Di balik jeruji besi, ibu bersandarkan bantal lusuh seadanya. Perempuan yang rambutnya kian memutih itu, tak ingin mengorbankan puasanya walaupun ia semakin hari semakin lemah. Tak hanya menanggung lapar dan haus, tetapi juga malu dan bersalah. Setelah dua tahun dibui, ibu tetap merasakan kegagalan dan kesalahan itu sebagai buah dari sikapnya yang teledor dan bodoh.
Ia gagal mendidikku sebagai anak yang dibesarkan tanpa ayah. Dan ia masih merasa bersalah kepada majikannya dulu. Karena lalai dengan janjinya untuk merawat kakak angkatku, Mida, hingga ke jenjang pernikahan. Seperti hari ini, ia tak banyak bicara padaku. Satu dua kata ibu bertanya kabar sembari memperbaiki sanggulnya yang baik-baik saja. Setiap kali aku menjenguknya, pesan ibu selalu sama, berharap aku dan kakakku cepat mendapat jodoh dan hidup bahagia.
“Ah terkutuklah ayah yang menyia-nyiakan nasib kami,” desisku setiap kali menjenguk ibu di rumah pesakitan itu.
***
Bulan Ramadan ini merupakan bulan yang paling berkah bagi keluarga kami. Di bulan ini rezeki keluargaku lebih banyak daripada bulan-bulan sebelumnya. Karena, hampir setiap malam aku mengikuti lomba mengaji di berbagai masjid hingga subuh menjelang. Pada setiap lomba pula, biasanya aku memperoleh peringkat unggulan atau tiga besar. Dari hasil lomba itu, ibu dapat memperbaiki atap dapur yang bocor dan menyambut Lebaran kelak dengan aneka kue dan minuman. Jangan heran, aku yang berusia 17 tahun adalah seorang pencari nafkah di bulan Ramadan, setidaknya sejak tujuh tahun lalu.
“Nurbaya, kakakmu bukanlah akar kuat bagi ibu bergantung. Kaulah anakku, si pengangkat derajat keluarga kita kelak,” begitu ibu membujuk jika aku menolak mengikuti lomba mengaji karena capek dan mengantuk.
Tapi bujukan itu jarang sekali dilakukan ibu. Karena badanku selalu sehat dan jiwaku selalu siap untuk mengikuti lomba. Tak lagi semata-mata karena ingin membantu ibu dan sebagai tonggak keluarga. Namun karena Faisal, teman lelaki yang sama-sama jago mengaji denganku. Hampir setiap malam kami bersua, bercengkerama, serta melepas rindu karena seharian tak sempat berjumpa. Terus terang saja, Faisal pacarku.
Aku dan Faisal sudah saling kenal dan akrab sejak lima tahun lalu. Beberapa bulan belakangan kami sempat tidak bertegur sapa karena berbagai hal. Namun, menjelang bulan Ramadan ini aku dan Faisal tak berselisih lagi. Kami semakin dekat dan lebih nyaman. Ia kerap mengantarku pulang ke rumah subuh-subuh sehabis mengikuti lomba mengaji. Ibu dan kakakku pun tak berpikir macam-macam. Bahkan aku sering dititipkan ibu kepadanya. Karena Faisal adalah lelaki baik, sudah bekerja tetap, dan mamakku sendiri.
Ya, Faisal mamakku. Faisal sesuku dengan ibuku yakni sikumbang, begitu juga dengan sukuku. Aturan adat telah menetapkan bahwa Faisal adalah adik ibuku. Walaupun mereka tidak seibu dan seayah, namun jalinan darah yang tak tampak itu sangat kuat, dipercayai, dan bermakna. Karena Faisal adik ibuku, aku tak berhak memiliki hubungan dekat, hubungan berkasih sayang sepasang anak manusia dengannya. Karena itu tabu, tidak sesuai adat, dan tentu saja haram.
Diam-diam aku dan Faisal masih menabur dan memupuk rasa kasih sayang itu dengan cara kami masing-masing. Hingga bulan Ramadan ini, rasa itu kembali bersemi dan semakin kuat. Tak mampu diredupkan dengan apapun. Biasanya kami berjumpa di salah satu rumah temanku. Aku bermain di sana dan Faisal adalah tamu di rumah itu. Nikmatnya madu berkasih sayang sudah kami rasakan bersama-sama. Aku dan Faisal tak ingin menjauh.
