Bagaimana mencintai ibu?
Saya dengan mengambil alih pekerjaan yang dilakukan ibu, yang bisa saya lakukan. Ambil alih pekerjaan ini sebenarnya tidak selalu. Misal, tidak selalu saya yang mencuci piring atau tidak selalu saya yang memasak. Seperti pagi ini, saya tidak memasak, melainkan beliau. Sembari memasak beliau mengerjakan yang lain: membereskan rak piring, mengelap meja. Tapi, jika ada yang berbelanja, saya yang angkat pantat melayani pembeli.
Kecuali menjahit. Beliau tidak menjahit pakai mesin, hanya jahit tangan. Menjahit kancing baju kakak yang lepas, menjahit selangkangan celana saya yang robek, menjahit baju nenek yang kepanjangan, atau menjahit sprei yang sobek digaruk kucing. Di depan mata saya, menjahit seakan-akan menegaskan ibu sebagai ibu. Ibu sebenarnya jarang menjahit. Tapi beliau punya banyak koleksi benang dengan berbagai warna. Dan beliau selalu menyimpan perlengkapan jahit ini.
Meski tak pernah membantu ibu menjahit, tapi saya juga selalu memiliki perlengkapan jahit. Sejak di Padang hingga di Jogja. Selalu memiliki penjahit, benang, gunting, peniti, dan menyimpan kancing-kancing liar. Warisan kebiasaan dari ibu sepertinya. Menjahit adalah aktivitas purba yang bertahan hingga sekarang.
Ibu suka memasak. Beliau memasak setiap hari tanpa putus. Mulai dari air panas, nasi putih, sayur, lauk. Terlebih ketika saya di rumah, yang membuat anggota keluarga lengkap, beliau nyaris memasak panganan setiap hari. Kemarin menggoreng ubi, kemarinnya memasak lemper, kemarin lusanya memasak godok pisang, pekan kemarin memasak lemper lagi, hari ini bisa jadi membakar pisang atau merendang ketan jemur.
Setiap hari pula perhatian saya tercurah kepada dapur bersama beliau. Bagaimana tidak, seperti pada kalimat pembuka tulisan ini, itu bentuk cinta kepada ibu. Tidak tega membiarkan beliau sendiri di dapur dan menggodok semua panganan untuk satu keluarga. Satu sisi mungkin otak saya tumpul karena nyaris tak punya waktu untuk membaca apalagi menulis. Tho, kalau membaca paling membaca timeline twitter. Kalau saya menulis, ya menulis yang beginian saja, sebagai nutrisi blog.
Saya jadi berpikir, kenapa perempuan kerap terlihat tidak cerdas dan berada (tereksklusi) di luar isu-isu sosial utama di sekeliling mereka? Nyaris seharian mempersiapkan makanan dan mengurus rumah+anak adalah faktor terbesar penyebabnya. Perempuan nyaris tidak memiliki waktu melayani dirinya sendiri selain mandi pagi dan mengganti pakaian dengan yang bersih. Selebihnya untuk suami, anak, dan rumah. Rutinitas domestik itu benar-benar membunuh potensi perempuan.
Ibu saya adalah contoh yang paling lawas. Ada contoh lain yakni tetangga saya. Ia ibu dengan dua anak. Si sulung bersekolah SD, sementara si bungsu menginjak 3 tahun. Sejak saya di rumah, atas permintaan ibu, saya betul-betul mengamati kehidupan kesehariannya sejak pagi hingga malam ketika menutup kios BBM miliknya.
Pagi sekali, ia sudah membuka kios BBMnya. Sejak pagi, ia bersama suami melayani pembeli BBM yang lalu lalang di depan rumah. Pekerjaan dilanjutkan di belakang: menyiapkan perlengkapan sekolah si sulung, memandikan si bungsu, memasak, mencuci, menyapu rumah, menyapu halaman, menyuapi si bungsu, mengontrol PR si sulung sesudah pulang sekolah, mengawasi si bungsu bermain, menyiapkan makanan suami, selain mandi dan berdandan buat diri sendiri. Begitu setiap hari dan itu sebagian besar saja, sementara ada sebagian kecil lagi seperti mengingatkan si sulung dan adik mengaji, mengurus ibu dan mengurus paman.
24 jam dihabiskan dengan rutinitas demikian tiada jeda. Serupa ibu, pagi-pagi sekal beliau sudah bersih-bersih rumah, menjelang siang menyiapkan makanan, siang beres-beres –ada saja yang diberesi-, sore bersih-bersih lagi, dan malam waktu untuk istirahat. Waktu istirahat itu tidak murni tanpa mengerjakan yang lain. Entah mengisi bak mandi, entah mengecek mobil yang terkunci baik atau belum, dan entah apa lagi.
