Skip to main content

Most-Beat ‘Akademis’ di Efek Rumah Kaca


Tulisan ini mungkin akan kurang mengesankan bagi pihak yang merasa tersinggung, terutama audiens mahasiswa. Apa lacur, di balik kemeriahan dan kegembiraan, tersimpan benih-benih yang siap berteriak, memaki, yang kemudian meledak. Bahwa, inilah keniscayaan itu.

Sekitar seribu mahasiswa dari berbagai kampus duduk bersila menghadap panggung di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri Universitas Gadjah Mada. “Ticket sold out, tapi panitia mencetak ulang,” begitu kata seorang singer dari band pengisi. Untuk acara kampus macam Earthernity Fest 2013 ini, band-band’an model begini cukup besar dan menyedot perhatian. Audiens duduk manis dan sesekali menjepret dengan sopan. Audiens, dalam hitungan jari, coba menghayati (ikut bernyanyi) bersama band-band lokal dan yang dari berbagai kampus. Selebihnya –seperti tengah berziarah- menekur dan terpesona dengan penampilan lighting serta kerumunan penjinjing DLSR merangsek panggung. Ini awal.

Ketika band polska dari kampus seni Yogyakarta, Aurette and The Polska Seeking Carnival tampil, audiens menyulap diri. Yang tadinya bersila manis, tanpa ba bi bu meloncat ke depan dan berdiri pede. Malangnya, manuver ini diikuti oleh sekitar 999 audiens lainnya. Seperti semut, panggung adalah gula, dan menjadi penting bagi audiens untuk menopang lengan di bibir panggung. DLSR menggila. Tak sedikit yang berjinjit payah dan bermuka masam. Memang, band polska satu ini sedang naik daun di tengah persaingan band indie Yogya masa kini.

Lalu, ketika drumer Efek Rumah Kaca (ERK) menabuh-nabuh riuh, saat itu pula seolah-olah audiens ingin memakukan kaki di lantai hingga pukul nol-nol kelak. “Tiga tahun berlalu, Locstock gantung diri, sekarang aku (punya) kesempatan liat ERK lagi,” kata seorang fan abangan ERK. Petikan gitar dan bass beradu, kawin mawin. Lirik-lirik dari album pertama ERK memenuhi panggung. Di beberapa lagu, suara sang vokalis hampir tak terdengar.

Jelas! Digantikan oleh chord mahasiswa yang benar-benar hapal serta berkonsentrasi tinggi. Seperti lagu Di Udara dan Hilang yang berisi kritik sosial dan ketakberhentian untuk melawan, mendapat sambutan histeria dari audiens. Tapi, seperti yang sudah-sudah, yang menyeruak selalu nuansa paradoksal; ‘kegundahan’ sekaligus hingar bingar fans yang masih belum yakin hadir di hadapan ERK dan bersama menyuarakan ketidakadilan –ekspresi yang sangat konvensional.

Saat Desember dan Melankolia dilantunkan, bibir panggung yang disesaki audiens tadi, bergemuruh. ERK memang bisa menciptakan suasana awang gemawang yang mencekam. Audiens dituntun terbang menuju langit namun singgah dulu di pemakaman. Seolah-olah, most-beat audiens ini ingin bermandi hujan kemudian –jika tak berlebihan- beramai-ramai menyayat nadi. ERK benar-benar membius malam itu. “Yang tak hapal lirik, percuma mengambil gambar!” canda seorang teman sembari meloncat.

Melihat pertunjukan ini, ERK memang punya karakter fans tersendiri. Katakanlah, fans ERK dari anak muda yang (pernah) berkeliaran di kampus, aktivis sosial, banci (baca; suka) demo, banci diskusi, dan sejenisnya. Kenapa? Ya karena –lebih banyak- orang-orang inilah yang (dapat) menghayati lirik-lirik dalam atau khas dan ‘puitis’ ala ERK. Dan, sekaligus orang-orang inilah –yang juga lebih banyak- membicarakan cinta kemudian ‘putus asa’ di dalamnya. Lagu Cinta Melulu mendapat sorakan dan gelak tawa. Banyak yang melenggokkan pinggul, menggoyangkan bahu, kemudian seolah berkaca pada teman di samping. Audiens –dan mungkin juga ERK- antara menyindir ‘mereka’ sekaligus menampar pipi sendiri. Meski demikian, ERK dan audiens agaknya sama-sama puas. ‘Kegilaan-kegilaan akademis’ seperti inilah yang disuguhkan ERK. Dan, ‘kegilaan-kegilaan akademis’ seperti inilah yang dihadirkan, dinikmati, dipuja, kemudian diulas –seperti yang saya lakukan. Inilah most-beat ‘akademis’ itu.

ARD

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...