Perihal menikah sepersukuan, ibu Faisal pernah bercerita kepadaku. Menikah sepersukuan merupakan perbuatan terkutuk, katanya. Perbuatan ini akan mencoreng muka dan harga diri dari kaum cerdik pandai dan mamak dari suku yang bersangkutan. Merusak tatanan dalam bersanak famili dan bermasyarakat. Hukuman adat akan sangat berat, dipermalukan dan dicampakkan seumur hidup. Hukuman hidup akan menyakitkan, karena kau akan melahirkan anak dari tanah lumpur yang lembek dan hanya bisa berceloteh atau anak dari kayu yang keras dan tak berotak. Hukuman alam apalagi, tak satu pun dari butiran nasi yang kaumakan ikhlas bersarang di perutmu. Mereka menyumpah serapah hingga kau rasakan betapa nikah sepersukuan itu sangat mengutuki dirimu dan suamimu. Aku bergidik mendengarnya.
“Aku siap dengan segala hukuman itu, Nur. Menghitamkan kampung halaman atau mati sekalipun,” bisik Faisal ketika kuceritakan semua itu di warung soto pada suatu malam.
Keterkutukan ketika melawan adat itu, bagiku sangat tidaklah adil. Hanya karena menikah dengan seseorang yang bertalian darah, sekalipun dengan saudara jauh, mereka dicampakkan, dipermalukan, dan dianggap pembawa malapetaka. Padahal masih ada perbuatan yang jauh lebih memalukan dilakukan oleh anak muda di tempat tinggalku, yakni gadis muda melahirkan tanpa diketahui siapa suami dan ayah dari si bayi. Bahkan, yang lebih ironis, tetanggaku mendapatkan kiriman bayi mungil laki-laki dari seorang perempuan bercadar, mengaku ibu si bayi dan ayahnya adalah anak sulung tetanggaku.
Perbuatan macam begitu, diterima oleh masyarakat kami dan kaum cerdik pandai dengan tangan terbuka dan lapang dada. Meskipun, para ibu lebih sering mengurut dada ketika mendapat kabar demikian. Laiknya tak terjadi apa-apa. Seiring angin siang berhembus, kehidupan pun berjalan seperti biasanya. Untuk itulah, ibuku melarang kakak perempuanku merantau dan mencari kehidupan ke negeri orang. Kata ibu, anak gadis sepulang dari rantau merupakan buah bibir yang tak pernah habis dipergunjingkan hingga merubah nasib si gadis menjadi perawan tua.
“Biarlah anak gadisku di rumah. Hidupnya akan baik-baik saja selagi ia rajin sembahyang dan mengaji,” begitu ibu membela diri jika berhadapan dengan para tetangga yang rewel dan suka fitnah.
Namun, di penghujung bulan Ramadan ini Faisal semakin kuat mendesakku untuk menyampaikan perihal hubungan kami kepada ibuku. Ia berencana akan melamarku setelah Lebaran. Semua keperluan pesta pernikahan telah disiapkannya, termasuk pelarian kami jika kelak diusir. Hanya menunggu kata sepakat dariku dan dari ibuku. Ketika rencana ini kukabarkan kepada kakakku di kamar, ia berang dan mengataiku sebagai gadis tak tahu diri dan tak tahu malu. “Perbuatan tak senonoh apa lagi yang akan dilakukan keluarga kita, setelah kegagalan ibu menikah dengan ayahmu ha?” ujar Mida padaku.
Kontan saja, kakakku mengabarkan hal ini kepada ibu sepulang dari masjid. Ibu tak banyak bicara. Pembawaan beliau yang dingin dan tenang, sulit untuk ditebak. Malam itu hingga subuh menjelang aku pulang, ibu mengurung diri di kamar. Tak banyak yang ia lakukan. Kata kakak, ibu mengeluarkan isi lemari pakaian dan melipat-lipat baju kecil milik kami ketika masih kanak-kanak dulu. Beberapa tropi, hadiahku mengikuti lomba mengaji juga dibersihkannya. Hingga berawallah kejadian yang memalukan sekaligus memilukan ini.
