Skip to main content

Demokrasi Air dan Pro-Future Generation




Yogyakarta, Rabu (27/3)- Demokrasi air sebuah langkah sebagai perwujudan kritik atas 'politik bumi' yang antroposentris bahwa alam untuk manusia. Sementara ideologi survivalim yang disuarakan Vanda Nashiva, yang memihak pada kelestarian lingkungan, bahwa keberadaan manusialah untuk alam. Keberpihakan terhadap alam sama artinya dengan keberpihakan pada kelangsungan generasi mendatang. Jika kepada alam tidak ada keberpihakan bagaimana mungkin manusia akan berpihak kepada anak cucu selanjutnya?

Prof. Dr. Heru Nugroho mengatakan air adalah kado alam. Sebagai kado, air bukanlah produk komoditi yang kemudian diprivatisasi. Fakta di Indonesia, air sebagai komoditi, diperjualbelikan dengan mudah. Hal ini diperparah dengan kebijakan privatisasi air yang tidak mengedepankan konservasi. Belum lagi persoalan pengeboran sumur mencapai puluhan dan ratusan meter ke perut bumi. "Akhirnya, air dengan kandungan mineral tinggi kembali dikuasai oleh segelintir orang bermodal. Sementara yang tak memiliki modal, mengalami kelangkaan air bersih," katanya dalam diskusi pemikiran Vanda Nashiva, Eco-Feminism asal India di Sekolah Pascasarjana Univeristas Gadjah Mada.

Sebagai Eco-Feminism, bagi Vanda Nashiva, kelangkaan air sama artinya dengan ancaman bagi perempuan. Berdasarkan konteks pemikiran ini dilahirkan, kelangkaan air mengakibatkan perempuan India bekerja lebih keras (mengangkut) guna mendapatkan air, kekeringan melanda, dan petani gagal panen. Semangat menyuarakan demokrasi air juga erat kaitannya dengan perlawanan atas 'water wars' dalam hal ini privatisasi air oleh sekelompok pemodal.

Sementara itu, Agus Maryono, Deputy Director Seamoe-Seamolec Indonesia, menjelaskan basis membangun demokrasi air di Indonesia adalah membangun budaya mengerti akan air. Konsep water culture ialah kepahaman masyarakat sosial tentang masalah pemanfaatan air dan konservasi air yang ada di sekitar masyarakat. Dalam hal ini termasuk sumber air, tata air, serta perilaku manusia terhadap sumber dan tata air tersebut. Lebih jauh lagi ialah keterkaitan antara air dengan ekologi termasuk masalah sosial dan ekonomi.

Air dalam pandangan masyarakat masa kini mengalami transformasi dari air adalah nilai-nilai (values) berubah menjadi air adalah harga (price). Ketika air dimaknai sebagai harga, maka water culture yang ada di nusantara mengalami pergeseran. Masyarakat akan cenderung tidak peduli dengan sumber dan tata air di lingkungannya. Penggundulan hutan membabi buta, pengalihan arus air, atau pelurusan sungai, adalah bentuk nyata ketika manusia tak paham dengan water culture. "Menghargai arus sungai dan evoluasi air adalah beberapa hal dari sekian banyak water culture yang perlu dipahami manusia," katanya.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Gilby Mohammad

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...