Menyaksikan sekian banyak pekerjaan harian ibu, ingin rasanya saya mengambil alih dan membiarkan ibu duduk-duduk di warung sembari melayani pembeli saja. Saya pernah mengambil alih. Dan yang paling sederhana cara membantu ibu adalah dengan tidak membiarkan mata terlelap di siang hari sementara ibu sibuk beres-beres tiada henti. Jika itu terjadi, selepas bangun tidur saya merasa menyesal. Menyesal karena membiarkan ibu tidak ikut terlelap dan menyesal karena ada aktivitas produktif lain yang bisa saya kerjakan.
Ibu Saya
Ibu saya suka bersih-bersih dan rapi-rapi. Sejak kami kecil, beliau bersama mendinga abak (ayah) berjualan di rumah dan di pasar. Dulu sekali beliau berjualan lontong sayur di depan rumah, rumah lama kami berada di sekitar pasar mingguan. Selain berjualan lontong ibu juga sibuk menjajakan keripik singkong hasil olahan tangan beliau sendiri. Beliau cukup ahli untuk itu, Cuma beliau tak pernah lakukan lagi sejak usaha abak semakin meningkat. Beliau pun lebih banyak membantu usaha abak di rumah dan di pasar.
Itu dulu sekitar 23 tahun lalu, ketika saya masih bermain di bawah rimbun tebu bersama ayam-ayam peliaharaan abak. Kini, ibu di rumah saja, sibuk membereskan rumah, dan melayani pembeli di warung. Nah, hobi beberes rumah ini sepertinya cukup berbahaya. Bagaimana tidak, ibu nyaris tak berhenti beraktivitas sepanjang hari. Ada saya yang beliau kerjakan. Misal, habis mencuci kain lap, ketika beberes kamar beliau menemukan kain lap yang kotor lagi, segera beliau cuci itu kain lap. Untuk bercerita soal ini, saya sudah lelah duluan menceritakan kepada pembaca.
Ibu saya itu suka memberi. Saya belajar banyak dari kebiasaan baik beliau ini. Sepertinya, jika tidak dari mendiang nenek, beliau dapatkan kebiasaan ini dari Ayek Irul. Ayek Irul adalah nenek gaul yang anak bungsunya bernama Irul. Nenek ini suka berdendeng, bercerita, berpantun, dan bercanda bersama orang-orang sekitar. Beliau turut mengasuh kakak-kakakku ketika ibu, abak, dan aku berjualan di pasar. Sebagai bungsu, ibu jarang sekali meninggalkan aku di rumah. Kemana-mana dibawa, kemana-mana dikundang.
Nenek Irul sudah dianggap ibu oleh ibuku. Maklum nenek kami jauh di kampung. Dan lagian, Nenek Irul juga sudah dijadikan ibu angkat oleh kakak perempuannya. Ceritanya, karena kakak perempuanku mirip ibu, dalam tradisi kami di Minang, kakak perempuanku mestilah digadaikan kepada orang lain agar sehat selalu. Alhasil, kakakku digadaikan kepada Nenek Irul. Dengan senang hati, si nenek mangangkat kakak perempuannya sebagai anak beliau. Malam itu juga si nenek membelikan sebungkus roti, roti marie, untuk kakakku. Aku masih ingat malam itu, hahahaha.
Nenek Irul yang sudah tua membuat ibu jadi kasihan. Dan kebaikan Nenek Irul pada ibu dan abak pasti tak tergantikan. Oleh karena itu, ibu selalu membagi makanan apa saja yang ada di rumah untuk Nenek Irul dan anak bungsu si nenek. Mulai dari lauk-pauk, nasi, gulai, makanan pabukoan waktu ramadhan, lebaran, dan sebagainya. Si nenek pun juga berkesan di hati saya. Saya, seringkali lebih suka masakan beliau ketimbang masakan ibu. Entah kenapa. Semua yang beliau masak selalu enak di lidah saya. Sehingga, si nenek pun selalu mengantarkan makanan ke rumah kepada ibu untuk saya, hehehe.
Saling bertukar makanan ini agaknya sebagai contoh yang paling bagus buat saya hingga saya tumbuh besar. Suka memberi dan suka menerima pemberian tetangga. Ini mengajarkan saya untuk, beberapa kali, memberi makanan pabukoan kepada tetangga-tetangga pada suatu ramadhan belasan tahun silam. Senang rasanya memberi makanan kepada mereka.
Tapi, kalau dipikr-pikir, setelah saya tidak banyak di rumah, di Jogja misalnya, satu dua tetangga juga suka memberi makanan ke saya. Mereka orang baik. Dan orang baik tersebar di banyak tempat serta jumlah mereka juga pasti banyak. Ibu dan orang-orang baik yang suka berbagi menjadi inspirasi dan tempat belajar yang bagus buat saya.
