Skip to main content

Kenapa Orang Bosan dengan Kecepatan?


Revolusi Internet 2.0 yang memungkinkan pengguna internet (media dan sosial media) berbagi konten kapan dan di mana saja dalam hitungan detik. Selama 24/7 orang terhubung dengan internet tanpa jeda. Waktu dan kecepatan pun menjadi tolak ukur seseorang untuk dapat dikatakan terkini dan terdepan, dua kata sakti-mandraguna dalam kajian media baru kontemporer. Alhasil, arus baru informasi dari televisi, media cetak, radio, dan internet berputar tanpa henti.

Di tengah perputaran jutaan informasi yang cepat ini, orang-orang kemudian menjadi jenuh dan lelah. Tidak semata-mata karena kecepatan yang tak selalu terkejar, tapi juga pada persoalan akurasi antara fakta dan opini, orisinalitas, dan tata bahasa informasi yang disajikan tidak proporsional, serampangan, dan jauh dari etika pemberitaan media siber.

Pindai.org, salah satu ruang publikasi kolektif untuk liputan dan analisis jurnalistik yang disajikan secara kritis dan mendalam meluncurkan buku Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme di Lembaga Indonesia Prancis Yogyakarta pada Sabtu, 13 Februari 2016 lalu. Hadir di sana Andreas Harsono (wartawan dan peneliti Human Rights Watch) dan Nezar Patria (wartawan dan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Online). Di tengah sekitar 100 peserta diskusi, pembicara membincangkan masa depan jurnalisme naratif di tengah tren media baru dan gempuran informasi yang semakin sulit diverifikasi.

“Jurnalisme naratif atau jurnalisme santai semakin disukai karena memiliki keterikatan lebih dengan pembaca. Orang-orang bisa menikmati karena menyajikan cerita yang utuh dan berkaitan langsung dengan fakta sosial,” ujar Nezar Patria.

Masa depan jurnalisme naratif pada media online dipandang menjanjikan berhubung media online memiliki kelebihan: ruang yang tak terbatas (unlimited space), kontrol pembaca/audiens (audience control), penyimpanan dan perolehan kembali (storage and retrieval). Selain kelebihan ini, media online yang bersifat multiplatform dapat memuat berbagai bentuk konten (tulisan, gambar, suara, gambar dan suara) sangat mendukung perkembangan jurnalisme naratif agar berkembang pesat di Indonesia.

Di tengah berbagai bencana media, seperti kolapsnya media cetak konvensional dan konten informasi pada media online yang tak terkontrol, jurnalisme naratif memungkinkan untuk mengambil alih menyediakan konten yang lebih bermutu, bagus, dan berpengetahuan.

“Jurnalisme naratif memberi peluang untuk melahirkan penulis-penulis hebat. Yang ditakuti dari Amerika Serikat itu bukanlah militeristiknya, tapi penulis-penulis hebatnya,” pungkas Andreas Harsono.


*Juga dimuat di Brikolase

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Kado Setelah Ujian Skripsi

Tak terasa sudah lebih tiga tahun menggeluti Program Studi Sastra Indonesia di salah satu kampus negeri kota Padang ini. Pada hari itu, Rabu, 20 Juli 2011, sekitar pukul 08.00 waktu setempat, saya mulai mempertanggungjawabkan tugas akhir atau skripsi yang saya buat di depan para penguji, baik yang bergelar professor, doctor, dan seterusnya. Memakan waktu sekitar 2 jam, saya mati-matian mempertahankan teori dan interpretasi saya mengenai gender dan feminisme di depan penguji. Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus oleh professor yang membimbing tugas akhir saya di kampus. Sebelumnya, Selasa malam, saya menerima pesan pendek dari Panitia Lomba Menulis tentang Bung Hatta yang diadakan oleh Perpustakaan Proklamator Bung Hatta Bukittinggi sekitar sebulan lalu, Juni 2011. Isi pesan itu, saya disuruh mengecek siapa saja yang beruntung menang dalam perlombaan tersebut, ada yang terpampang di home page nya ataupun terpampang di Harian Umum Singgalang pada Rabu itu. Ya, karena cukup sibuk memper...

Gilby Mohammad