Skip to main content

Etika Religius Ala Buya Hamka



Kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang menyita perhatian masyarakat atau publik sejak hampir setahun lalu masih menyisakan tanda tanya besar. Tanda tanya baik bagi penegak hukum yang langsung menangani kasus ini maupun masyarakat yang hanya bisa mendengar dan menyaksikan lewat televisi-televisi di rumah. Artinya kasus ini belumlah menemukan titik terang. Penggelapan uang rakyat, korupsi, kolusi, dan nepotisme masih subur, awet, bahkan terpelihara apik di republik ini.
Kasus Gayus hanyalah salah satu kasus yang menghebohkan Tanah Air. Sebelumnya, beberapa kasus besar yang merugikan rakyat dan bangsa juga sudah berseliweran di tengah-tengah pandangan kita. Kasus lumpur Lapindo, kasus Bank Century, pembunuhan aktivis Munir, serta kasus lainnya masih saja menggantung dan tak jelas rimbanya. Lembaga hukum yang seharusnya menyelesaikan kasus ini dengan tangkas hanya menjadi penonton layaknya masyarakat luas. Lembaga hukum tak berdaya. Panitia khusus, panitia kerja, ataupun satuan tugas yang dibentuk juga tak banyak memberi bantuan. Masyarakat kecewa dan menganggap pemerintah semakin tak becus mengurus negara. Pemerintah dan para elit hanya sibuk mengurusi diri sendiri dan golongan. Etika berbangsa centang perenang, melenceng dari rel yang sesungguhnya, persatuan dan kesatuan berbangsa pun semakin goyah.
Penulis buku ini, Dr. Abd. Haris menangkap fenomena semakin tipisnya etika anak bangsa dalam hidup berbangsa dan bernegara melalui deretan permasalahan dan kasus yang menyeruak ke tengah-tengah masyarakat. Salah satu pemikiran yang menyentak penulis ialah dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang akrab kita kenal Buya Hamka, dengan etika religiusnya. Dari serentetan ilmu yang dikembangkan Buya Hamka, penulis lebih meruncingkan pada etika. Etika yang dibangun atas peleburan tawhid, ilmu agama yang religious, serta filsafat yang bersifat rasional.
Buku ini menjelaskan bagaimana pemikiran Buya Hamka yang secara pribadi lebih banyak mengedepankan rasio dalam berpikir terutama menjelaskan teks-teks agama yang didakwahkannya. Tauhid selain sebagai pandangan hidup (way of life) bagi Buya Hamka juga merupakan landasan dalam hidup bermasyarakat. Indonesia yang telah meletakkan tauhid sebagai sila pertama pada landasan negara, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ merupakan keputusan yang tepat. Namun, ketauhidan yang didengung-dengungkan, menilik keadaan bangsa dewasa ini, justru melahirkan pandangan pesimis bagi anak bangsa. Seseorang yang memang memiliki ketauhidan yang baik, seharusnya melahirkan iklim kehidupan yang egaliter, menjunjung kedamaian, tidak menindas, menolak perbudakan, hidup saling menguatkan persaudaraan, apalagi kesombongan karena turunan.
Penulis yang juga dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menjabarkan bagaimana faktor internal akal mendorong seseorang melakukan perbuatan moral dan bagaimana pula syahwat mendorong seseorang melakukan perbuatan amoral. Menurut Buya Hamka, manusia dengan akalnya mampu mengetahui dan melakukan perbuatan yang baik karena dalam pandangan Buya Hamka manusia mempunyai kemampuan kekuatan yang dominan dalam menentukan perbuatannya. Dengan demikian, Buya Hamka melihat perbuatan seseorang muslim dalam melakukan perbuatannya, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk, adalah pilihan bebasnya dan harus bertanggung jawab terhadapnya.
Walaupun pada awalnya buku ini adalah hasil penelitian penulis, namun pada akhirnya buku ini lebih banyak membahas etika terapan, seperti etika pemerintahan, etika profesi, etika bisnis, etika keadilan, dan lainnya. Perubahan isi atau muatan buku ini mampu membuka cakrawala pengetahuan kita tentang etika yang jika selama ini kita ketahui hanyalah etika dalam mata pelajaran agama atau pelajarana kewarganegaraan di sekolah-sekolah. Siapa saja cocok, terutama kaum pelayan publik di negeri ini, membaca karangan Dr. Abd. Haris ini tanpa susah-susah membuka kamus, karena istilah-istilah yang digunakan telah dilengkapi dengan catatan-catatan kaki yang sama berbobotnya dengan materi yang dijabarkan. Selamat membaca.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...