Ketika deru sepeda motor yang membawaku, berhenti di depan rumah pada subuh itu, ibu menyambutku seperti biasa. Bertegur sapa dengan Faisal yang siap-siap kembali ke rumahnya. Tapi, ibu menawarkan Faisal singgah. Sedikit memaksa. Setelah menutup pintu, ibu berujar tenang.
“Nurbaya takkan pernah menikah denganmu Sal. Takkan pernah! Ia tak pantas mendampingimu. Mida lebih dulu menaruh hati padamu dan nikahilah gadis itu. Karena ia rajin, pengabdi, dan cocok untuk lelaki sepertimu.”
Aku dan Faisal ternganga. Ia berdiri mematung, tak percaya ibu berujar seperti itu.
“Tapi Uni, Nurbaya bersedia kulamar bahkan meninggalkan kampung ini. Dan aku tak mencintai Mida. Sungguh!” bela Faisal setelah berhasil mengendalikan dirinya.
Mendengar itu, wajah ibu merah padam. Menahan emosi sekaligus malu, karena kakakku ditolak langsung oleh Faisal.
“Apa? Kau tak mencintai Mida? Sejak kapan? Sejak kau mengetahui ia tak perawan lagi ha?” tanya ibu beruntun sambil mendekati Faisal.
“Yyyyyaaaa,” jawab Faisal tergagap, berusaha mengelak sorotan tajam mata ibu dan menjauh darinya.
Raut wajah ibu yang semakin kusut dan kalut mencerminkan betapa ia membenci dan merasa terhina. Ibu di mataku tiba-tiba berubah menjadi perempuan naga, bengis, dan menakutkan. Ia bisa menelan siapa saja yang ada di depannya. Pembawaannya yang tenang dan sedikit dingin akan membuat pikiranmu berkecamuk, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan perempuan yang tengah geram ini selanjutnya.
Secepat kilat ibu mengayunkan belati dari balik sarungnya ke perut Faisal. Lelaki muda itu mencoba mengelak dan melawan. Namun, kebengisan ibu telah merubahnya menjadi monster yang tak dapat dikalahkan. Pada sabetan kedua Faisal terjerembab. Ia meringis menahan perih sembari memegangi perutnya yang sobek dan bercucuran darah. Aku menjerit membangunkan kakakku, tetangga, dan seisi kampung.
Ia gagal mendidikku sebagai anak yang dibesarkan tanpa ayah. Dan ia masih merasa bersalah kepada majikannya dulu. Karena lalai dengan janjinya untuk merawat kakak angkatku, Mida, hingga ke jenjang pernikahan. Seperti hari ini, ia tak banyak bicara padaku. Satu dua kata ibu bertanya kabar sembari memperbaiki sanggulnya yang baik-baik saja. Setiap kali aku menjenguknya, pesan ibu selalu sama, berharap aku dan kakakku cepat mendapat jodoh dan hidup bahagia.
“Ah terkutuklah ayah yang menyia-nyiakan nasib kami,” desisku setiap kali menjenguk ibu di rumah pesakitan itu.
***
Bulan Ramadan ini merupakan bulan yang paling berkah bagi keluarga kami. Di bulan ini rezeki keluargaku lebih banyak daripada bulan-bulan sebelumnya. Karena, hampir setiap malam aku mengikuti lomba mengaji di berbagai masjid hingga subuh menjelang. Pada setiap lomba pula, biasanya aku memperoleh peringkat unggulan atau tiga besar. Dari hasil lomba itu, ibu dapat memperbaiki atap dapur yang bocor dan menyambut Lebaran kelak dengan aneka kue dan minuman. Jangan heran, aku yang berusia 17 tahun adalah seorang pencari nafkah di bulan Ramadan, setidaknya sejak tujuh tahun lalu.
“Nurbaya, kakakmu bukanlah akar kuat bagi ibu bergantung. Kaulah anakku, si pengangkat derajat keluarga kita kelak,” begitu ibu membujuk jika aku menolak mengikuti lomba mengaji karena capek dan mengantuk.
