Skip to main content

The Hateful Eight dan Kebencian Atas Tubuh



The Hateful 8 (2015), film kedelapan Quentin Tarantino ini dibuka dengan akting seorang nigger, Major Marquis Warren (Samuel L. Jackson) duduk santai sembari menghisap cerutu di atas seonggok mayat di tengah badai salju bagian utara Amerika Serikat. Niatnya, menghadang siapa saja yang lewat di jalur itu guna mendapatkan tumpangan ke Red Rock, pemukiman terdekat di padang salju tersebut. Cerita mulai mengalir ketika kereta kuda yang ia cegat merupakan kereta yang membawa seorang pemburu bayaran (bounty hunter) yang membunuh tawanannya dengan cara digantung hidup-hidup. The Hangman itu ialah John Ruth (Kurt Russell). John Ruth, memborgol dirinya bersama Daisy Dormegue (Jennifer Jason Leigh), saudara perempuan Jody Dormegue (Channing Tatum), ketua gang pembunuh bayaran yang kepalanya dihargai paling tinggi, sebesar US$ 50 ribu bagi pemburunya.

Film ini hanya mengambil satu latar tempat yakni rumah persinggahan Minnie’s Haberdashery. Minnie dan Dave, sang pemilik rumah yang ramah terbiasa menyediakan tungku perapian, kopi panas, cerutu, makanan rebusan, dan gula-gula stick bagi yang singgah di tempatnya barang sejenak sebelum melanjutkan perjalanan di tengah salju. Di rumah inilah delapan pembunuh, meski saling benci satu dengan lainnya, tapi terikat kerja sama dan kepentingan, termasuk pengabdian kepada hukum negara dan kepada Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat. Sebelum kereta kuda tadi berlabuh di Minnie’s Haberdashery, rumah itu sudah diambil alih oleh Jody Dormegue and the gang. Mereka merencanakan sebuah penyelamatan terhadap saudarinya dan membunuh mati John Ruth sebelum sampai di Red Rock.

Laiknya pada film-film terdahulu, tingkah aktor dalam film Quentin Tarantino terkenal kasar, sadis, dan brutal. Django Unchained (2012) misalnya, pembunuhan terhadap manusia tidak hanya melalui tembakan-tajam-menembus dan berdarah-darah, tapi juga meledakkan tubuh dengan granat –yang diledakkan adalah sang sutradara sendiri yakni Quentin-, serta gigitan-cabikan tubuh manusia oleh anjing-anjing liar dan lapar. Kebrutalan serupa juga akrab pada Reservoir Dogs (1997), sekuel Kill Bill I & II (2003 & 2004), Death Proof (2007), serta Inglorious Basterds (2009) yang penuh dendam itu. Oleh Quentin Tarantino kita lebih sering disuguhi pada tontonan yang penuh darah dan carut dalam setiap dialognya.

You are motherfucker black bastard!

Tubuh dan Kebencian
The Hateful 8 adalah film terbaru Quentin Tarantino. Jika tak terbiasa menonton film-film Quentin, mudah sekali menyebut Quentin sebagai sutradara film yang rasis. Dalam film-filmnya, kata “nigger” dan “black” berserakan pada dialog-dialog kasar tokohnya. Meski kata tersebut secara politik berkonotasi negatif-diskriminatif-subordinatif-dan-seterusnya yang kemudian diganti dengan kata “colored” hingga “African-American”, tapi tidak bagi Quentin dalam filmnya. Sutradara kulit putih ini konsisten membangun cerita film yang penuh makian dengan kata-kata “rasis” dan “khas-dialog-orang-negro-yang-penuh-sumpah-serapah”.

