhkan ketika aku menjadi salah satu emerging writers pada 10th anniversary festival ini. Bahwa, “Benih penulis berkualitas lahir dari pelosok dan tempat yang sunyi, tidak melulu dari Jakarta dan kota besar. Dan, tidak perlu lagi datang ke Jakarta untuk hebat. Maka kami memberi kesempatan bagi mereka yang dari kota kecil, dan mereka ini luar biasa!” begitu alasan I Wayan Juniartha, aktor khusus emerging writers Indonesia. Terima kasih atas apresiasinya.
Keringnya Ladang Nurbaya bercerita tentang perjalanan spiritual seorang tenaga kerja wanita dari kampung halamannya menuju Singapura dan kembali lagi, kali ini dengan kehidupan ‘paradoks’ ke kampung kelahirannya, desa kecil di pelosok pesisir pulau Sumatera, Indonesia. Nurbaya percaya kepada kambing-kambing jantan sebagai penyelamat hidup. Karena, hampir setiap agama seperti Islam, Kristen, dan Yahudi melibatkan kambing dalam pembersihan jiwa-jiwa yang berdosa. Islam memiliki Idul Adha atau Idul Qurban, kisah pengorbanan dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Tuhan untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail, yang tapi digantikan oleh seekor kambing sebagai perlambang pengorbanan. Pada Kristen kambing sebagai perlambang pengorbanan sebelum kelak Yesus memikul dosa-dosa seluruh umat manusia. Begitu juga Yahudi, bahwa kambing sebagai media pengampunan bagi dosa-dosa bangsa Israel. Ketika Imam Agung meletakkan tangan dan mengakui dosa-dosa mereka di kepala kambing, segera kambing tersebut diterjunkan dari jurang atau dilepas ke padang gurun. Dengan demikian dosa-dosa tertebus dan kehidupan kembali dijalani secara putih dan suci. Ini sekelumit tentang novel saya.
Novel ini belum diterbitkan. Novel ini kutulis dalam waktu berkejaran dengan deadline lomba novel yang diadakan oleh sebuah penerbit yang tak terlalu besar di tanah air pada pertengahan 2012. Novel ini tak menang, otomatis juga ditolak. Aku memperbaiki sedikit di sana sini, dan kukirim kepada seleksi karya pada festival ini. Dan, surprise sekali, menjadi terpilih.
Tema UWRF13 ialah R.A Kartini: menafsir ulang surat-surat dan kehidupan Kartini, pahlawan perempuan Indonesia. Tokoh utama novel ini, Nurbaya, bercerita tentang kehidupan perempuan kelas pekerja dan marginal secara sosial ekonomi. Ia datang dari narasi agama terbesar di negeri ini, Islam. Perempuan yang seharusnya kuat secara adat dan tatanan kemasyarakatan yang egaliter sesuai alam Minangkabau, nyatanya tidak. Nurbaya adalah korban dari narasi adat yang berkarat, tapi sekaligus pelaku pemutarbalikkan narasi besar agama dan adatnya. Makanya, ia dibenci dan dicap sebagai perempuan gila. Pastilah banyak pertimbangan dari dewan kurator UWRF13 tahun ini untuk memilih karya ini.
Sementara, penulis lain, khususnya dari luar negeri cukup melimpah dan berprestasi dengan standar ukuran mereka sendiri. Dan emerging writers juga menempatkan diri masing-masing dengan standar ukuran sendiri pula. Maka, akan cukup sulit menemukan garis temu dari dua standar ini. Dan saya, akan mungkin, berjalan menepi-nepi, bukan untuk agar dinilai sebagai rendah hati (diri?). Cukup dengan mengoreksi tulisan-tulisan saya, dan pelan-pelan mengabarkannya. Ya, begitu kira-kira.
Ubud dan Writers and Readers Festival 2013
Ini pertama kali saya menjejak kaki ke Ubud, dan tentu ke Bali juga. UWRF13 membawa saya ke kota kecil penuh pura dan cerita. UWRF13 memperkenalkan saya pada bunga-bunga kamboja yang mengharumi setiap sudut kamar -yang saya jiplak setiba di Yogyakarta. Tentunya, melalui festival ini saya berkenalan dan mendapat banyak teman, baik volunteers, panitia festival, bli-bli yang menyuguhkan sarapan dan suka membaca di hotel, bli pengumpul kamboja di pagi buta, kucing dan anjing-anjing gendut di sekitaran Ubud tempat festival berlangsung.
