Skip to main content

Balimau, Mandi Besar Masuk Ramadan

Setiap memasuki bulan puasa, Ramadan, balimau menjadi hal wajib bagi kami di rumah. Balimau merupakan mandi besar, mandi wajib sebelum menjalankan ibadah puasa. Tujuan balimau tentu saja untuk membersihkan dan menyucikan untuk menyambut bulan yang suci. Mandi besar ini dilakukan pada sore hari yang dilanjutkan dengan malamnya melaksanakan salat tarawih.

Ini menjadi tradisi di keluarga besar kami di Pesisir Selatan yang kemudian berlanjut ketika tinggal di Mukomuko. Dulu, kalau di kampung, tradisi balimau dilengkapi dengan rempah-rempah dan air wangi. Rempahnya, yang saya ingat, ada bunga mawar dan daun pandan. Itu dua rempah yang paling saya ingat, sepertinya masih ada yang lain.

Kata balimau terdiri dari imbuhan ba- dan limau. Ba- sendiri sama dengan ber-, sementara limau, bermakna jeruk. Terjemahan literalnya berjeruk atau memakai jeruk, hahaha. Sementara makna semantiknya memakai jeruk untuk membersihkan diri. Jeruk kan juga identik untuk membersihkan, mewangikan, dan membuat jauh dari noda bahkan bakteri. Balimau, kira-kira terjemahan agak seriusnya begini: memakai jeruk beserta rempah lainnya untuk membersihkan diri dari noda dan kotoran menjelang menunaikan ibadah puasa Ramadan.

Nah, tradisi ini tidak hanya berkembang di Sumatera Barat. Di Mukomuko, Bengkulu, tradisi ini juga menjadi primadona. Ketika saya di Padang, pada hari balimau, orang-orang sibuk dan ramai turun ke tempat pemandian umum seperti sungai, taman bermain yang ada air tempat mandinya, dan sebagainya. Hari itu bisa lebih ramai ketimbang hari libur akhir pekan. Bisa seperti hari lebaran di mana orang-orang sibuk kesana kemari, lalu lalang, hilir mudik merayakan balimau.

Itu di Padang. Di Mukomuko juga sama, bahkan lebih mengerikan lagi. Kawasan pemandian umum tidak hanya menyediakan jasa pinjam ban, bebek-bebekan, dan sejenisnya untuk orang-orang berenang tapi juga menyediakan hiburan organ tunggal di sekitar kawasan pemandian. Orang-orang sebelum menceburkan diri ke sungai, bisa ‘pemanasan’ dulu menonton hiburan, atau sebaliknya, setelah puas dan pucat pasi mandi berjam-jam di sungai kemudian naik ke daratan mengeringkan badan, ‘relaksasi’ sembari menikmati hiburan musik.

Perayaan balimau di Mukomuko yang bagi saya luar biasa ini, tidak jarang memakan korban. Pernah suatu waktu, beberapa tahun silam, terjadi insiden di kawasan pemandian umum. Panggung musik yang sedang seru dan ramai dipenuhi oleh pejoget yang sudah puas mandi, tiba-tiba ambruk. Tidak sedikit anak-anak muda mengalami cidera dari tragedi itu. Abang saya menyaksikan langsung dan beruntung ia tidak berada dalam gerombolan di atas panggung.

Lain di tempat pemandian, lain pula di jalan. Sejak siang hingga menjelang sore adalah waktu di mana orang-orang ramai lalu lalang menuju tempat pemandian. Jalan lintas Bengkulu-Sumbar persis di depan rumah saya. Saya tahu betul arus lalu lintas saat-saat orang beramai-ramai untuk balimau. Hampir setiap detik mobil konvoi dan terutama motor lewat di depan rumah. Suaranya bising dan rata-rata dengan kecepatan tinggi, 80km/jam. Medan jalan kawasan Mukomuko cukup rata dan beraspal bagus. Tapi, banyak kelokan dan tikungan di sepanjang jalan lintas, apalagi memasuki kawasan pemandian di pedalaman. Jalan yang mulus tapi berkelok-kelok dan turun naik juga berbahaya. Pada tahun-tahun lalu, pada musim balimau, ada saja orang yang mengalami kecelakaan ketika menjalankan tradisi keren ini. Biasanya selepas pulang balimau.

Di tempat saya agak berbeda dengan di Padang. Kalau di Padang, balimau di tempat pemandian umum juga diikuti oleh anak-anak dan orang tua, selain anak muda dan remaja. Sementara di Mukomuko, balimau mayoritas dirayakan oleh anak muda, terutama anak muda yang kasmaran. Balimau seperti menjadi ajang bagi anak muda jalan-jalan bersama orang tercinta terkasih tanpa perlu banyak ditanya oleh orang tua akan kemana mereka berdua-dua. Balimau menjadi liburan sore yang asyik tanpa ‘gangguan’ orang tua mereka masing-masing. Berboncengan berdua sepanjang jalan, mandi berdua di tengah bersama-sama, menikmati hiburan berdua, makan berdua sebelum menjalan ibadah puasa Ramadan. Pemadangan ini sudah biasa.

Mungkin karena itu pula penyebab kecelakaan baik di tempat pemandian maupun di jalan ketika hari balimau itu datang. Karena anak muda masih hiruk pikuk dan suka labil dengan euforia balimau. Maka tak heran, di tempat saya balimau lebih diasosiasikan dengan dunia anak muda jalan-jalan dan mandi-mandi bersama sebelum Ramadan.

Saya sendiri pernah mengikuti tradisi balimau di luar rumah. Waktu itu saya dan teman berjalan-jalan saja kemana motor membawa. Kami tidak mandi-mandi di tempat pemandian umum, pun juga tidak mendekati kawasan tersebut. Sialnya, menjelang magrib pulang ke rumah, gempa 7 SK menimpa kawasan kami. Ini cerita sedih, beruntung saya, teman, dan keluarga tak apa. Soal gempa menjelang puasa ini, sepertinya sudah menjadi ‘tradisi’ pula di tempat saya. Ramadan tahun 2016 ini, pada Kamis menjelang puasa, Mukomuko juga dilanda gempa bumi 6,3 SK. Cukup mengguncangkan kami di subuh hari dan beruntung tak ada korban.

Sejak itu saya tidak pernah lagi merayakan balimau di luar rumah. Setiap memasuki bulan puasa, saya dan ibu hanya mandi di rumah. Kami membuat rempah wewangian sendiri dari daun pandan dan lainnya.

Demikian tradisi balimau yang ada di tempat saya. Saya tuliskan di blog karena sepertinya ini penting, menjadi bagian dari kehidupan saya yang agaknya tidak setiap orang memiliki cerita seperti yang kami miliki, hehehe. Terimakasih.



Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...