Skip to main content

Politik Kelas Menengah di Kota Menengah Indonesia



Indonesia cenderung dimengerti melalui Jakarta. Melalui birokrasi dan mata rantai yang bertumpu kepada institusi negara. Riset tentang kelas menengah ini mengembalikan pemahaman akan Indonesia yang tidak melulu dipahami dari Jakarta melainkan dari kawasan lokal yang jauh dari logika negara. Menggeser lokal menjadi kota. Menggeser pemahaman akan Indonesia ke garis kelas sosial masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Cornelis Lay dalam Seminar dan Diskusi Buku Kelas Menengah di Kota Menengah di Gedung Seminar FISIPOL UGM pada 24 Februari 2016 lalu.

Selain Cornelis Lay, hadir di sana Gerry van Klinken sebagai peneliti dan penyunting buku tersebut. Menurut van Klinken, kelas adalah alat intelektual untuk berpolitik, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, dan melanggengkan kekuasaan informal di kota menengah. Kelas menengah di kota menengah Indonesia pada dasarnya mendukung demokrasi dan desentralisasi, tapi menolak pasar bebas. Mereka juga cenderung bersepakat dengan model otoritarianisme dengan menjaga jaringan yang bersifat patron-klien dengan pemerintah kota.

“Kelas menengah ini cenderung mengontrol arus perburuan rente dengan negara (pemerintah kota) untuk agenda politik mereka,” ujar van Klinken.

Lay menambahkan, dimensi kelas menengah di kota menengah membutuhkan ruang-ruang representasi bagi mereka. Ada simbol-simbol sosial yang dipakai sebagai penanda kelas sosial, seperti sepeda motor atau kulkas. Kelas menengah cenderung berpenampilan modis dan sekaligus menjadi umat yang berTuhan dengan baik. Misal, pasar adalah panggung bagi kelas menengah untuk menampilkan diri mereka sebagai kelas yang menguasai kota provinsi. Atau, ke gereja biasanya memakai baju-baju baru. Pasar dan gereja menjadi ruang-ruang representasi bagi kelas menengah di kota menengah.

“Ciri lainnya ialah bercita-cita menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Hampir setiap rumah di Kupang memiliki salah satu anggota keluarga berprofesi PNS,” ungkap Lay.

Kelas menengah menjunjung tinggi nilai-nilai lokal dan kultural. Kekuasaan dibangun cenderung dipengaruhi oleh faktor-faktor informal seperti etnisitas, agama, kekerabatan, dan faktor kedaerahan. Cita-cita menjadi PNS adalah bagian dari capaian menggapai negara.

“Dengan begitu mereka dapat mengontrol arus perburuan rente seperti uang, pengetahuan (menyekolahkan anak ke Pulau Jawa), dan kekuasaan resmi (birokrasi),” tutup van Klinken.


*Juga dimuat di Brikolase

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...