Skip to main content

Dan Saya Jadi Adik Ipar

Setelah melalui kisah yang panjang dan menyayat hati, akhirnya si abang menikah jua. Kami, terutama amak, mak tuo, dan para etek riang gembira tiada tara. Baralek, pesta sederhana pun disusun dan disiapkan di kampung, tempat kelahiran si abang dan kediaman istrinya. Amak bolak balik ke kampung dari Lubuk Sanai, Mukomuko hampir setiap dua minggu. Beliau dengan riang gembira tadi memasak berbagai macam makanan ringan. Ada onde-onde, lapek, kue beking, dan lainnya. Beliau memang suka memasak.

Sementara amak dan keluarga sibuk menyiapkan pernikahan si abang, saya sedang di Yogyakarta. Saya juga sibuk menyiapkan upacara wisuda master saya yang kedua di Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Iya, wisuda master saya yang kedua, yang pertama di Kajian Budaya dan Media pada Oktober 2015 lalu, hehehehe. Saya memang kurang kerjaan, mau-maunya ambil master dua kali di UGM.

Si abang menikah pada 29 April 2016. Saya wisuda pada 19 April 2016. Amak dan uni sudah datang pada wisuda pertama saya dari Padang ke Jogja. Wisuda kedua ini amak tak lagi bisa menemani karena beliau sibuk dan takut sering-sering naik pesawat. Alhasil, saya sendiri merayakan wisuda kedua ini. Ada beberapa teman yang menemani dan tak perlu sentimentil dengan keadaan waktu itu.

27 April saya putuskan naik pesawat ke Padang dari Jogja guna menghadiri pernikahan si abang. Pernikahan si abang ini adalah pernikahan pertama dari keluarga kami. Dia orang pertama yang membuat amak menjadi mertua, hehehehe. Tentu saya senang dan bahagia. Perjalanan Jogja-Padang dilalui dengan lancar dan tanpa delay pesawat. Saya berterimakasih banyak kepada maskapai Lion Air waktu itu, hehehehe.

28 April ritual memasak besar dimulai di rumah mak tuo, sekitar 3 km jaraknya dari rumah kakak ipar saya. Amak dan mak tuo dibantu orang sekampung memasak berbagai macam jenis lauk. Ada goreng jengkol, asam pedas tongkol, gulai nangka, gulai ayam, rendang ayam, goreng tongkol, sambalado, rebus daun ubi dan buncis. Saya perhatikan waktu puncak acara, goreng jengkol, sambalado, dan rebus daun ubi plus buncis tak tersisa. Para tamu lebih doyan makan menu tersebut ketimbang yang lain. Saya juga doyan.

29 April pada pagi hari si abang mengucapkan ijab qabul di sebuah musala di kediaman kakak ipar. Sebagai mantan jurnalis, saya sudah lalai karena tidak mencari tahu nama musala tersebut. Mengendarai mobil butut yang dipakai abang berjualan di rumah, kami menuju musala tersebut. Sopir yang mengendarai mobil lupa-lupa ingat lokasi musala sehingga sempat kelewatan. Beruntung orang-orang di musala menyoraki sehingga dia mengerem cepat dan berbalik. Kakak ipar saya sempat kesal karena kelamaan menunggu si abang dan rombongan. Kira-kira begini gerutunya, “Jadi nikah nggak sih?!” Hehehehe.

Nah, detika-detik mengucapkan ijab qabul, ternyata mertua laki-laki si abang terpatah-patah mengucapkan kalimat menikahkan anak gadisnya. Musala rame diisi oleh warga sekitar. Warga sekitar ini juga tak sabaran. Beberapa menyerukan agar posisi ayah digantikan oleh anak laki-lakinya sebagai wali. “Berhubung waktu jumat sebentar lagi datang, pasrahkan sajalah!” Kata mereka. Giliran si abang yang kesal. Dia memasang muka ‘yah capek deh’ di depan penghulu, hahahaha. Saya mesem-mesem menahan tawa sembari tetap memotret dan merekam.