Bagi saya, Ubud begitu dingin jika dibandingkan dengan Yogyakarta apalagi Mukomuko, Bengkulu. Tidak hanya itu, matahari begitu cepat melesat. Baru bangun, masih jam 6 pagi kurang, eh mentari sudah mulai menyingsing. Ya, tentu ini pengaruh dari WITA. Dan jam di telepon genggam saya masih kaget dengan perubahan ini. Saya kagum pada tetumbuhan rendah di sekitar kamar saya. Ya, orang-orang ini tidak berambisi menanam sesuatu karena bakal buah atau batang tanaman yang berharga mahal kelak, panen pada suatu ketika. Tapi, mereka menanam apa saja jenis tumbuhan. Mungkin tidak semata-mata demi kebersihan udara yang dihasilkan, tapi keikhlasan memberi ruang dan kasih kepada jenis tumbuhan apa saja untuk hidup dan dikagumi. Ini model hidup yang saya rencanakan untuk dijiplak (lagi) kelak. Mungkin karena semasa SD saya dan teman-teman setiap minggu menanam jenis tumbuhan apa saja di sekolah –gedung baru yang masih gersang- sehingga seolah-olah membangunkan memori sayang dan kagum pada tumbuhan. Saya benar-benar belajar kepada apa yang saya lihat dan pada tumbuhan di sekelilingnya.
Sama's Cottage
Festival sendiri sangat menyita perhatian. Sejak pukul 09.00 pagi panel-panel keren dengan para penulis dan pembaca keren mulai dihantarkan. Hampir setiap hari saya terlambat datang. Bukan semata-mata karena hotel saya berjauhan dengan pusat festival, karena memang saya keberatan meninggalkan hotel lebih pagi. Ya, rugi saja rasanya tidak menyaksikan kilauan mentari bercumbu dengan dedaunan. Belum lagi menyaksikan rutinitas bli-bli di hotel yang sibuk dan setia dengan seragam mereka merawat dan melayani para tetamu di hotel.
Tak sampai sepekan di UWRF13, adalah waktu yang sangat singkat dan membuat sesal. Bagaimana tidak, ada banyak agenda yang saya rencanakan seperti mengunjungi ini itu, museum, pasar Ubud, nonton film, workshop wayang/puphet. Tapi kemudian batal karena mepetnya acara, sesaknya perjalanan, dan singkatnya waktu. Ya, ini benar-benar bikin kelu. Niat hati ingin mengikuti hingga larut dan dini hari, apa daya bahu, lengan, dan kaki tak kuasa lagi digerakkan dan dilangkahkan. Dengan meringis, sayup-sayup terdengar dentuman acara setengah kilometer dari onggokan tubuh di atas kasur. Inilah malam-malam yang menyakitkan itu. Benar status dan tweets penulis hebat yang hadir di festival ini, UWRF13 benar-benar bikin galau. Banyak acara bagus dan bermutu pada waktu bersamaan. Pilihan memang membuat marah.
Hari ini, agaknya tentu saja tim UWRF14 sedang menyiapkan berbagai hal untuk festival tahun 2014 nanti. Mengingat saja, saya senang dan ingin kembali hadir ke Ubud. Saya berharap, untuk tahun mendatang UWRF akan lebih sempurna. Seperti, mungkin tim UWRF lebih sensitif akan kebutuhan para penulis dan pembaca yang hadir dalam festival ini. Misal, tim UWRF menyiapkan kawasan beribadah bagi penulis dan pembaca yang dengan latar belakang agama beragam di pusat festival, peta kawasan penyedia kuliner bagi vegetarian dan makanan ‘halal’, shuttle bus nya ditambah dan dengan intensitas yang lebih cepat misal 15 menit sekali mungkin –hal ini sejalan dengan harapan saya bahwa tahun depan akan lebih membludak lagi penulis dan pembaca yang hadir. UWRF, Ubud, dan Bali memang tidak hanya cantik tapi juga mengajarkan sesuatu kepada yang datang kesana.
Gala Opening
Tribute to Kartini
Panel Dewi Lestari dan Nila Tanzil
Terima kasih untuk Bli I Wayan Juniartha atas ceramahnya yang jujur dan menyakitkan mengenai emerging writers, Mba Kadek Purnami yang aduhai ceria dan baik sekali, Bli dan Mas Gustra yang diam-diam eh ternyata asyik, Mba Dewi yang sabar, Mba Nafisa yang gugup tapi hebat, Yayasan Mudra Swari Saraswati yang menanam kenangan ini hingga akhir kelak, Ibu Janet DeNeefe yang cantik dan sibuk (saya maju mundur ingin berfoto dengan beliau, akhirnya tak jadi), para kurator (Mba Dee yang sederhana dan lucu, terima kasih atas cerita-ceritanya tentang generasi mendatang dan kehidupan anda –saya bertemu satu orang kurator saja, sayang sekali) dan segenap orang-orang luar biasa yang datang berbagi (seperti Mba Nila Tanzil, tenggorokan saya ikut tercekat ketika ia berujar, “Ya, I want to be the next Kartini” katanya sembari menyeka air mata), serta masyarakat Ubud yang ikut mendukung semua agenda di balik festival megah dan hebat ini. Terima kasih.
