Skip to main content

Kesenian Reog dan Balas Dendam



Kesenian reog yang kita kenal sekarang, ternyata berbeda dengan kesenian reog ketika masa dulu atau waktu reog itu sendiri dilahirkan. Perbedaan-perbedaan tersebut muncul dan berkembang sesuai dengan generasi penerus dan zamannya. Reog, ternyata tak hanya kesenian belaka, namun seni tradisi ini kaya sejarah dan budaya dari salah satu daerah di Tanah Air ini. Di tangan Han Gagas, novel Tembang Tolak Bala, menyajikan perihal tersebut dengan apik dan memukau.
Berawal dari petualang jiwa seorang bocah, Hargo. Ia tergolong anak yang berbeda dari kawan-kawan seusianya. Ketika koma, tak sadar diri sekitar sebulan, ia mengalami petualang jiwa dengan berbagai tokoh kharismatik yang membesarkan tradisi reog di Ponorogo. Beruntun, penggalan sejarah dan kisah kelahiran, kebiasaan, dan budaya reog ia dapati dari berbagai tokoh dan warok, pendekar sakti pemanggul reog ketika pertunjukan seni reog Ponorogo.
Tak hanya itu, Hargo, tokoh utama novel ini justru dijadikan sebagai gemblak dalam petualangan batinnya. Gemblak merupakan anak laki-laki tampan belasan tahun yang dipelihara warok dan dijadikan sebagai pemuas nafsu seksualnya tanpa berhubungan intim dengan istri atau perempuan lain, karena berhubungan dengan perempuan akan melunturkan ilmu kesaktian warok. Mirisnya, ia disetubuhi oleh eyangnya sendiri, karena tradisi gemblak itu. Penulis pun membubuhi novel ini dengan kisah Sodom-Gomora dalam Al-Kitab, semakin menyayat batin tokoh utama tentunya. Hargo pun diasuh oleh pembesar-pembesar reog dan menyelami berbagai kisah reog pada zaman Majapahit dengan raja Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.
Selanjutnya novel ini menyajikan berbagai kemelut dan keganjilan yang ditemui Hargo. Seperti de javu, Hargo bertemu dengan orang-orang yang sepertinya telah ia jumpai dalam dunia yang berbeda. Justru dengan tokoh-tokoh tersebut ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi baik dalam petualangnya maupun masa depannya kelak. Tak hanya itu, bayang-bayang masa kecil dengan Mei Ling, gadis cilik yang menghiasi hari-hari bermainnya berganti dengan kehadiran gadis-gadis belia seperti sosok Juni dan Juli memenuhi masa remaja hingga dewasanya.
Di penghujung cerita, Hargo yang telah dikarunia oleh pembesar reog dengan kesaktian, tembang tolak bala, berjumpa dengan Juli, gadis manis keturunan pesaing leluhur Hargo. Benci dan dendam tak dapat ditepik, bapak Juli sendiri pun pernah mengirim bala hingga bapak Hargo terbunuh sadis. Namun, kemurnian hati dan rasa cinta satu dengan lainnya dapat mengalahkan dendam keturunan dan menuju pencerahan dalam dua keluarga besar tersebut.
Warok Hargo pun memunculkan seni reog Ponorogo yang wajar dan lebih ‘sehat’, tetap ‘sakti’ tanpa gemblak, hidup dengan istri dan anak-anak. Ia melanjutkan seni reog Ponorogo kebanggan daerahnya yang penuh cerita dan kearifan. Sedangkan kesaktian senandung tembang tolak bala dan pusaka aksara tetap ia miliki sebagai perisai ampuh penangkal segala yang jahat. Jelas menarik dan selamat membaca.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...