Saya dengan mengambil alih pekerjaan yang dilakukan ibu, yang bisa saya lakukan. Ambil alih pekerjaan ini sebenarnya tidak selalu. Misal, tidak selalu saya yang mencuci piring atau tidak selalu saya yang memasak. Seperti pagi ini, saya tidak memasak, melainkan beliau. Sembari memasak beliau mengerjakan yang lain: membereskan rak piring, mengelap meja. Tapi, jika ada yang berbelanja, saya yang angkat pantat melayani pembeli.
Kecuali menjahit. Beliau tidak menjahit pakai mesin, hanya jahit tangan. Menjahit kancing baju kakak yang lepas, menjahit selangkangan celana saya yang robek, menjahit baju nenek yang kepanjangan, atau menjahit sprei yang sobek digaruk kucing. Di depan mata saya, menjahit seakan-akan menegaskan ibu sebagai ibu. Ibu sebenarnya jarang menjahit. Tapi beliau punya banyak koleksi benang dengan berbagai warna. Dan beliau selalu menyimpan perlengkapan jahit ini.
Meski tak pernah membantu ibu menjahit, tapi saya juga selalu memiliki perlengkapan jahit. Sejak di Padang hingga di Jogja. Selalu memiliki penjahit, benang, gunting, peniti, dan menyimpan kancing-kancing liar. Warisan kebiasaan dari ibu sepertinya. Menjahit adalah aktivitas purba yang bertahan hingga sekarang.
Ibu suka memasak. Beliau memasak setiap hari tanpa putus. Mulai dari air panas, nasi putih, sayur, lauk. Terlebih ketika saya di rumah, yang membuat anggota keluarga lengkap, beliau nyaris memasak panganan setiap hari. Kemarin menggoreng ubi, kemarinnya memasak lemper, kemarin lusanya memasak godok pisang, pekan kemarin memasak lemper lagi, hari ini bisa jadi membakar pisang atau merendang ketan jemur.
Setiap hari pula perhatian saya tercurah kepada dapur bersama beliau. Bagaimana tidak, seperti pada kalimat pembuka tulisan ini, itu bentuk cinta kepada ibu. Tidak tega membiarkan beliau sendiri di dapur dan menggodok semua panganan untuk satu keluarga. Satu sisi mungkin otak saya tumpul karena nyaris tak punya waktu untuk membaca apalagi menulis. Tho, kalau membaca paling membaca timeline twitter. Kalau saya menulis, ya menulis yang beginian saja, sebagai nutrisi blog.
Saya jadi berpikir, kenapa perempuan kerap terlihat tidak cerdas dan berada (tereksklusi) di luar isu-isu sosial utama di sekeliling mereka? Nyaris seharian mempersiapkan makanan dan mengurus rumah+anak adalah faktor terbesar penyebabnya. Perempuan nyaris tidak memiliki waktu melayani dirinya sendiri selain mandi pagi dan mengganti pakaian dengan yang bersih. Selebihnya untuk suami, anak, dan rumah. Rutinitas domestik itu benar-benar membunuh potensi perempuan.
Ibu saya adalah contoh yang paling lawas. Ada contoh lain yakni tetangga saya. Ia ibu dengan dua anak. Si sulung bersekolah SD, sementara si bungsu menginjak 3 tahun. Sejak saya di rumah, atas permintaan ibu, saya betul-betul mengamati kehidupan kesehariannya sejak pagi hingga malam ketika menutup kios BBM miliknya.
Pagi sekali, ia sudah membuka kios BBMnya. Sejak pagi, ia bersama suami melayani pembeli BBM yang lalu lalang di depan rumah. Pekerjaan dilanjutkan di belakang: menyiapkan perlengkapan sekolah si sulung, memandikan si bungsu, memasak, mencuci, menyapu rumah, menyapu halaman, menyuapi si bungsu, mengontrol PR si sulung sesudah pulang sekolah, mengawasi si bungsu bermain, menyiapkan makanan suami, selain mandi dan berdandan buat diri sendiri. Begitu setiap hari dan itu sebagian besar saja, sementara ada sebagian kecil lagi seperti mengingatkan si sulung dan adik mengaji, mengurus ibu dan mengurus paman.
24 jam dihabiskan dengan rutinitas demikian tiada jeda. Serupa ibu, pagi-pagi sekal beliau sudah bersih-bersih rumah, menjelang siang menyiapkan makanan, siang beres-beres –ada saja yang diberesi-, sore bersih-bersih lagi, dan malam waktu untuk istirahat. Waktu istirahat itu tidak murni tanpa mengerjakan yang lain. Entah mengisi bak mandi, entah mengecek mobil yang terkunci baik atau belum, dan entah apa lagi.
