Skip to main content

Dogma dalam Keterkejutan The Conjuring


The Conjuring (Praktik Setan)

Film The Conjuring bercerita tentang sebuah keluarga Roger dan Caroline dengan lima anak gadis mereka menempati rumah dan perkebunan baru di sebuah pulau terpencil, Rhode Island. Rumah dan perkebunan ini dibeli dari pelelangan bank, yang tak dikenal sebelumnya. Rumah dua tingkat ini dilengkapi dengan bangunan bawah tanah sebagai gudang serta praktik sihir dari si empunya pertama kali, tahun 1863. Rumah, perkebunan, serta danau yang membentang di perkebunan ini dipakai sebagai tempat pemujaan setan pada awalnya. Para pembeli selanjutnya kerap mengalami kejadian aneh yang berujung pada gantung diri dan kematian.

Keluarga Roger dan Caroline pun mengalami hal yang sama. Setiap malam hantu-hantu ini mengganggu tidur anak-anak Caroline. Seperti, menarik-narik kaki mereka, menyemburkan bau bangkai di sekitar rumah, membuat salah satu putri mereka tidur berjalan, bahkan Sadie, anjing keluarga ini, mati menggenaskan pada hari ke dua kepindahan mereka di rumah baru ini.

Adalah Caroline, ibu dari lima putri ini sebagai korban dari hantu jahat tersebut. Hantu ini parasit pada tubuh Caroline, kemudian berhasrat membunuh dua putri terkecil mereka yang hendak dijadikan tumbal pemujaan setan. Niat ini tak terlaksana karena dihambat oleh Ed dan Lorrain Warren, para demotologi dari kereja Katolik setempat. Prosesi pengusiran setan pun dilaksanakan. Berbagai data dan dokumentasi perlu disusun untuk meyakinkan bahwa hantu jahat sangat mengganggu keluarga ini. Mulai dari rekaman wawancara serta salinan foto dari setiap kejadian yang janggal.

Review The Conjuring
Film ini berhasil membuat penonton kaget, terkejut, serta bergidik. Suasana horor yang dibangun, mulai dari model, posisi, dan ukuran rumah, perkebunan, pohon tua tempat gantung diri, serta dermaga kecil dengan air danau yang pekat, cukup menggambarkan bahwa lokasi ini benar-benar sarang hantu. Sosok hantu yang diperlihatkan bermacam-macam, seperti hantu Rory, anak lelaki berseragam sekolah yang hanya dapat dijumpai melalui kaca permainannya; hantu Bethesda, hantu perempuan yang membunuh anaknya; hantu Jedsman, hantu lelaki pemuja setan; hantu pembantu yang gantung diri; hantu nenek tua yang bunuh diri; serta hantu anak kecil yang hanya memperlihatkan tangan dan tepukannya ketika bermain sembunyi dan bertepuk.

Hantu-hantu ini dilengkapi dengan kostum, rupa, dan cara menakuti yang beragam. Kehadiran mereka hanya sekali dua, selebihnya lebih banyak sekadar menampakkan efek dan bau yang mengganggu daripada kehadiran langsung kepada para tokoh. Pada momen inilah sang sutradar James Won menakut-nakuti penonton, membuat terkejut, namun enggan menutup mata.

Menariknya, hantu-hantu ini bermain, mengganggu serta merasuki hanya pada Caroline serta anak-anak perempuan Roger. Roger sendiri hampir tak pernah diganggu; tidak menampakkan wujud dan tidak diusili, berbeda pada anak dan istrinya. Ini kemudian memperlihatkan bahwa tubuh dan psikis serta konsentrasi yang lemah ada pada perempuan. Lelaki, hampir tidak. Kaki-kaki anak perempuan Roger ditarik-tarik, rambut putrinya ditarik kemudian tubuhnya dibanting ke jendela, setiap malam mereka terjaga karena seorang putrinya selalu tidur berjalan tak karuan. Pengukuhan bahwa perempuan -sekaligus kulit putih- pada waktu itu, 1971, sebagai sasaran dan objek pencerahan terjadi. Perempuan lebih rentan sebagai objek dari praktik sihir, terpengaruh dan mudah diperdaya.

