Skip to main content

[Catatan] Bernie dan Kemengantukan Hidup



Habis magrib 14 Februari lalu seseorang datang sembari cengengesan padaku. Aku kira dia menang togel dan kita segera umroh tahun ini. Lagi pula, kado momen itu dialokasikan untuk memenuhi kamar dengan karya Karl Marx. Jadi, surprise romantis ala abegeh ditunda tahun depan. Aku sudah bisa memotong poni sendiri, jadi tak perlu ngambek malam itu.

Namun, cengengesannya berganti seketika ledakan tawa. Aku tak bisa menyembunyikan cengengesanku sembari penyesalan dibuat-buat ketika dia menjinjing kantong plastik besar bergambar beruang. Isinya? Boneka anjing besar berbulu lebat dengan ukuran moncong mendekati besar bokongnya. Ia berwarna cream dan oranye. Kupingnya melambai menutup matanya yang cekung. Mirip si Jack dalam Pirate of Carribean, sebelah matanya dikelilingi bulu dengan warna berbeda. Malam itu juga, kami punya anggota baru. Namanya Bernie. Karena facebook menginginkan nama terdiri atas dua kata, ia menjadi Bernie Wati. Kenapa tidak Bernie Wan? Karena aku tak suka memanjakan laki-laki. Lagi pula dengan leher terlilit pita berbunga, Bernie sangat girly.

Pada malam sebelumnya, dia sudah membawaku dimana sebangsa Bernie berada. Ketika kuintip kertas menggantung di leher mereka, alamak, muahal sekali harga untuk seekor anjing ilusi macam Bernie. Malam itu juga kukubur cita-cita memelihara boneka binatang kembali. Sudahlah semoga Saun baik-baik saja di tangan sepupu kecilku di kota sana. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tak kupungkiri ada kerinduan dan kepuasaan yang berbeda dengan makhluk lucu dan bikin mengantuk itu.

Tentu saja aku senang alang kepalang ketika ia menyuguhkan Bernie padaku. Katanya, "Tadinya, aku kira kamu di kamar. Mau taruh Bernie di kursi, ketok jendelamu, dan aku sembunyi. Biar surprise. Eh, malah kamu nangkring aja di luar sini," ekspresinya seolah-olah jengkel. Tawaku meledak. Ketika Bernie di pangkuanku, seperti Saun dulu, kutelusuri setiap sisi badannya. Mana tahu ia membawa kutu, seperti yang Saun bawa. Walau sekadar kutu ecek-ecek.

Kehadiran Bernie cukup membantuku untuk tidur lebih teratur. Ia juga menghangatkan malam berhujan. Ekspresinya sepanjang hari yang begitu-begitu saja tak kunjung membuatku bosan. Bernie ikut membantu psikologiku agar betah di kamar. Bisa jadi premis minor ini meneguhkan atas boneka turut serta mempengaruhi psikologi dan mood seseorang. Mungkin karena itu, hampir setiap orang menyukai boneka.

Mendekati sebulan Bernie bersama kami, Bernie mulai berubah aroma. Kadang bau ketek, kadang bau kentut, dan pastinya bau jigong. Kemaren minggu, dengan berat hati kujemur Bernie di bawah terik mentari. Panas buanget. Kuharap panas ini dapat mengurai semua jenis bau yang melekat di badannya. Lalu kusemprotkan pewangi pakaian. Lumayan segar. Paginya, Bernie tak ubahnya dengan bau badanku. Sudahlah.

Berbeda dengan Saun yang aneh ketika dipeluk. Karena Bernie punya kaki depan dan belakang yang tidak sependek kaki-kaki Saun, Bernie lebih stabil ketika dipeluk. Ini mengasyikkan. Belum lagi matanya yang kerap tertutup oleh lebarnya kuping dan tebalnya bulu rambut. Sepanjang hari Bernie buta dan tak bergerak sedikit pun. Ditambah besarnya perut dan bokong Bernie yang berat. Lengkap sudah. Bernie hanya teronggok dengan dua posisi; terlentang dan tengkurap.

Ekor Bernie yang tak sampai sejengkal itu, menjadi lucu ketika dipermainkan atau dielus-elus. Disamping panjangnya moncong, lebarnya kuping, dan besarnya perut, Bernie hanya dilengkapi ekor mungil oranye yang mungkin tak berefek banyak padaku.
Konstruksi Bernie yang menggemaskan ini menjadi proyek besar dari kapitalis. Adalah perbaikan mood juga menjadi urusan penting manusia. Dan adalah boneka anjing, satu dari ribuan model binatang yang diharapkan dapat mengentaskan psikologi yang labil. Bernie, representasi dari hewan anjing yang lincah dan cukup cerdas. Jelas, boneka Bernie tak mampu mewujudkan karakter itu secara fisik. Tapi, karakter itu coba dilekatkan pada pemilihan warna, ukuran tubuh dan kaki, serta model ideal seekor anjing.

Karakter Bernie dan hewan anjing, sadar atau tidak, memberi share meaning padaku bahwa Bernie adalah laki-laki. Ini juga tergantung pada framework-ku terhadap anjing-anjing yang pernah kami pelihara sebelumnya. Hampir semua anjing yang dipelihara oleh keluargaku adalah laki-laki. Karena ayah suka berburu babi dan kijang, anjing laki-laki menjadi harga mati. Itu terjadi belasan tahun lalu. Dan kehadiran Bernie tahun ini, mengingatkanku pada masa lalu, dimana aku, ayah, ibu, kakak, abang selalu menoleransi anjing-anjing kami melintasi ruang tengah menuju halaman belakang.

Ditambah lagi beberapa teman dan tetangga yang juga hobi memelihara anjing di rumah. Cantik-cantik. Membawa kedamaian. Anjing dan anak kecil, adalah dua elemen yang mampu membangun humanisasi antarsesama. Anjing biasanya gampang akrab dengan anak kecil, pun sebaliknya, anak kecil suka bermain-main dengan anjing. Seperti aku dulu. Selepas makan siang sepulang sekolah, menjelang mandi sore, ibu dan ayah takkan menegurku berkejar-kejaran dengan anjing, berguling-gulingan dengan anjing di bawah rerimbunan bambu belakang rumah, atau berebut kulit kelapa. Bajuku pasti kotor dan bau. Di kulit dan di rambutku air liur anjing biasa menempel. Ada ekspresi kesenangan dari binatang ini yang mereka kirimkan kepadaku. Dengan cepat aku paham bahwa mereka suka berkejaran, bergulingan, dan bahkan pura-pura ingin menerkamku.

Jika sudah begini, ingin aku pulang ke desa dimana aku dibesarkan. Memelihara anjing kampung, membuatnya jinak, dan disenangi banyak orang.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...