Skip to main content

Mei yang Rumit



KITA sulit lupa pada tragedi Mei nan bersejarah bagi bangsa ini. Ya, karena media tak pernah absen menuliskan kembali narasi-narasi perlarian, penculikan, perkosaan, penjarahan, pembunuhan, penahanan, penyerahan, dan pemenangan waktu itu. Plus mengendorser dari pelaku, baik penggugat maupun tergugat, serta keluarga korban. 2013, 15 tahun sudah tragedi rontoknya Orde Baru itu melambaikan tangan, secara ke-rezim-an. Secara praksis, jelas saja belum tentu. Tak mudah memang mengubah tradisi bernegara yang sudah dibangun selama 32 generasi.

Tragedi ini lebih dari tragedi saling memaki, saling mengolok, dan saling menyumpahi. Ini tragedi berdarah dalam menumbangkan rezim yang korup, penuh bias, dan jelas saja diskriminatif. Tragedi yang menghilangkan banyak roh, banyak generasi; roh dan generasi yang kritis serta berani. Kritis dan berani tidak gampang di rezim itu. Dan, sudah terungkap, betapa mahalnya untuk menukar kritis dan berani; renggukan nyawa.

Kini, kita kembali mengingat Mei '98 dengan banyak cerita. Di balik banyak cerita itu ada angan-angan untuk mengulang tragedi yang sedikit banyak mirip. Kali ini adalah tragedi memerangi rezim yang korup dan tak punya malu. 15 tahun bukan waktu yang sedikit untuk membenahi diri. Jika berkomitmen, banyak peluang untuk tidak tipu-tipu dan tidak lebay di depan televisi. Ini tidak sekadar momentum untuk April 2014, tapi -selaiknya- sudah menjadi tanggung jawab dalam hidup berbangsa dan bernegara sejak dulu.

Mei 2013 adalah mei yang panjang sekaligus rumit. Ini bulan penuh kisah, menguras tenaga dan emosi. Bulan dimana kita berkaca kemudian melihat wajah, apakah bopeng yang sama masih menempel atau sudah ada titik terang. Bulan yang membuat kita marah dan memaki ketika membaca koran, menonton tivi, serta berselancar di cyberspace. Bulan yang mengerutkan saraf otak. Bulan yang benar-benar membuat capek.

Inilah Mei. Bulan yang rumit. Apakah akan tetap menyimak kemudian memaki koran, atau diam saja sekaligus tetap mengumpat karena cerita akan Mei ini tak bisa dihilangkan dari benak kepala begitu saja. Saya pun demikian. '98 adalah waktu dimana saya tak bisa membedakan mana makan pagi dan makan malam. Masa yang tak sama sekali saya kenali hingga bertahun-tahun kemudian. Sampai seseorang berceletuk ketika saya di tahun akhir kuliah, "'98 adalah kerja keras kami, kerjamu mana sebagai mahasiswa?". Saya jengkel, sekaligus memijit-mijit dahi, "di '98 kamu tak sendiri, sementara sekarang, saya hampir sendiri."

Inilah Mei yang Rumit,,,

AR Dedees

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...

Gilby Mohammad