Sebelum ijab qabul si abang meminta restu kepada amak. Ia meminta amak mendoakan agar keluarganya diberkahi. Ini adalah momen yang mengharukan. Amak menangis, abang menangis, saya ikut menangis. Ada cerita panjang dalam keluarga kami selama 30an tahun ini. Ada kisah bahagia dan ada sejuta cerita sedih. Momen meminta restu tersebut seakan memutar kisah-kisah kami dalam satu keluarga yang membuat suasana jadi haru biru. Amak mengelap air matanya, si abang menyeka matanya, saya mengusap mata sendiri. Iya, momen itu sangat bermakna.

Kakak ipar akhirnya dinikahkan oleh kakaknya. Tak jadi oleh ayahnya. Setelah ijab qabul, acara dilanjutkan dengan berdoa bersama di rumah kakak ipar. Petatah petitih dilantunkan. Doa panjang dilafazkan. Dan makan bersama sebagai penutup acara pagi itu. Di sela makan, raut muka amak bahagia sekali. Saya mengusili amak sebagai sudah sah jadi mertua. Beliau tertawa diiringi gelak tawa dari ibu-ibu yang lain.

Selepas Jumatan, si abang dipanggil oleh bako, sanak saudara mendiang ayah, orang Melang. Kampung Melang atau Marelang ini berada di belakang kampung Jambak, kampung kami. Ada empat lelaki paruh baya menjemput si abang. Si abang dijemput ke Marelang guna dipakaikan pakaian pengantin sebagai mempelai laki-laki. Si abang pun, masih mengenakan kemeja putih dan jas, menuju ke Marelang. Saya menyusul bersama keponakan.

Sesampai di sana, bako, kakak sepupu, kakak jauh, keponakan mendiang abak menyambut kami dengan isak tangis. Mereka antara bahagia dan sedih menyaksikan anak pisang, anak mendiang abak, sudah besar dan kemudian menikah. Mereka teringat akan abak yang dulu sering sekali mampir di Marelang ketika akan ke Padang berbelanja dan mengunjungi saya yang kuliah di sana.

Kata mereka, mendiang abak akan sangat senang dan bangga dengan kami yang sudah besar-besar dan datang ke kampung Marelang. Meski abak sudah tiada, tapi hubungan kerabat bako-anak pisang masih terjalin. Seorang ibu, saya panggil mak tuo, bercerita panjang dan banyak tentang kami pada masa kecil dulu. Beliau yang mengasuh ketika amak dan abak sibuk bekerja. Memandikan, memberi makan, dan menidurkan terutama kakak-kakak saya. Sementara saya, mereka seperti lupa, karena saya dibesarkan tidak di kampung, tapi di Lubuk Sanai, Mukomuko, Bengkulu.

Saya yang sejak pagi sudah dibuat berkaca-kaca, kembali berkaca-kaca ketika mendengar cerita mereka tentang abak dan masa kecil kami dulu. Ketika saya ceritakan kisah ini kepada amak di malam hari, amak berkata “Mak tuo itu memang begitu. Dia bercerita sembari berdendang. Dendangnya itu membuat hati kita pilu. Begitulah beliau. Kamu dan kakak-kakakmu tidak akan mereka lupakan. Ada banyak jasa abak di Marelang untuk mereka dan keponakan-keponakannya. Abakmu itu suka memberi apalagi kepada keponakan-keponakannya.”

Kita tinggalkan kisah menguras hati ini. Setelah makan dengan gulai ikan dan sambal telor, si abang didandani oleh bako. Dia dibedaki dan diberi lipstik. Pakaiannya diganti dengan pakaian anak daro, pengantin. Berwarna merah, berkopiah kuning emas, pakai saluak di pinggang. Sementara di luar musik gandang-sarunai mengiringi. Iringan musik ini dimainkan oleh teman-teman abak di Marelang. Kami hanya mengenal namanya, tapi mereka tentu mengenal kami melalui abak. Dan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi mereka mengiringi anak lelaki temannya menikah.

