Skip to main content

Perempuan dan Masa Depan Indonesia




Berbicara tentang kebangkitan bangsa Indonesia berarti berbicara tentang kondisi nyata bangsa saat ini kemudian menyiapkan strategi-strategi jitu untuk menghadapi masa depan yang berat dan jauh lebih menantang. Tak ketinggalan belajar dari perjalanan sejarah bangsa yang besar ini, agar hal-hal yang tidak penting dan mengacau diharapkan tak terulang kembali. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sebentar lagi akan memasuki usia ke 66 tahun, beragam hal yang mesti dibenahi dan mendapat perhatian lebih untuk mewujudkan bangsa yang adil, mulia, dan bermartabat. Salah satu hal yang menarik untuk diperbincangkan adalah relasi antara laki-laki dan perempuan yang hingga saat ini masih timpang dan tak jelas simpang siurnya.
Kenapa hal ini menarik untuk dikaji? Hingga saat sekarang perempuan kerap mengalami ketidakadilan gender, diskriminatif, dan marginalisasi peran dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan belum memperoleh posisi tawar yang layak atas kualitas (pemikiran) yang dimiliki, hanya dikarenakan ia perempuan. Ungkapan perempuan belum menikah adalah milik ayahnya, perempuan menikah milik suaminya, perempuan janda adalah milik anak laki-laki atau saudara lelaki suaminya, menunjukkan bahwa perempuan belum memiliki hak penuh atas tubuhnya. Sistem patriarkat di negeri ini masih mendominasi dan melahirkan ketimpangan-ketimpangan gender, yang kebanyakan merugikan perempuan.
Ketimpangan atau ketidakadilan gender melahirkan berbagai kasus yang korban utamanya adalah perempuan. Sebut saja kekerasan (baca; KDRT) yang kebanyakan dialami oleh perempuan. Penyebab tindak kekerasan pun kadang hanya karena hal sepele yang tidak clear dikomunikasikan antara istri dan suami. Alhasil ‘bogem mentah’ pun melayang dari suami kepada istrinya. Ironisnya, hal ini di mata masyarakat kita sudah dianggap wajar dan pantas diterima perempuan. Penilaian bias gender bahwa laki-laki dianggap selalu benar pun telah berurat berakar pada sistem sosial dan budaya kita. Hal senada juga diungkapkan oleh Fiorenza (Anwar, 2009:238) kekerasan berkaitan dengan prinsip kekuasaan sosial yang dimiliki oleh laki-laki yang cenderung merendahkan kedudukan perempuan dalam sistem sosial.
Kasus terhangat yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan adalah kasus pidana mati terhadap Ruyati binti Saboti Saruna. Tenaga kerja migran asal Bekasi, Jawa Barat ini harus menerima perlakuan yang tidak adil baik dari majikannya serta hukuman pancung yang kuno dari Kerajaan Saudi Arabia. Ruyati bukan sekedar korban kekerasaan, eksploitasi, dan ketidakadilan gender, namun ia juga korban kesewenang-wenangan pemerintah nasional yang kurang perhatian dengan tenaga kerja serta nasib perempuan. Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyesalkan sikap pemerintah yang lamban dan kebanyakan retorika semata dalam menghadapi permasalahan yang tengah dialami buruh migran, terutama perempuan. Komisi ini pun berusaha mengadvokasi para buruh yang tengah bermasalah melalui Kementerian Luar Negeri yang bermuara kepada konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran.

