Skip to main content

Frekuensi Publik dan Pentingnya Serikat Buruh




Yogyakarta, Rabu (13/3) - Sebagian besar penikmat media, baik cetak maupun elektronik, belum memahami bahwa publik punya hak besar menentukan tayangan termasuk membatasi penguasaan atas frekuensi. Di balik penguasaan frekuensi yang terbatas itu, penguasa media massa saat ini cenderung politis dan eksploitatif di atas fasilitas publik. Sosialisasi dari pihak terkait perihal frekuensi ini dinilai minim. Alhasil, sak wasangka publik terhadap negara yang bermain dengan cukong tak terhindarkan.

Ucu Agustin, penulis dan sutradara film ini menuturkan, hingga 2012 publik hanya memiliki 20% dari jumlah frekuensi yang tersedia. Selebihnya, 80%, sudah dikuasai oleh swasta. "Ketika sebagain saham satelit Palapa dijual ke pasar pada masa kepemimpinan Megawati, dari sanalah bermula kuantitas frekuensi untuk publik semakin merosot," kata Ucu. Maraknya pemakaian telepon seluler BlackBerry juga memungkinkan frekuensi yang tersisa itu semakin terbatas. "Negara juga menyediakan sekian persen frekuensi publik untuk perusahaan Kanada itu," terangnya. Dengan kata lain, frekuensi yang seharusnya milik publik, dengan kebijakan privatisasi BUMN berpindah tangan menjadi otonomi pihak penanam modal.

Di Balik Frekuensi bercerita tentang monopoli frekuensi oleh suatu kelompok swasta. Dimana penguasaan itu menciderai hak-hak publik. Seperti informasi yang tak berimbang dan penuh intrik politis. Film ini menyoroti dua media besar di Indonesia, yaitu TV berita MetroTV dan TVOne. Dalam kompetisi rating, dua TV berita ini memang rendah. Sementara dalam penanaman ideologi dan kepentingan politik, dua TV berita ini mendominasi atas TV-TV swasta yang lain.

Konglomerat media seperti Surya Paloh dan Aburizal Bakri mau tidak mau ditampilkan sebagai sosok paradoks di tengah pemberitaan, baik yang mendukung langkah politik mereka, maupun yang beroposisi. Dua taipan media ini dianggap bertanggung jawab atas ketidakbebasan pers dan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Film ini juga bercerita tentang kesewenang-wenangan media terhadap karyawan dan aspirasi publik. Ucu mengangkat kisah tentang usaha Luviana, karyawan MetroTV, menuntut peningkatan kesejahteraan di tempat ia bekerja. Serta pemutarbalikan fakta perjuangan Hari Suwarno, lelaki setengah abad lebih yang memutuskan berjalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta guna menuntut Aburizal Bakri. Justru tiba di Jakarta, Hari Suwarno terisak malu dan memohon maaf kepada Aburizal Bakri dan publik. Ia mengaku menyesal, dipermainkan sebagai korban kepentingan politik orang-orang tertentu.

"Selain menuntut peningkatan kesejahteraan karyawan, saya dan teman-teman juga menginginkan adanya serikat pekerja di sana," jelas Luviana malam itu di Lembaga Indonesia Prancis. Bagi Luviana, kenaikan kesejahteraan hanya dapat terwujud jika digerakkan oleh banyak orang. Kesatuan pendapat dan kepentingan setiap pekerja menjadi tujuan utama pembentukan sarikat ini.

Dr. Ratna Noviani, sebagai pembahas film ini dari Kajian Budaya dan Media UGM, mengatakan salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya pembentukan serikat pekerja/buruh ialah tidak adanya pengakuan dari wartawan sendiri bahwa jurnalis itu sama dengan buruh. "Jurnalis dan apapun dia, selagi tidak memilki modal produksi dan bekerja pada pihak lain, tetaplah dia sebagai buruh. Saya, dosen, dan ketika menerima gaji, saya sangat menghayati bahwa saya adalah buruh," terangnya sembari tertawa.

Sekitar 100 peserta dari berbagai kalangan seperti mahasiswa, seniman, aktivis, dan jurnalis mengikuti pemutaran film yang berdurasi 2,5 jam ini. "Cukup memenatkan, tapi banyak ilmu dan pengetahuan baru yang disuguhkan seputar media di tanah air," jelas Indah, mahasiswa UGM.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...