Soal “nigger” dan “black” ini, menarik dicermati dalam Pulp Fiction (1994) yang memenangkan banyak penghargaan itu. John Travolta dan Bruce Willis adalah dua aktor kulit putih (white folks) yang bermain di film ini dan dipanggil nigger. Hal yang sama ketika Robert De Niro, bekas tahanan pembobol bank yang pandir lagi gegabah dipanggil nigger oleh penampungnya yang berkulit hitam dalam Jackie Brown (1997). Memanggil kulit putih dengan sebutan nigger lebih merujuk kepada relasi tuan dan pembantu. Relasi ini, oleh Quentin tidak dibatasi oleh warna kulit, bentuk rahang, dan jenis rambut, tapi lebih kepada kuasa pemilik rumah terhadap ‘anjing penjaga’. Memang, pembantu dan ‘anjing penjaga’ dalam film Quentin banyak dilakoni oleh kulit hitam. Namun, ini tidak bisa dilepaskan dari pemilihan tema film Quentin yang berlatar waktu dan suasana Perang Sipil, praktik perbudakan, gesekan sosial yang tajam antara masyarakat dari belahan utara dengan belahan selatan di Amerika Serikat pada masa itu.

Selain dialog yang penuh caci maki, film-film Quentin juga khas dengan praktik penghancuran terhadap tubuh para aktornya. Tubuh-tubuh dalam film Quentin adalah sasaran utama kebrutalan: brutal untuk senang maupun brutal hingga berujung maut. Misal, adegan Samuel L. Jackson dan John Travolta membunuh membabi buta empat remaja tanggung: two black people and two white people, yang sebelumnya dibacakan kutipan Alkitab seperti tengah mengikuti kebaktian di gereja. Atau, di tengah buah pelir Major Marquis Warren yang pecah-berlumur-darah ditembak musuh, dengan sisa tenaga ia mati-matian menarik tali agar bisa membuat Daisy Dormegue “menari” di depannya. Ia menggantung perempuan malang-sekarat itu bersama potongan tangan kiri John Ruth yang masih terborgol.

Menonton praktik kebencian dan penghancuran terhadap tubuh dalam film-film Quentin seperti tengah berada di neraka jahanam. Di neraka, merujuk kepada buku-buku siksa neraka yang kerap disuguhkan waktu kanak-kanak dulu, adalah lembah di mana kepala, rambut, mata, tangan, badan, kaki, dan sebagainya menjadi sasaran empuk atas sikap janggal, salah, dan dosa. Coba tonton sekuel Kill Bill, di sana nafsu penghancuran atas tubuh sangat sadis dan mengerikan. Banjir darah di mana-mana, orang-orang tak berlengan terkapar kian kemari, pedang tajam-panjang-licin yang kerap dipakai pendekar Samurai siap menghujam siapa saja dan kapan saja. Puncak penghancuran atas tubuh oleh Quentin agaknya ada pada serial film ini.

Tubuh menjadi sasaran atas berbagai kebencian. Kebencian kepada teman yang berkhianat: mencongkel bola matanya (Kill Bill); kebencian kepada aparat polisi: mengiris daun telinganya (Reservoir Dogs); kebencian kepada Nazi: mengelupasi batok kepalanya (Inglorious Basterds); kebencian kepada teman yang bodoh: menembaknya dengan bekas pistolnya (Jackie Brown); kebencian kepada lawan: memecahkan buah pelirnya (The Hateful 8 dan Pulp Fiction): kebencian kepada perusuh: menyiksa secara keji hingga mati (Death Proof); kebencian kepada tuan tanah: meledakkan rumah dan keluarganya (Django Unchained).

Di balik pencabikan atas tubuh, Quentin Tarantino tidaklah lalu kehilangan rasa guyon dalam film-filmnya. Lihat adegan Major Marquis Warren yang tengah sekarat tetap saja mencemooh mayat malang Bob alias Marco The Mexican (Demian Bichir) yang kepalanya dihargai sebesar US$ 12 ribu, tapi tidak laku jika dibayar dengan peso. Adegan cemooh ini juga terjadi di meja makan malam oleh Monsieur Calvin J. Candie (Leonardo DiCaprio) dalam Django Unchained. Ia yang keturunan Amerika Serikat lebih senang dipanggil ala orang Perancis-Eropa, namun sinis pada Boston, kota jajahan yang dibangun oleh Kerajaan Inggris ketika masa pendudukan terhadap Amerika Serikat pada tahun 1630.

Selamat menonton!






Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg