Sebelum bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, Tanah Air ini sudah diramaikan oleh berbagai tulisan (karya sastra) yang menampilkan peliknya problema korupsi dan bahayanya bagi kelangsungan suatu Bangsa. Jika menoleh ke belakang, kita dapat menikmati bagaimana cerita korupsi di dalam Max Havelaar karya Multatuli atau Hikayat Kadiroen oleh Semaun, serta deretan karya sastra (novel dan cerpen) lainnya yang ditulis oleh sastrawan besar di tanah Ibu Pertiwi tentang korupsi.
Tahun 2011 ini, Hario Kecik, penulis yang lama melintang dalam dunia kemiliteran ini, terinspirasi menulis novel Sang Koruptor. Inspirasi ini lahir, jika ditilik, tak lepas dari semakin maraknya pemberitaan di media cetak maupun media elektronik bagaimana bahaya laten dan sistemiknya korupsi di Nusantara. Korupsi menjadi ‘hantu’ yang bisa mempengaruhi setiap orang dan membawanya ke dunia antah berantah yang menjerumuskan siapa saja di dekatnya.
Novel ini bercerita tentang kerja sama antara dua orang mantan koruptor kakap di zaman Orde Baru, bekas pejuang atau veteran, korban politik, dan anak muda generasi baru yang berintelektual tinggi dan bebas. Mereka bersama-sama membangun usaha, kekuatan, serta tujuan besar di era baru yang jauh lebih kuat dan mencoba bermartabat. Mereka bersimbiosis membangun bidang usaha dengan banyak lini, mutlak untuk kelangsungan hidup anak cucu yang tak ingin menderita.
Di samping itu, penulis juga ingin menguatkan apa benar jaringan korupsi yang dibangun, sejak zaman primitif hingga zaman modern sekarang tak lepas dari banyak tangan yang berkuasa. Dan jangan-jangan korupsi itu seperti energi, tak dapat dimusnahkan namun dapat diubah menjadi bentuk lain? Sang penulis pun menyampaikan cerita Sang Koruptor dalam pandangan filosofi dan psikologi yang tak kalah menarik untuk disimak. Korupsi dilembagakan tak lepas dari faktor penyebabnya seperti kepentingan politik dan golongan, gaya hidup konsumtif dan hedonisme, sikap pragmatis, sistem hukum dan birokrasi yang buruk, rasa nasionalisme yang kerdil, serta tak ketinggalan peran istri dan anak.
Pada satu penggalan cerita, seorang (mantan) koruptor malahan ingin tahu dengan cara membedah kepalanya apakah korupsi itu merupakan suatu penyakit yang menyerupai penyakit paru-paru atau kanker yang mungkin bisa dicarikan obatnya. Sang koruptor bersedia dijadikan kelinci percobaan oleh seorang dokter muda agar ‘penyakit’ ini bisa disembuhkan. Menggelikan memang jika korupsi serupa dengan kanker atau radang paru-paru. Penulis menampilkan cerita ini tentu bukan tak memiliki pretensi apa-apa. Penggalan ini menyuguhkan kepada pembaca ternyata koruptor itu tidak hanya memiliki jiwa yang bobrok tetapi juga cukup bodoh dalam hal kesehatan, atau jangan-jangan koruptor itu sudah mengalami sakit jiwa karena terlalu banyak menerima caci maki dan sumpah serapah dari masyarakat sebagai korbannya.
Tak kalah menariknya, penulis sudah mewanti-wanti pembaca sejak pada prakata hingga epilog, kalau penulis tak berniat mempengaruhi atau mempropaganda pembaca agar tak melakukan korupsi atau menjadi aktifis dadakan yang berkoar-koar menyampaikan pesan antikorupsi kepada siapa saja. Bagi penulis korupsi selalu bersimbiosis dengan birokrat suatu negera. Hubungan ini pun kebanyakan berjalan langgeng dan sulit sekali ditembus oleh penegak hukum. Semua kegiatan mereka berjalan secara sistematis dan masif dari satu lembaga ke lembaga berikutnya, dari satu jabatan ke jabatan berikutnya. Sekali lagi, Hario Kecik hanya berbagi cerita tentang korupsi dan pelakunya dari berbagai zaman, plus kisah percintaan anak muda cerdas yang terlibat dengan jaringan tersebut. Bahasanya yang sederhana membuat novel mungil ini enak dan mudah dinikmati kapan saja. Selamat membaca!
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^