Skip to main content

Harusnya Saya Diwisuda ‘S2’




Sejak pagi sekali, saudara-saudara perempuanku sudah mempersiapkan segala hal guna mempercantik diriku pada hari H wisuda tahun ini, 2011. Aku tak punya pilihan lain, kecuali meluluskan niat hati mereka yang baik dan tulus itu. Tak sampai satu jam, mereka telah menyulapku menjadi makhluk yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Entah cantik, entah seram. Yang jelas sulapan itu kubawa ke tengah-tengah keramaian dan cukup menenangkan, karena banyak juga fans yang ingin berfoto bareng denganku.
Waktu itu hari Sabtu, 8 Oktober 2011. Hari dimana aku dan 3912 wisudawan/wati di Universitas Negeri Padang diwisuda secara resmi. Kata Rektor UNP, kami mengenalnya dengan sebutan Pak Didi, wisuda periode 92 ini merupakan wisuda terbesar sepanjang sejarah berdirinya UNP sejak dari IKIP Padang hingga berubah menjadi UNP. Saking besarnya dan banyaknya, wisuda diadakan sebanyak dua hari, Sabtu dan Minggu. Agak aneh, kurang meriah, namun terselip kebanggaan yang luar biasa. Itulah periode ketika aku diwisuda di kampus ini. Setiap hal pasti menyimpan ‘sesuatu’ untuk dikenang hingga mati.
Lantas apa hubungan judul tulisan ini dengan wisuda sarjanaku yang baru S1? Awalnya tak ada relasi yang kuat dan mencengangkan. Karena ketika membuat judul tulisan, aku terkesan spontanitas saja tanpa memutar-mutar otak lebih dalam hanya untuk sebuah judul tulisan. Dan satu lagi, bagiku judul tulisan itu haruslah kuat dan membekas di benak pembaca ketika pertama kali mereka membaca tulisanku. For the first time, they read my notes, I hope my notes makes them surprise and happy. Begitu saja.
Agak menggelikan memang. Seingatku baru sekali seumur hidup, aku didandankan layaknya seorang pengantin, menor, dan mirip ondel-ondel. Tapi, para perempuan yang melirikku, selalu saja menyenangkan kupingku, ‘Wah elok sekali’ kata mereka. Aku tersanjung dan agak grogi untuk memperlihatkan ke orang banyak di luar sana. Rasa senang bercampur dengan perasaan lucu di dada. Mencoba menghibur diri dengan menampilkan kalimat-kalimat, ritual wisuda kenapa harus berkebaya dan bertata rias yang mencolok begini? Ada-ada saja cara menikmati acara. Begitu dalam pikirku. Dan aku salah satu ‘korbannya’. Aku mulai enggan berpikir banyak, karena lebih terfokus bagaimana selamat memakai high heels ini.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Gangnam Style dalam Perspektif Konstruksi Identitas

KETIKA Britney Spears diajari berGangnam Style ria oleh Psy, sedetik kemudian tarian menunggang kuda ini menjadi tren baru dan memecah rekor baru di YouTube. Guinness World Records menganugerahi sebagai video yang paling banyak dilihat yakni 200 juta kali dalam tiga bulan. Sebuah pencapaian yang tak diduga sebelumnya, begitu kira-kira kata Dan Barrett. Park Jae Sang pun mendapat nama dan melimpah job baik di Asia maupun di Amerika Serikat. Google dengan jejaring luasnya bercerita jika horse dance ini adalah sindiran kepada anak muda Korea yang tergila-gila memperganteng, mempercantik, memperlangsing, dan mempertirus tubuh dan wajah sebagai ‘syarat utama’ penampilan dan pergaulan di negeri itu. Tak ketinggalan juga mengkritik gaya hidup yang cenderung high class serta selalu mengejar kesempurnaan. Di kawasan elit Gangnam inilah anak muda dan masyarakat Korea bertemu dengan rumah-rumah bedah, salon kecantikan, serta starbuck-starbuck ala Korea. Psy mengkritik –mungkin tepatnya mela...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...