Menyaksikan sekian banyak pekerjaan harian ibu, ingin rasanya saya mengambil alih dan membiarkan ibu duduk-duduk di warung sembari melayani pembeli saja. Saya pernah mengambil alih. Dan yang paling sederhana cara membantu ibu adalah dengan tidak membiarkan mata terlelap di siang hari sementara ibu sibuk beres-beres tiada henti. Jika itu terjadi, selepas bangun tidur saya merasa menyesal. Menyesal karena membiarkan ibu tidak ikut terlelap dan menyesal karena ada aktivitas produktif lain yang bisa saya kerjakan.
Ibu Saya
Ibu saya suka bersih-bersih dan rapi-rapi. Sejak kami kecil, beliau bersama mendinga abak (ayah) berjualan di rumah dan di pasar. Dulu sekali beliau berjualan lontong sayur di depan rumah, rumah lama kami berada di sekitar pasar mingguan. Selain berjualan lontong ibu juga sibuk menjajakan keripik singkong hasil olahan tangan beliau sendiri. Beliau cukup ahli untuk itu, Cuma beliau tak pernah lakukan lagi sejak usaha abak semakin meningkat. Beliau pun lebih banyak membantu usaha abak di rumah dan di pasar.
Itu dulu sekitar 23 tahun lalu, ketika saya masih bermain di bawah rimbun tebu bersama ayam-ayam peliaharaan abak. Kini, ibu di rumah saja, sibuk membereskan rumah, dan melayani pembeli di warung. Nah, hobi beberes rumah ini sepertinya cukup berbahaya. Bagaimana tidak, ibu nyaris tak berhenti beraktivitas sepanjang hari. Ada saya yang beliau kerjakan. Misal, habis mencuci kain lap, ketika beberes kamar beliau menemukan kain lap yang kotor lagi, segera beliau cuci itu kain lap. Untuk bercerita soal ini, saya sudah lelah duluan menceritakan kepada pembaca.
Ibu saya itu suka memberi. Saya belajar banyak dari kebiasaan baik beliau ini. Sepertinya, jika tidak dari mendiang nenek, beliau dapatkan kebiasaan ini dari Ayek Irul. Ayek Irul adalah nenek gaul yang anak bungsunya bernama Irul. Nenek ini suka berdendeng, bercerita, berpantun, dan bercanda bersama orang-orang sekitar. Beliau turut mengasuh kakak-kakakku ketika ibu, abak, dan aku berjualan di pasar. Sebagai bungsu, ibu jarang sekali meninggalkan aku di rumah. Kemana-mana dibawa, kemana-mana dikundang.
Nenek Irul sudah dianggap ibu oleh ibuku. Maklum nenek kami jauh di kampung. Dan lagian, Nenek Irul juga sudah dijadikan ibu angkat oleh kakak perempuannya. Ceritanya, karena kakak perempuanku mirip ibu, dalam tradisi kami di Minang, kakak perempuanku mestilah digadaikan kepada orang lain agar sehat selalu. Alhasil, kakakku digadaikan kepada Nenek Irul. Dengan senang hati, si nenek mangangkat kakak perempuannya sebagai anak beliau. Malam itu juga si nenek membelikan sebungkus roti, roti marie, untuk kakakku. Aku masih ingat malam itu, hahahaha.
Nenek Irul yang sudah tua membuat ibu jadi kasihan. Dan kebaikan Nenek Irul pada ibu dan abak pasti tak tergantikan. Oleh karena itu, ibu selalu membagi makanan apa saja yang ada di rumah untuk Nenek Irul dan anak bungsu si nenek. Mulai dari lauk-pauk, nasi, gulai, makanan pabukoan waktu ramadhan, lebaran, dan sebagainya. Si nenek pun juga berkesan di hati saya. Saya, seringkali lebih suka masakan beliau ketimbang masakan ibu. Entah kenapa. Semua yang beliau masak selalu enak di lidah saya. Sehingga, si nenek pun selalu mengantarkan makanan ke rumah kepada ibu untuk saya, hehehe.
Saling bertukar makanan ini agaknya sebagai contoh yang paling bagus buat saya hingga saya tumbuh besar. Suka memberi dan suka menerima pemberian tetangga. Ini mengajarkan saya untuk, beberapa kali, memberi makanan pabukoan kepada tetangga-tetangga pada suatu ramadhan belasan tahun silam. Senang rasanya memberi makanan kepada mereka.
Tapi, kalau dipikr-pikir, setelah saya tidak banyak di rumah, di Jogja misalnya, satu dua tetangga juga suka memberi makanan ke saya. Mereka orang baik. Dan orang baik tersebar di banyak tempat serta jumlah mereka juga pasti banyak. Ibu dan orang-orang baik yang suka berbagi menjadi inspirasi dan tempat belajar yang bagus buat saya.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^