Bersama Mba Kadek dan Bli Juniartha
Bersama Mas dan Bli Gustra
UWRF13 dan Saya
Tak lupa kepada teman-teman saya yang ber-15 lainnnya mulai dari pusat ibu kota negeri ini hingga tersebar di berbagai pulau di Indonesia yang luas begini. Mba Ramayda Akmal dan Mba Langit Maryam, dua perempuan yang satu begitu cerdas dengan ilmunya dan satu lagi begitu asyik dengan kejujurannya. Bernard Batubara dan saya kemudian suka-suka memanggil Mba Langit sebagai Mba Payudara. Dea Anugrah, Fitrawan Umar, dan Mario F Lawi adalah tiga bodyguard saya berangkat dan pulang larut malam dari festival. Kalian memang asyik dan kadang malu-malu. Bang Emil Amir, kita selalu cocok bercerita apa saja; sastra, tema bestseller, ole-ole, gosip, dan LGBT. Uda Agus, kadang uda norak tapi cukup kreatif buat kita tergelak. Mas Alek Subairi dan Mas Jun Nizami atau Encep Jujun (itukah nama aslimu mas yang ketiduran pesawat?) diam-diam ternyata paling menggoda dan pede na’uzubillah. Bang Ilham Q Moehiddin bersama kakak (yang bulan madu jilid II? hihi) adalah abang yang cerdas dan menggembirakan dengan DLSRnya. Mba Astri Apriyani, meski sesaat, mungkin kita sebaya, kayaknya bakal banyak obrolan di antara kita yang gila-gilaan. Tribute to Kartini, Mba Astri manis sekali. Mas Bayu Maitra, pria keren apalagi ketika bersebelahan dengan Leila S Chodari. Mas Agustinus Wibowo, jika masa itu bisa diputar mungkin saya berubah jadi jurnalis kurcaci di depanmu, tentu saja mengenai perjalanan dan foto-fotomu. Dan Mas Tosca Santoso, sepertinya saya hilang kontak, atau saya tak sadar dengan kehadiran beliau. Kawan, terima kasih atas cerita dan lucu-lucuan kalian.
Perjalanan Panjang ke Antonio Museum
Sastra Revolusioner di Denpasar
Mba Payudara lebih sayang kaki daripada selop tinggi
Padanggggggg!
Novelis Ramayda dan Penyair Mario
Bernard Batubara dan kawan-kawan
Kepada Kadi Hughes (Director of The Bookworm International Literary Festival, China/US/Europe as moderator), Maria Peura (novelis dari Finlandia), Glen Duncan (Anglo-Indian novelist, London), dan Jenny Erpenbeck (Novelis dari Berlin) adalah penulis sepanel saya yang bercerita tentang Dreamscape dalam karya sastra. Mereka adalah penulis yang novelnya sudah diterjemahkan ke dalam beberapa dan puluh bahasa. Cerita-cerita seram mereka tuturkan dengan gaya khas masing-masing. Tentu juga menyangkut dengan tradisi kemasyarakat dimana mereka berada dan cerita dibuat. Sebagai penulis yang cukup ternama, satu hal yang saya perhatikan yaitu Jenny dan Maria selalu berhati-hati ketika menyampaikan apa yang mereka pikirkan ketika menulis cerita seram. Jenny sendiri sangat sederhana tak muluk-muluk dalam bercerita. Dua penulis perempuan ini selalu tersenyum ketika ditanya. Entahlah, apakah mereka sengaja begitu atau tak ingin melahirkan efek ‘kontroversi’ dalam karya mereka. Mungkin begini, “Kamu tak perlu membuat pendengar terperangah dengan ucapanmu. Berikan saja mereka novelmu, dan biarkan mereka berkhayal jauh dan liar dengan itu.” Mungkin hanya ini tugas penulis.
(kiri-kanan) Maria, Jenny, Saya, dan Glen
Saya dan Blurrrrr!
Museum Antonio Blanco
Launching The Question of Red (Amba versi Inggris) by Laksmi Pamuntjak
Panel Okka Rusmini
Panel Agustinus Wibowo
Di Taman Baca menjelang senja
Gala Opening
Belakang, perempuan Bali dulu. Saya suka!
Closing Party. Dum! dum! dum! bersama Jalanan Film dan Navicula Band. Good bye UWRF13!
Sampai jumpa lagi Ubud Writers and Readers Festival!
#beberapa foto ini dari teman-teman di UWRF13 (Bang Ilham dan kakak, Uda Agus, Mba Ramayda, Bang Emil, dan saya sendiri)
Tahun depan ke sana lagi yuk :D
ReplyDeletejosss mba :D
ReplyDelete