Si abang pun kemudian digiring ke kampung Jambak dengan pakaian yang serba merah itu. Sepanjang jalan gandang-sarunai mengiringi dan menarik orang-orang di kampung Marelang mengikuti langkah si abang. Prosesi ini disebut antar anak-pisang. Ada sekitar 100 orang mengikuti dari kampung Marelang ke kampung Jambak. Seorang ponakan mendiang abak berbisik, “Jika kamu menikah di kampung kelak, kamu akan kami hantarkan juga seperti ini,” katanya. Saya dan dia kemudian terbahak.

Sesampainya di kampung Jambak, hidangan dari amak sudah tersedia. Mereka langsung masuk dan menikmati semua hidangan tadi. Ramai sekali. Semua sibuk. Saya sibuk memotret. Amak kemudian dipanggil oleh mak tuo-mak tuo yang kontan-dekat dengan mendiang abak. Semua hantaran dihitung. Beras dihitung, gula dihitung, kain dihitung, uang dihitung, kue dihitung, dan emas dihitung. Semua kemudian diserahkan kepada amak disaksikan oleh mak tuo-kakak amak, para sepupu saudara nenek dan lainnya. Di Minang itu dikenal dengan hantaran bako-pemberian dari saudara ayah.

Setelah berhitung, si abang dilimaukan-didoakan oleh mak tuo dari saudara mendiang abak tadi. Dilanjutkan dengan pemberian dua cincin emas kepada si abang sebagai tanda cinta kasih bako kepada anak pisang. Si abang dan amak berterimakasih banyak. Semua senang, semua bahagia.

Sebagian dari pengunjung tadi kemudian pulang ke rumah masing-masing. Sementara yang kontan-dekat dilanjutkan dengan hantaran pamali-si abang diantarkan oleh bako ke rumah kakak ipar. Beramai-ramailah kami ke rumah kakak ipar. Saya kesal di sini. Di tengah perjalanan, sebuah truk iseng menciprati saya dan sepupu dengan tai sapi yang sepertinya baru saja dihajatkan. Dengan berat hati dan sabar saya membasuh baju, rambut, dahi, dan lengan yang terkena semburan hijau itu. Sepupu mengumpat sepanjang perjalanan. Akhirnya, separuh basah saya berfoto dengan pengantin. Yha robb!

Lalu, kami makan lagi. Kue-kue dari hantaran pamali disajikan. Kue-kue tersebut dimakan oleh mak tuo-mak tuo dari saudara bapak tadi. Saya dan ibu makan dengan gulai ikan asap. Setelah makan, ritual memotong sasampek-ayam ditimbun dengan nasi kuning pun dimulai. Pengantin diminta mencomot nasi kuning lalu jejak comotan itu digali hingga menemui bagian tubuh ayam. Ada yang mengenai kepala, kaki, dan sayap. Kepala bermakna sebagai pemimpin, kaki bermakna sebagai pekerja, sayap bermakna sebagai pejalan atau petualang atau perantau. Memotong sasampek dipandu oleh kaum ibu, tak seorang pun tampak kaum bapak. Dan kaum ibu pula yang memaknai masing-masing bagian tubuh ayam-ayam tadi. Saya mendengarkan dan memotret.

Setelah segala ritual ditunaikan, si abang kembali dibawa pulang ke kampung Jambak. Malamnya, selepas salah Isya, dia dan beberapa temannya datang lagi ke rumah kakak ipar hingga subuh. Subuh hari dia sudah kembali berada di kampung Jambak. Baralek si abang pun akhirnya selesai sudah. Tinggal kami di rumah mak tuo membereskan piring kotor, membagikan menu sisa baralek ke orang kampung, dan menghitung hasil-pendapatan dari baralek yang sederhana itu.

Hehehehehe...




Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...