Wacana yang tak kalah menarik dari film ini adalah ketaatan akan agama, dalam hal ini agama katolik. Keluarga Roger bukanlah keluarga yang taat. Hal ini terlihat dari tak seorang pun anak perempuannya dibaptis. Satu dari banyak faktor kenapa anak perempuan Roger diganggu oleh hantu-hantu tersebut adalah karena tidak dibaptisnya sang anak. Baptis dalam agama katolik menjadi semacam 'kewajiban' sebagai bentuk 'pengakuan' atau 'sahnya' seseorang menjadi umat agama katolik. Sisi lain, agaknya baptis juga bermakna agar kehidupan yang akan dilalui mendapat kemudahan dan kelancaran -tidak mudah diganggu hantu atau setan.

Kuatnya pengaruh agama katolik dalam film ini terlihat tidak hanya pada prosesi pengusiran setan, tetapi juga sebagai syarat boleh tidaknya seseorang yang terpengaruh oleh setan 'diselamatkan'. Jika si anak belum/tidak dibaptis, gereja akan keberatan melakukan prosesi pengusiran setan. Dalam film ini, peran gereja menjadi lebih lemah karena semangat mendahulukan kebaikan dan keselamatan atas sesama yang diperan oleh Ed Warren. Meski demikian, dalam prosesi pengusiran setan, peran ajaran-ajaran katolik mendominasi. Mulai dari simbol salib yang diletakkan pada beberapa sudut rumah, air suci yang disiramkan di sekeliling rumah, keyakinan pada Tri Tunggal. Katolik menjadi juru selamat keluarga Roger dan Caroline.

The Conjuring dirilis tahun ini, 2013. Namun setting cerita berkisar pada tahun 1971. Ada yang menarik dari satu scene awal film ini, yakni ketika Ed Warren memperkenalkan seorang utusan dari salah satu lembaga. Ia laki-laki berkulit hitam -Afrika Amerika. Ketika Ed dan si lelaki memasuki ruangan yang berisi segala macam barang yang dipakai untuk pemujaan setan dan hantu, si lelaki berhenti pada sebuah patung monyet, mnegamati sambil menunduk. Tiba-tiba Ed berkata, "Bahkan seekor monyet pun dapat dipakai sebagai media pemujaan setan/hantu." Scene ini bercerita pada kita bagaimana pada tahun-tahun 70an rasisme begitu kuat melanda Amerika dan bahkan Eropa. 'Penindasan' politis dan sosial terhadap orang kulit hitam masih kerap terjadi baik secara terang benderang maupun samar-samar. Celakanya, The Conjuring yang dirilis 2013, sepertinya tak rela membiarkan semangat rasisme -khususnya terhadap kulit hitam- dihapuskan dari permukaan bumi. Film ini, sangat secara samar, ingin mengembalikan 'kejayaan' kulit putih yang bisa jadi, sedang terancam saat ini -sebagain besar oleh orang kulit hitam. Jika diteliti lebih rinci lagi dalam film ini, rasisme, perbedaan kelas sosial dan ketaatan menyuguhkan banyak hal yang tak kalah menarik dianalisis lebih dalam.

Akhir cerita, The Conjuring cukup berhasil menakut-nakuti penonton. Tapi, sebagai film horor disayangkan jika hantu-hantu tersebut harus menjadi pecundang dan kalah oleh tangan manusia. Di akhir cerita, keluarga Roger dan Caroline selamat dan berkumpul kembali, meski keberadaan hantu dan setan dalam rumah dan perkebunan mereka belumlah punah. Hal ini agaknya, ketaatan si empunya film pada dogma dan ajaran katolik sebagai penyelamat keluarga tersebut -umat manusia. Sangarnya Betesdha belum seberapa dibandingkan kekuatan katolik. Dan, sepertinya katolik tidak tega membiarkan gadis-gadis manis Roger dan Caroline tersiksa sepanjang hayat atau mati menggenaskan.

#DDS

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...