Rekonstruksi Peran Perempuan
Pada dasarnya perempuan dan laki-laki sama, baik kecerdasan otaknya, kemuliaan budi, keluhuran cita-cita, memiliki harapan dan impian, kekhawatiran dan ketakutan, begitu juga memiliki potensi untuk memimpin. Hal ini sudah dicatat sejarah sejak akhir tahun 1928. Pada waktu itu, perempuan Indonesia telah memiliki kesadaran politik dan keberanian yang luar biasa dengan menyelenggarakan Kongres Perempuan Indonesia I tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres ini menghasilkan kesepakatan untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah agar diadakan dana untuk janda dan anak-anak, mencegah perkawinan anak-anak, dan memperbanyak pendidikan untuk perempuan. Pada Kongres Perempuan Indonesia II tahun 1935 perhatian ditujukan kepada keadaan buruh perempuan. Sementara pada Kongres III tahun 1938 masalah kedudukan dan peranan perempuan, serta usaha perbaikan nasib kaum perempuan merupakan isu yang dominan dibicarakan. Kongres-kongres yang diadakan ini merupakan perjuangan perempuan pada masa kebangkitan nasional sekali pun mereka harus berhadapan dengan pemerintah kolonial Belanda.
Tak sampai di sana, memasuki tahun 1950-an berbagai lembaga dan gerakan perempuan menjamur di Tanah Air. Sebut saja Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang memfasilitasi setiap perjuangan perempuan pada masa kemerdekaan. Gerwani yang berhasil mengambil peranan penting di parlemen cukup berpengaruh terhadap perubahan nasib perempuan yang lebih baik di Tanah Air waktu itu. Sayang, stabilitas politik terguncang pada tahun 1965 yang juga berdampak kepada Gerwani. Lembaga yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia ini dibubarkan dan dihancurkan. Menurut Arivia (2006:17) waktu itu rakyat diarahkan untuk membenci komunis yang pengaruh jahatnya dikatakan datang dari kaum perempuannya. Untuk mengembalikan perempuan ke ‘jalan yang benar’, konon haruslah dengan mengokohkan kuat-kuat peran kaum perempuan sebagai istri, ibu, ibu rumah tangga. Indonesia pun memasuki era Dharma Wanita.
Di era globalisasi dan reformasi sekarang ini, struktur dan peranan perempuan Indonesia akan mengalami perubahan akibat transparansi dalam segala aspek kehidupan. Kesempatan memperoleh pendidikan dan pengetahuan yang luas bagi perempuan akan memberikan kesadaran dan peranannya yang besar di masyarakat. Ungkapan perempuan adalah tiang negara, menunjukkan betapa besar peran, andil, dan partisipasi aktif perempuan dalam menegakkan suatu bangsa dan negara menjadi kokoh dan makmur. Menurut Subhan (2004:54) dengan kesadaran dan pengetahuan yang diperoleh, kaum perempuan tidak hanya bisa menjadi ibu rumah tangga atau istri yang berkutat di wilayah domestik, akan tetapi potensi yang dimilikinya harus dikembangkan termasuk memasuki wilayah publik yang terbuka lebar untuk perempuan. Tentu saja dengan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi tidak hanya untuk perempuan tetapi juga untuk lelaki.
Kiprah atau keterlibatan perempuan di dunia publik semakin berkembang dari tahun ke tahun. Kesempatan perempuan bergabung dengan dunia politik pun cukup menggembirakan. Kuota 30 persen keterlibatan perempuan di parlemen pun memberikan angin segar untuk perjuangan kaum hawa. Namun, keterlibatan itu masih saja cenderung kepada hal-hal ‘rumah tangga’ seperti, kesehatan, BKKBN, sosial, dan sebagainya. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan juga masih minim, misalnya pada politik dan kebijakan luar negeri, pertahanan dan keamanan, keuangan serta APBN. Perempuan sepertinya kurang meminati hal tersebut. Kondisi ini pun, kembali, membawa perempuan kepada posisi pinggiran dan menguatkan pendapat Maryln French (Nugroho, 2008;xix) bahwa peradaban manusia adalah perjalanan peradaban laki-laki. Ironis memang.
Menyikapi kondisi yang demikian, cakrawala pemikiran para pemimpin dan pengampu kebijakan bangsa tentang Gender Related Development atau Gender and Development ini juga perlu dikokohkan. Siasat strategi dalam merekonstruksi penafsiran budaya yang dinilai membatasi peran perempuan ini sangat diperlukan. Pandangan bahwa perempuan adalah bagian dari masyarakat -yang terdiri dari perempuan dan laki-laki- sudah sewajarnya memberikan perlakukan yang sama kepada kedua komponen ini. Prinsip-prinsip keadilan hukum serta sosial juga turut serta memecahkan permasalahan konstruksi sosial (baca;ketidakadilan gender) yang telah mendarah daging di tengah masyarakat kita. Semisalnya, peningkatan porsi anggaran pendidikan dan kesehatan kepada perempuan. Pemberdayaan hak-hak berpolitik untuk perempuan dan laki-laki jangan sampai dibeda-bedakan. Semua ini kita lakukan untuk kebangkitan perempuan dan bangsa Indonesia ke depan, menuju bangsa yang lebih bermartabat, adil, dan makmur. Sehingga tak ada lagi perempuan yang tersisihkan, termarginalkan, serta terdiskriminatifkan hak-haknya karena alasan apapun.

Referensi
Anwar, Ahyar. 2009. Geneologi Feminis: Dinamika Pemikiran Feminis. Jakarta: Penerbit Republika.
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan http://komnasperempuan.org
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi: Pengarus-Utamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subhan, Zaitunah. 2004. Perempuan dan Politik dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...