Tapi bujukan itu jarang sekali dilakukan ibu. Karena badanku selalu sehat dan jiwaku selalu siap untuk mengikuti lomba. Tak lagi semata-mata karena ingin membantu ibu dan sebagai tonggak keluarga. Namun karena Faisal, teman lelaki yang sama-sama jago mengaji denganku. Hampir setiap malam kami bersua, bercengkerama, serta melepas rindu karena seharian tak sempat berjumpa. Terus terang saja, Faisal pacarku.
Aku dan Faisal sudah saling kenal dan akrab sejak lima tahun lalu. Beberapa bulan belakangan kami sempat tidak bertegur sapa karena berbagai hal. Namun, menjelang bulan Ramadan ini aku dan Faisal tak berselisih lagi. Kami semakin dekat dan lebih nyaman. Ia kerap mengantarku pulang ke rumah subuh-subuh sehabis mengikuti lomba mengaji. Ibu dan kakakku pun tak berpikir macam-macam. Bahkan aku sering dititipkan ibu kepadanya. Karena Faisal adalah lelaki baik, sudah bekerja tetap, dan mamakku sendiri.
Ya, Faisal mamakku. Faisal sesuku dengan ibuku yakni sikumbang, begitu juga dengan sukuku. Aturan adat telah menetapkan bahwa Faisal adalah adik ibuku. Walaupun mereka tidak seibu dan seayah, namun jalinan darah yang tak tampak itu sangat kuat, dipercayai, dan bermakna. Karena Faisal adik ibuku, aku tak berhak memiliki hubungan dekat, hubungan berkasih sayang sepasang anak manusia dengannya. Karena itu tabu, tidak sesuai adat, dan tentu saja haram.
Diam-diam aku dan Faisal masih menabur dan memupuk rasa kasih sayang itu dengan cara kami masing-masing. Hingga bulan Ramadan ini, rasa itu kembali bersemi dan semakin kuat. Tak mampu diredupkan dengan apapun. Biasanya kami berjumpa di salah satu rumah temanku. Aku bermain di sana dan Faisal adalah tamu di rumah itu. Nikmatnya madu berkasih sayang sudah kami rasakan bersama-sama. Aku dan Faisal tak ingin menjauh.
Perihal menikah sepersukuan, ibu Faisal pernah bercerita kepadaku. Menikah sepersukuan merupakan perbuatan terkutuk, katanya. Perbuatan ini akan mencoreng muka dan harga diri dari kaum cerdik pandai dan mamak dari suku yang bersangkutan. Merusak tatanan dalam bersanak famili dan bermasyarakat. Hukuman adat akan sangat berat, dipermalukan dan dicampakkan seumur hidup. Hukuman hidup akan menyakitkan, karena kau akan melahirkan anak dari tanah lumpur yang lembek dan hanya bisa berceloteh atau anak dari kayu yang keras dan tak berotak. Hukuman alam apalagi, tak satu pun dari butiran nasi yang kaumakan ikhlas bersarang di perutmu. Mereka menyumpah serapah hingga kau rasakan betapa nikah sepersukuan itu sangat mengutuki dirimu dan suamimu. Aku bergidik mendengarnya.
“Aku siap dengan segala hukuman itu, Nur. Menghitamkan kampung halaman atau mati sekalipun,” bisik Faisal ketika kuceritakan semua itu di warung soto pada suatu malam.
Keterkutukan ketika melawan adat itu, bagiku sangat tidaklah adil. Hanya karena menikah dengan seseorang yang bertalian darah, sekalipun dengan saudara jauh, mereka dicampakkan, dipermalukan, dan dianggap pembawa malapetaka. Padahal masih ada perbuatan yang jauh lebih memalukan dilakukan oleh anak muda di tempat tinggalku, yakni gadis muda melahirkan tanpa diketahui siapa suami dan ayah dari si bayi. Bahkan, yang lebih ironis, tetanggaku mendapatkan kiriman bayi mungil laki-laki dari seorang perempuan bercadar, mengaku ibu si bayi dan ayahnya adalah anak sulung tetanggaku.
Perbuatan macam begitu, diterima oleh masyarakat kami dan kaum cerdik pandai dengan tangan terbuka dan lapang dada. Meskipun, para ibu lebih sering mengurut dada ketika mendapat kabar demikian. Laiknya tak terjadi apa-apa. Seiring angin siang berhembus, kehidupan pun berjalan seperti biasanya. Untuk itulah, ibuku melarang kakak perempuanku merantau dan mencari kehidupan ke negeri orang. Kata ibu, anak gadis sepulang dari rantau merupakan buah bibir yang tak pernah habis dipergunjingkan hingga merubah nasib si gadis menjadi perawan tua.
