Skip to main content

Memaknai Malam secara Kultural


Kita mungkin perlu berterimakasih kepada kota-kota yang hidup-menyala hingga larut malam. Melaluinya, kita tidak hanya diajari mengenai hangatnya cahaya, tapi juga sejuknya gulita. Jika siang menyuguhi kita pandangan serba kesibuk-riuhan, maka malam menawari kita alunan-alunan yang lebih gemulai dan tak tergesa-gesa. Duduk santai di sudut taman kota, ditemani secangkir kopi, beratapkan gemintang semesta, di sanalah malam mulai diurai kata per kata.

Menikmati malam-malam seperti di Yogyakarta, Jakarta, Medan, atau Makassar adalah menikmati sisi lain dari maskulinitasnya sebuah kota. Bisakah kita menyebut malam sebagai sisi femininitas kota? Mungkin tidak, tapi mungkin juga bisa iya. Tidak, karena malam sudah duluan diberi label negatif, bahwa segala praktik kekerasan dan kedina-hinaan terjadi di kala malam. Mamak berujar ke keponakan, “Makanya, anak perempuan tak boleh keluar malam!”.

Tapi, bisa jadi iya, karena ketika malamlah wajah asli sebuah kota ditampilkan. Bisa wajah yang sendu, bisa wajah yang lelah, atau sebaliknya wajah tanpa riasan yang tetap percaya diri dan takkan menerkam. Semisal, malam di sepanjang Jalan Mangkubumi kota Jogja, adalah malam-malam yang tak bisa dilepaskan dari gelak tawa perempuan-perempuan muda. Mereka sedang mencoba akrab dengan malam yang ramah, tidak lebih.

Lalu, bagaimana dengan malam-malam selain di kota-kota di atas? Malam adalah tak lebih dari pukul 23.00 WIB. Karena ini aturan, maka tak ada pedagang keliling membawa termos menjajakan kopi di jalan-jalan utama atau pusat kota di kala malam. Karena ini aturan, maka tak ada perempuan-perempuan muda bercengkerama santai duduk di teras toko sembari menyantap capcay kuah hangat kuku di kala malam. Yang ada hanya anjing dan kucing liar berkejaran dengan tikus-tikus di sudut pasar kota yang apek dan pesing.

Bergenderkah malam? Ya. Tidak semua kita dapat menikmati malam dengan tanpa was-was. Setelah malam dicitra-rendahkan, malam kerap dipisah-paksakan dari perempuan-perempuan muda. Setelah malam diberi otot, malam menjadi mutlak milik lelaki. Karena malam itu akrab dengan kopi, karena malam itu akrab dengan tontonan sepak bola. Begitu kata Mamak.

Agaknya Mamak lupa bahwa setiap mata makhluk dapat melihat indahnya taburan bintang di langit. Mamak juga lupa bahwa kulit ini dapat merasakan dengan baik lembutnya belaian udara malam. Mamak juga lupa bahwa perempuan juga ingin dipeluk dan dicumbu oleh malam. Dan, Mamak sangat tidak asyik soal kopi dan sepak bola yang katanya hanya digemari oleh lelaki.

Kegelapan kerap diasosiasikan dengan ketidakbaikan, ketidakberesan, dan segala kemungkaran. Arang, jelaga, tinta gurita, dan malam ada di sana. Bertopang pada inilah manusia dan anak perempuan dijauhkan serta dipisahkan dari malam. Bertopang pada ini pula, sepanjang malam para lelaki dewasa akan menjagainya: meronda kampung hingga subuh menjelang. Meronda tak pernah dilakukan atau diwakilkan kepada perempuan. Karena malam yang maskulin mestilah dihadapi oleh tangan-tangan yang maskulin pula.

Di kota-kota yang menyuguhkan malam tanpa sak-wasangka, ada banyak tempat yang bisa dikunjungi. Di Jogja misalnya, menikmati malam dapat disesuaikan dengan selera dan isi dompet. Sebut saja kafe-kafe yang buka sore hingga subuh bertebaran di lingkungan kampus, waralaba bubur kacang ijo (burjo) -meski kadang tidak menyediakan bubur kacang ijo- dipadu mie rebus yang buka nyaris 24 jam, serta angkringan dengan suasana khas redup lampu teploknya yang bertebaran di trotoar dan sudut kota.

Di kota ini perempuan-perempuan mudanya menyebut malam secara puitis dan mendayu. Dengan senyum lebar mereka berkata, “malam itu seksi”, “malam itu Jogja”, “malam itu romantis”, “malam itu kehangatan”, “malam itu tertawa dan melepas penat”, serta “malam itu kedamaian”.

Masih pantaskah kita fobia terhadap malam?






Comments

Popular posts from this blog

Pusparatri, Perempuan Penolak Surga*

Judul : Pusparatri Gairah Tarian Perempuan Kembang Penulis : Nurul Ibad, Ms Penerbit : Pustaka Sastra dan Omah Ilmu Publishing Tebal : x + 220 halaman Cetakan : Pertama, 2011 Genre : Novel Harga : Rp 40.000,- Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP Untuk kesekian kalinya Nurul Ibas, Ms meluncurkan novel bertajuk senada dengan novel-novel sebelumnya, seperti novel Nareswari Karennina yang tergabung di dalam trilogi Kharisma Cinta Nyai, yakni perjuangan seorang perempuan yang ingin keluar dari lembah kemaksiatan dengan lakon lain, Gus Rukh, sebagai juru selamat. Begitu juga dengan novel Puparatri: Gairah Tarian Perempuan Kembang yang baru diluncurkan pertengahan tahun 2011 ini. Di dalam sambutannya, penulis, Nurul Ibad, Ms menyampaikan kepada pembaca, bahwa novel ini mengangkat tema perjuangan perempuan awam untuk memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat, sekalipun mereka harus menjadi perempuan penghibur, bukan istri pertama, ata

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id

Bisnis Laundry di Tengah Mahasiswa

Menjamurnya usaha jasa cuci pakaian kiloan atau laundry di sekitar kampus mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit serta mampu menyerap tenaga kerja di daerah sekitar. Usaha ini pun semakin diminati oleh berbagai kalangan. Kebanyakan para pemilik hanya mengandalkan modal usaha pribadi. Arif Sepri Novan, pemilik Mega Wash Laundry , mengungkapkan mahasiswa merupakan pangsa pasar terbesarnya saat ini. Mahasiswa memiliki banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menyita waktu serta tenaga. Untuk itu peluang membuka usaha laundry di sekitar kampus baginya sangat menjanjikan. “Pasarnya cukup luas dan jelas,” ungkap Arif, Selasa (22/3) siang lalu. Arif pun merintis usaha laundry sejak September 2010 lalu di kawasan kampus Universitas Negeri Padang (UNP), di Jalan Gajah VII No.15, Air Tawar, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang. Ia mempekerjakan dua karyawan untuk mencuci, mengeringkan, menyetrika, serta mengepak pakaian-pakaian tersebut. Setiap hari Mega Wash Laundry menerima hingg