Latah Berbahasa
Adek Risma Dedees
Semakin banyak penulis memperkenalkan kosa kata baru dalam karya-karya mereka, maka semakin banyak pula terlahirnya manusia-manusia latah, plagiat dan tak bertanggung jawab menggunakan kata-kata tersebut. Kata-kata ‘mewah’ tersebut seolah-olah mampu menyalurkan suatu energi yang akan ‘menyulap’ pendengar atau pemakainya menjadi sosok yang tidak berbeda atau mirip dengan tokoh yang digambarkan mendekati kesempurnaan dalam cerita. Sangat naïf, jika kita lebih percaya dengan kata yang sebatas simbol berbahasa dari pada kekuatan dan kemampuan sendiri.
Fenomena nyata di sekeliling kita adalah penggunaan kata ‘mimpi’. Penggunaan kata mimpi mendapat rating tertinggi dalam berbagai diskusi, khusus diskusi mahasiswa. Kata ini pertama sekali lebih dipopulerkan oleh Andrea Hirata sang penulis fenomenal novel Laskar Pelangi. Salah satu kalimat yang sangat digandrungi adalah ‘ Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpimu’ (kurang lebihnya seperti itu), sangat dahsyat, walaupun si penyampainya sendiri kurang paham makna kalimat tersebut.
Untuk beberapa bulan terakhir, seiring melejitnya novel Laskar Pelangi, maka melejit pulalah penggunaan kata mimpi bagi pembaca dan orang lain. Sedikit-sedikit persoalan dihubungkan dengan mimpi. Adakalanya sampai dijadikan sebuah slogan dan motto hidup.
Tidak hanya kata mimpi, kata bermartabat yang biasanya lebih sering dijumpai pada tema seminar-seminar, konstruksi, main set (bingkai berpikir), cerdas, dll semakin akrab di telinga kita walaupun terkadang penggunaanya terkesan dipaksakan. Ketika penggunaan kata tersebut tidak sesuai dengan benda atau symbol yang diwakilinya, maka akan menimbulkan kerancuan makna dan tanpa disadari pemakai, telah menodai hakikat bahasa. Hakikat bahasa yang memiliki sistem sendiri, dalam penggunaannya tentu pula memakai sistem yang telah ditetapkan.
Tidak salah jika seseorang begitu ‘mengagungkan’ dan ‘mengidolakan’ kata tersebut. Yang salah adalah ketika si pemakai semaunya menggunakan bahasa dan tidak tahu-menahu tentang peran bahasa yang sebenarnya ia gunakan. Ketidakseimbangan ini yang akan menjadi masalah besar dan menimbulkan perpecahan, hanya dikarenakan si pemakai tak tahu dan tak mau tahu aturan.
‘Penodaan dan pemerkosaan’ terhadap bahasa memang belum begitu mendapat sorotan dari berbagai pihak, namun apakah hal ini akan semakin dibiarkan dan ditelantarkan tak tentu arah. Bahasa sebagai aset terpenting nasional dan budaya, kekayaan yang tak kan tergantikan, jika kita lengah dan lalai dalam memproduktifkan bahasa sebagai icon bangsa, maka tunggulah bahasa persatuan ini akan semakin luntur dan hancur tergilas waktu.
Kita sebagai pengguna aktif bahasa, dan jika kita sebagai makluk yang merebut keteraturan penggunaan bahasa secara janggal dan kasar, bagaimana kelak dengan bangsa lain yang akan lebih semena-mena memakai bahasa kita tanpa rasa. Kerisauan sekaligus ketakutan. Bukankah penjajahan gaya baru adalah ketika penjajah mulai menguasai otak dan pikiran korbannya terlebih dahulu. Salah satunya ialah melalui bahasa.
Bahasa Indonesia, bahasa ibu bagi bangsa ini, tak kan ada yang menghargai selain kita. Kita sebagai penerus tahta dan tampuk negara, sudah selayaknya memperhatikan dan menilai perkembangan bahasa dari waktu ke waktu. Apakah kita akan selalu berdiri menepi dan menunduk ketika orang lain mengobok-obok hak milik kita (bahasa) semaunya. Dan tentunya kita malu jadi bangsa yang selalu meniru bukan??