“Biarlah anak gadisku di rumah. Hidupnya akan baik-baik saja selagi ia rajin sembahyang dan mengaji,” begitu ibu membela diri jika berhadapan dengan para tetangga yang rewel dan suka fitnah.
Namun, di penghujung bulan Ramadan ini Faisal semakin kuat mendesakku untuk menyampaikan perihal hubungan kami kepada ibuku. Ia berencana akan melamarku setelah Lebaran. Semua keperluan pesta pernikahan telah disiapkannya, termasuk pelarian kami jika kelak diusir. Hanya menunggu kata sepakat dariku dan dari ibuku. Ketika rencana ini kukabarkan kepada kakakku di kamar, ia berang dan mengataiku sebagai gadis tak tahu diri dan tak tahu malu. “Perbuatan tak senonoh apa lagi yang akan dilakukan keluarga kita, setelah kegagalan ibu menikah dengan ayahmu ha?” ujar Mida padaku.
Kontan saja, kakakku mengabarkan hal ini kepada ibu sepulang dari masjid. Ibu tak banyak bicara. Pembawaan beliau yang dingin dan tenang, sulit untuk ditebak. Malam itu hingga subuh menjelang aku pulang, ibu mengurung diri di kamar. Tak banyak yang ia lakukan. Kata kakak, ibu mengeluarkan isi lemari pakaian dan melipat-lipat baju kecil milik kami ketika masih kanak-kanak dulu. Beberapa tropi, hadiahku mengikuti lomba mengaji juga dibersihkannya. Hingga berawallah kejadian yang memalukan sekaligus memilukan ini.
Ketika deru sepeda motor yang membawaku, berhenti di depan rumah pada subuh itu, ibu menyambutku seperti biasa. Bertegur sapa dengan Faisal yang siap-siap kembali ke rumahnya. Tapi, ibu menawarkan Faisal singgah. Sedikit memaksa. Setelah menutup pintu, ibu berujar tenang.
“Nurbaya takkan pernah menikah denganmu Sal. Takkan pernah! Ia tak pantas mendampingimu. Mida lebih dulu menaruh hati padamu dan nikahilah gadis itu. Karena ia rajin, pengabdi, dan cocok untuk lelaki sepertimu.”
Aku dan Faisal ternganga. Ia berdiri mematung, tak percaya ibu berujar seperti itu.
“Tapi Uni, Nurbaya bersedia kulamar bahkan meninggalkan kampung ini. Dan aku tak mencintai Mida. Sungguh!” bela Faisal setelah berhasil mengendalikan dirinya.
Mendengar itu, wajah ibu merah padam. Menahan emosi sekaligus malu, karena kakakku ditolak langsung oleh Faisal.
“Apa? Kau tak mencintai Mida? Sejak kapan? Sejak kau mengetahui ia tak perawan lagi ha?” tanya ibu beruntun sambil mendekati Faisal.
“Yyyyyaaaa,” jawab Faisal tergagap, berusaha mengelak sorotan tajam mata ibu dan menjauh darinya.
Raut wajah ibu yang semakin kusut dan kalut mencerminkan betapa ia membenci dan merasa terhina. Ibu di mataku tiba-tiba berubah menjadi perempuan naga, bengis, dan menakutkan. Ia bisa menelan siapa saja yang ada di depannya. Pembawaannya yang tenang dan sedikit dingin akan membuat pikiranmu berkecamuk, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan perempuan yang tengah geram ini selanjutnya.
Secepat kilat ibu mengayunkan belati dari balik sarungnya ke perut Faisal. Lelaki muda itu mencoba mengelak dan melawan. Namun, kebengisan ibu telah merubahnya menjadi monster yang tak dapat dikalahkan. Pada sabetan kedua Faisal terjerembab. Ia meringis menahan perih sembari memegangi perutnya yang sobek dan bercucuran darah. Aku menjerit membangunkan kakakku, tetangga, dan seisi kampung.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^