Skip to main content

Yang Ragu, Yang Diwisuda


Hari ini, 30 November 2013, Da David dan Uni Iref diwisuda diploma. Mak Tuo dan Amak tak ketinggalan, ikut serta meramaikan acara besar itu di Mukomuko. Senang saja meski tak menghadiri. One dan Da Dedi tinggal di rumah, menunggu, seperti biasa. Mereka ada orang yang setia, terpaksa setia karena ada sejuta cerita di balik itu.

Da David fokus pada pembibitan kelapa sawit. Sementara Uni Iref belajar telekomunikasi, mahir komputer buat kantoran. Mereka belajar bersama pada kampus yang sama. Usia tak jadi soal. Terhitung lambat, karena One bahkan saya sendiri sudah menamatkan sarjana kami masing-masing. Ya, tak ada cerita sesal dan datang terlambat. Masing-masing kita punya kisah dan tambatan.

Sabtu waktu itu, dari pagi hingga petang, sengaja aku berdiam diri di kos. Tak hendak kemana-mana sembari membayangkan betapa gaduh dan sibuknya One, Amak, dan Da David di rumah. Beragam yang diharus didebatkan. Soal motor, soal hujan, soal kebaya, soal payung, soal siapa yang menunggu, soal pembayaran, soal foto, soal cuci foto, dan soal lainnya. Benar, dan mungkin juga berlaku pada banyak keluarga besar seperti kami. Bahwa, kegaduhan cenderung lebih besar terjadi pada kami yang ramai. Ada saja yang membuat semua tampak tak lancar. Ada saja yang membuat Amak terdiam, atau One yang terdiam beku.

Kondis keluarga pun juga tak baik-baik amat. Amak menyembunyikan dariku yang jauh. Da David mengisahkan. Selalu begitu. Itulah beda ibu dan abang. Dan di dalam hati, andai saja aku sedikit lebih mampu, entahlah, entah bagaimana ini harus berjalan. Terus terang, maaf yang besar selalu terhimpun untuk dikirimkan dalam doa-doa. Bahwa, mungkin aku terlalu keras untuk semua keputusan ini. Bahwa, mungkin aku terlalu melampaui apa yang diharapkan Amak dan alm. Abak. Atau jangan-jangan aku masih belum apa-apa jika diukur dengan firasat abak, andai kami masih bisa menatap satu sama lain. Tentu cerita ini akan berbeda, kawan.

Tapi, tak perlu disesali dan disedihkan. Apa yang terjadi hari ini, abangku diwisuda, Amak tak sampai hati untuk tidak hadir dengan berbagai alasan, One yang tak bisa kemana-mana, sementara aku dimana-mana, Da Dedi yang seperti itu-itu saja adalah rezeki dan cerita indah yang dapat kutuliskan. Adalah alur dimana aku mencari akar, atau bahkan awal agar aku mencari bentuk. Maaf jika sentimentil. Ini versi kisah keluarga. Pahit, manis, asin, kecut, dan berjalan ratusan kilo adalah sehari-hari yang pasti kulalui, kami lalui.

Kepada Da David dan Uni Iref, selamat. Dengan senang hati aku selalu mendoakan dua kakak yang mencintaiku dan kucintai juga. Dua kakak yang selalu mendukung, bahkan merelakan untuk menunda pernikahan -ini cerita lucu. Jika setelah ini secara fisik mereka tidak berpindah ladang kerja, itu bukanlah penting. Yang utama, dua kakakku sudah menambah cakrawala mereka akan dunia dan pengetahuan. Dengan begitu, semoga saja ada yang mendarah daging kebaikan, keluhuran, dan kedamaian. Percaya tak percaya, kita jarang sekali mendebat uang, bukan? Maka dari itu, bukan uang citacita kita. Jika ini naif, maka benar uang membantu kita dalam beberapa hal di sini.

Pada doa-doa di siang hari aku selalu berterima kasih, dan tidak meminta kepada Tuhan. Jika di doa malam, barulah aku mulai mengais pertolongan, meminta, dan berharap esok pagi aku tetap hidup dan dapat melunasi hutang-hutang budiku pada siapa saja yang patut kubayarkan.

Doa siang itu, terima kasih atas ruang yang mungil ini, terima kasih atas kabar dari rumah yang separuh membahagiakan yang separuh membuat meringis, terima kasih atas kesehatan meski lauk apa adanya, terima kasih atas teman-teman yang sederhana, terima kasih atas cinta banyak pihak yang membantu meminggirkan kerikil-kerikil, terima kasih kepada generasi lampau yang sangat toleran, dan terima kasih kepada bayi-bayi yang sudah membuat ini sangat optimis.

Dan doa di malam itu, seperti doa-doa SMP-SMA dan masa lalu: sehat Amak dan saudara, tempatkan Abak di tempat terbaik di sisi Rasul, ampunkan dosa amak dan saudara dan para tetangga, lancarkan kebutuhan keluarga, dan pekakan hati ini terhadap apa saja di sekitar. Berusahalah tidak menjadi pribadi yang selalu duluan, jadilah pribadi yang perenung. Dan, jika suatu ketika Tuhan siap, berikanlah mimpi yang kudambakan sejak belasan tahun lalu. Mimpi itu belum kesampaian.

Inilah pribadi yang mendua. Tak menjadi utama apakah agama saya paling benar atau tidak, apakah kepercayaan saya sudah semestinya atau belum, apakah ilmu saya sudah menuju pencerahan atau masih di abad kegelapan, tapi satu hal yang ditekunkan ialah pegagangan. Pegangan menjadi penguat kenapa ini dipilih dan yang lain diutamakan. Pegangan saya, sama sekali tak menginginkan orang lain rugi dan merasa dikhianati.

Catatan ini untuk dua kakakku yang berbahagia. Jelas, akan sulit bagi mereka dapat menyimak cerita ini, karena faktor kultural. Meski begitu, itu bukan perkara. Kukisahkan semua ini dengan bahagia sembari membayangkan mereka berjas dan berkebaya indah. Selamat Da David dan Uni Iref. Ada pintu baru di sana, ayo dicoba.

Kutuliskan kisah di malam ini sembari memberi makan hewan piaraan virtual di handphone. Menyiram dan memanen apel, pisang, mangga, jambu monyet, buah kiwi, serta cerry sebagai pakan mereka.

Salam bahagia,
Dedees

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...