International People’s Tribunal for Indonesian 1965 Crimes against Humanity (IPT 65) yang digelar di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 lalu ialah demonstrasi menyerupai pengadilan rakyat yang menuntut keadilan bagi korban tragedi 1965 dalam dan luar negeri. Hakim-hakim pada pengadilan rakyat ini menyimpulkan sementara bahwa terjadi kejahatan serius dan pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia pada periode 1965 terhadap mereka yang dituduh komunis. Keputusan akhir majelis hakim akan diumumkan pada Maret mendatang. Keputusan ini penting guna menjadi dasar pengungkapan kebenaran dan kerja-kerja ke depan untuk meyakinkan pemerintah Indonesia menuntaskan persoalan 1965 dengan bermartabat.
Usaha meyakinkan itu tidak berhenti pada pengadilan rakyat semata di Belanda, di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, di ruang Teaterikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi, perbincangan tentang IPT 65 diselenggarakan pada siang yang terik oleh Pers Mahasiswa RHETOR, Sosial Movement Institute, dan Front Perjuangan Demokrasi pada 18 Februari 2016 lalu. Hadir di sana Aboeprijadi Santoso (IPT 65) dan Elisabeth Ida (seniman). Acara dibuka dengan pemutaran film pendek dokumenter karya Elizabeth Ida yang menyorot orang-orang yang tak bisa pulang ke Indonesia pascatragedi 1965. Awal tahun 60-an, mereka berangkat ke luar negeri untuk belajar atas suruhan Presiden Sukarno, ada juga sebagai delegasi dari Partai Komunis Indonesia. Ketika suhu politik nasional memanas, paspor mereka tidak berlaku, ketika Jenderal Suharto menjabat pucuk pemerintahan, paspor mereka dicabut. Cerita luntang-lantung di negeri orang pun dikisahkan dengan getir dan diam.
“Ada yang terpaksa menjadi warga negara Belanda, ada juga yang hanya berani menatap pantai Indonesia dari kejauhan di Singapura,” cerita Elizabeth Ida.
Pengadilan rakyat ini tidak memiliki kekuatan formal dalam sistem hukum nasional maupun internasional, tetapi lebih kepada tanggung jawab moral dan sejarah sebagai sebuah bangsa, bangsa Indonesia. Pengadilan ini menargetkan rekonsiliasi nasional berdasarkan kebenaran pascaputusan majelis hakim IPT 65. Kebenaran sejarah menjadi titik tolak guna menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk pelanggaran HAM di Papua dan Aceh.
“Kita sedang mengadili dusta. Karena jika tidak, dusta ini akan terus turun-temurun diidap oleh bangsa kita,” ujar Aboeprijadi Santoso.
Aboeprijadi mencontohkan model rekonsiliasi yang dilakukan oleh warga Jembrana, Bali, yang berbasis pada budaya lokal. Di Jembrana terdapat kuburan massal korban tragedi 65. Pada kuburan massal ini, tak seorang pun dikuburkan melalui prosesi ngaben (membakar mayat) ketika orang meninggal. Ketiadaan ngaben membuat masyarakat ini jadi tak nyaman, merasa dihantui berbagai perasaan bersalah. Ketidaknyamanan dan ketakutan ini menyatukan masyarakat guna menggali kuburan massal tersebut, lalu menguburkan ulang korban tragedi 65 secara manusiawi.
“Kita butuh rekonsiliasi menyeluruh, rekonsiliasi nasional,” pungkas Aboeprijadi.*
*Juga dimuat di Brikolase
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^