Adek Risma Dedees
Semakin banyak penulis memperkenalkan kosa kata baru dalam karya-karya mereka, maka semakin banyak pula terlahirnya manusia-manusia latah, plagiat dan tak bertanggung jawab menggunakan kata-kata tersebut. Kata-kata ‘mewah’ tersebut seolah-olah mampu menyalurkan suatu energi yang akan ‘menyulap’ pendengar atau pemakainya menjadi sosok yang tidak berbeda atau mirip dengan tokoh yang digambarkan mendekati kesempurnaan dalam cerita. Sangat naïf, jika kita lebih percaya dengan kata yang sebatas simbol berbahasa dari pada kekuatan dan kemampuan sendiri.
Fenomena nyata di sekeliling kita adalah penggunaan kata ‘mimpi’. Penggunaan kata mimpi mendapat rating tertinggi dalam berbagai diskusi, khusus diskusi mahasiswa. Kata ini pertama sekali lebih dipopulerkan oleh Andrea Hirata sang penulis fenomenal novel Laskar Pelangi. Salah satu kalimat yang sangat digandrungi adalah ‘ Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpimu’ (kurang lebihnya seperti itu), sangat dahsyat, walaupun si penyampainya sendiri kurang paham makna kalimat tersebut.
Untuk beberapa bulan terakhir, seiring melejitnya novel Laskar Pelangi, maka melejit pulalah penggunaan kata mimpi bagi pembaca dan orang lain. Sedikit-sedikit persoalan dihubungkan dengan mimpi. Adakalanya sampai dijadikan sebuah slogan dan motto hidup.
Tidak hanya kata mimpi, kata bermartabat yang biasanya lebih sering dijumpai pada tema seminar-seminar, konstruksi, main set (bingkai berpikir), cerdas, dll semakin akrab di telinga kita walaupun terkadang penggunaanya terkesan dipaksakan. Ketika penggunaan kata tersebut tidak sesuai dengan benda atau symbol yang diwakilinya, maka akan menimbulkan kerancuan makna dan tanpa disadari pemakai, telah menodai hakikat bahasa. Hakikat bahasa yang memiliki sistem sendiri, dalam penggunaannya tentu pula memakai sistem yang telah ditetapkan.
Tidak salah jika seseorang begitu ‘mengagungkan’ dan ‘mengidolakan’ kata tersebut. Yang salah adalah ketika si pemakai semaunya menggunakan bahasa dan tidak tahu-menahu tentang peran bahasa yang sebenarnya ia gunakan. Ketidakseimbangan ini yang akan menjadi masalah besar dan menimbulkan perpecahan, hanya dikarenakan si pemakai tak tahu dan tak mau tahu aturan.
‘Penodaan dan pemerkosaan’ terhadap bahasa memang belum begitu mendapat sorotan dari berbagai pihak, namun apakah hal ini akan semakin dibiarkan dan ditelantarkan tak tentu arah. Bahasa sebagai aset terpenting nasional dan budaya, kekayaan yang tak kan tergantikan, jika kita lengah dan lalai dalam memproduktifkan bahasa sebagai icon bangsa, maka tunggulah bahasa persatuan ini akan semakin luntur dan hancur tergilas waktu.
Kita sebagai pengguna aktif bahasa, dan jika kita sebagai makluk yang merebut keteraturan penggunaan bahasa secara janggal dan kasar, bagaimana kelak dengan bangsa lain yang akan lebih semena-mena memakai bahasa kita tanpa rasa. Kerisauan sekaligus ketakutan. Bukankah penjajahan gaya baru adalah ketika penjajah mulai menguasai otak dan pikiran korbannya terlebih dahulu. Salah satunya ialah melalui bahasa.
Bahasa Indonesia, bahasa ibu bagi bangsa ini, tak kan ada yang menghargai selain kita. Kita sebagai penerus tahta dan tampuk negara, sudah selayaknya memperhatikan dan menilai perkembangan bahasa dari waktu ke waktu. Apakah kita akan selalu berdiri menepi dan menunduk ketika orang lain mengobok-obok hak milik kita (bahasa) semaunya. Dan tentunya kita malu jadi bangsa yang selalu meniru bukan??
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^