Skip to main content

NII dan Romantisme Masa Lalu


Gerakan pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) baru-baru ini yang memakan banyak ‘korban’ menjadi perbincangan hangat serta menjadi topik aktual di tengah-tengah masyarakat. Semua media cetak dan elektronik mengabarkan gerakan yang digawangi oleh anak-anak muda cerdas, pendukung gerakan jihad, dan baik langsung maupun tidak bergulat dengan perpolitikan nasional, setiap hari dengan berbagai berkembangannya. Tak kalah menariknya untuk diikuti, mayoritas pengikutnya berasal dari dunia kampus atau perguruan tinggi. Mahasiswa; kalangan elite, cukup berduit, dan tentu saja lebih cerdas dari masyakarat kebanyakan.
Historinya, tahun 1949 lalu, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pernah memproklamasikan Negara Islam dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) beserta para pendukungnya waktu itu. SM Kartosoewirjo dan rekan-rekan seperjuangan mengganggap pembentukan negara baru akan menjadi pilihan terbaik di tengah mundurnya negara dalam memberikan kehidupan yang lebih sejahtera, bermartabat, serta mulia. Tanah Air masih berduka. Peperangan tetap merajalela, agresi Belanda tak sedikit mengorbankan jiwa raga para pejuang demi membela Tanah Air, walaupun teks proklamasi kemerdekaan telah diproklamirkan. Dalam kondisi demikianlah DI/TII lahir, sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintahan sekaligus berjihad di medan perang.
Sejarah keinginan mendirikan sebuah Negara Islam atau Negara Khilafah yang berlandaskan syariah berlanjut hingga 30 tahun ke depan. Tahun 1980-an muncul kelompok yang saat itu popular dengan sebutan N-11, nama untuk menyebut Negara Islam Indonesia (NII). Ya, penggeraknya dari golongan menengah, anak muda dari kampus. Mereka tak hanya cerdas, memiliki semangat jihad yang tinggi, dan tak ketinggalan strategis ‘berperang’ yang mengagumkan. Dengan mudah tampil di depan publik serta menyita banyak perhatian. Kemudian lenyap seolah-olah ditelan bumi, dan kembali membuat berbagai perdebatan panjang yang cukup memusingkan negara dengan aksi-aksi dan ‘teror-teror’nya. Motifnya, tak jauh berbeda dengan cita-cita SM Kartosoewirjo tempo dulu. NII atau sejenisnya hingga sekarang menjadi semacam ‘hantu’ yang ditakuti baik oleh para pemegang tampuk perguruan tinggi, pemerintah, maupun para orang tua. Istilah baiat, lantik atau kukuhkan, serta cuci otak pun menjadi populer namun terpeyorasi dan penuh dengan konotasi tersendiri.
Buku ini merekap semua seluk beluk tentang NII. Mulai dari kelahiran, perjuangan, apa yang dicita-citakan oleh pergerakan senada dengan NII terbentang dengan lengkap dan apik. Sang duo penulis guru besar buku ini merangkum sejarah dan masa depan NII, serta bangsa ini, dalam konteks demokrasi, corak atau bentuk pemerintahan yang dipakai di negeri ini. Bagaimana kelangsungan sebuah negara yang dibayang-bayangi keinginan membentuk sebuah negara di dalam negara dan dengan landasan yang berbeda? Duo penulis ini menceritakan secara detail, tanpa menyalahkan ataupun membenarkan salah satu pihak (baca; NKRI dan NII).
Fokus penceritaan buku ini selain hubungan romantisme gagasan pembentukan Negara Islam, juga memotret bagaimana pandangan masyarakat Indonesia yang kebanyakan memeluk agama Islam mengenai praktik demokrasi, bantuan luar negeri (nonIslam) yang banyak membantu Tanah Air. Selain itu, buku ini juga mengupas tentang penerapan syariah Islam, kesetaraan gender, serta sistem politik serta pemerintahan yang dicita-citakan sejak dahulu. Semua perihal tersebut dikupas dengan komprehensif, kelengkapan data dan penelitian terdahulu, serta dengan opini yang tidak menggurui.
Gaya penyampaian buku ini bak penutur langsung yang bercerita namun tetap santai dengan bahasa-bahasa populernya. Memang sekali-sekali pembaca akan dihadapkan pada kata-kata nonbaku dan sulit dimengerti, namun tak akan mengurangi peran buku ini sebagai penambah khasanah pembaca akan demokrasi di Tanah Air dan NII yang disertai dengan beberapa lampiran Teks Proklamasi NII. Cukup mengusik dan selamat membaca.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...