Skip to main content

hari yang seksi

Cinta Ala Beli Sepatu

Oleh Adek Risma Dedees

Banyak fenomena sekarang dalam kehidupan kita yang semakin bergeser kepada hal-hal yang sebenarnya tidak ditemukan oleh leluhur kita zaman tempo dulu. Sebut saja cara berpacaran anak muda. Justru sekarang lebih berani dengan mengatakan cara bercinta. Dasyat dan terlalu berani dengan kata-kata dan kalimat seperti ini. Tulisan ini adalah refleksi pengalaman dari proses pembelajaran penulis di bangku perkuliahan.

Salah satu dosen begitu berani ‘menelanjangi’ hobi mahasiswanya tentang kegiatan cinta-cintaan baik di kampus, di kos, di pasar, di bus kota, ataupun di jalan raya. Sang dosen dengan gamblang mengatakan kalau anak muda sekarang tidak kenal dengan kata malu lagi. Malu telah bergeser menjadi kesenangan sendiri-sendiri antar individu. Ya, itulah malu. Malu tidak seperti waktu sang dosen muda dan belum mengarungi bahtera rumah tangga. Malu itu hanya symbol pada waktu ini. Malu ya si malu yang tidak tahu-menahu dengan si pemberani. Main hantam, main cuekin orang lain, main mainan yang aneh dan main lainnya.

Menyinggung masalah pacaran dan cinta-cintaan, sang dosen memulai ceritanya dari cara seorang lelaki membeli sepatu di toko ataupun di pasar loak. Biasanya sebelum membeli, sudah menjadi kebiasaan bahkan sebuah kewajiban bagi si pembeli untuk mencoba sepatu tersebut. Sepatu disorong dan dipaskan pada kaki dengan berbagai pertimbangan. Di bawa berjalan-jalan di tempat yang tidak begitu jauh dari kedai sepatu, kadang kalanya sepatu dihentak-hentakkan pada lantai, hal ini untuk membuktikan kalau sepatu tersebut kuat, tahan atau tidak.

Setelah puas mencoba sepatu yang sedang dijual tersebut, kalau si pembeli tertarik dan berminat, maka sepatu akan menjadi hak milik si pembeli dangan perasaan senang dan puas. Bagaimana kalau sepatu ternyata ada yang sedikit lecet, sobek belahan kirinya yang memungkinkan semut menyelundup masuk ke dalam sepatu, warna sepatu yang telah mulai memudar karena terlalu sering dipajang dan disorong calon pembeli. Belum lagi harga yang tak kunjung turun dari harga semula, ukuran sepatu yang sedikit kebesaran yang tentunya akan mempengaruhi penampilan si pembeli, serta tetek bengek alasan lainnya. Ujung-ujungnya sepatu tak jadi dimiliki tanpa sedikit pun penyesalan dari si pembeli.

Nah, bagaimana dengan cara berpacaran anak muda sekarang? Manurut sang dosen fenomena beli sepatu adalah salah satu dari sekian perwakilan cara dan bentuk pengungkapan cinta generasi muda sekarang. Pengungkapan cinta yang tidak sehat, tidak tulus, tidak kasih, dan tidak beradab. Pahit dan kejam mungkin pernyataan ini. Namun inilah yang terjadi di lingkungan kita (saya dan pembaca yang budiman). Lingkungan kita yang katanya lebih maju dan lebih canggih. Maju dan kecanggihan kita mungkin perlu dipertanyakan lebih dalam lagi. Maju itu seperti apa kita? Canggih bagaimana sih bentuknya kita beserta kebudayaan? Semuanya hanya sebuah kamuflase yang jika kita tak cepat-cepat sadar maka tunggulah si kamuflase menyeret kita pada kedudukan yang justru setan-setan ‘berpolitik’ di sana.

Cara bercinta anak muda sekarang, demikian kata sang dosen, sebelum ‘dicoba’ pantang berpaling. Si jantan tidak akan kemana-mana, tidak akan beranjak pada posisi semula dengan berbagai tujuan dan target-terget yang ingin cepat-cepat dicapai. Jika semua tujuan dan target terlaksana dengan sukses, ada-ada saja yang membuat ‘sepatu’ tak jadi dipakai lebih lama lagi. Dengan lebih murni lagi sang dosen mengungkapkan, si betina ‘dicoba’ dulu baru dipikir-pikir jadi atau tidak. Si jantan pun pada era kini tak segan-segan lagi untuk ‘mencicipi’ si bunga. Tak ada basa-basi apalagi rasa malu diantara mereka. Kalimat ini bukanlah untuk semua pejantan dan si betina secara universal, namun hanya untuk sebagian.

Apa yang menyebabkan mereka seperti ini? Moral dari dalam diri yang semakin memudar dan lama-kelamaan akan habis terkikis oleh waktu. Moral akan semakin sedikit menempel pada diri kita, jika tidak berusaha untuk lebih menebalkan dan memupuknya. Moral berasal dari dalam jiwa (internal), ternyata mereka menganggap justru dari luar diri (eksternal). Ketika moral bercampur dan langsung masuk ke dalam diri seperti pengetahuan dan wawasan yang di peroleh dari lingkungan, maka susahlah berkembang kebaikan dan kebenaran itu.

Untuk itu, pesan dosen saya, mulailah membenahi hidup kepada yang lebih baik. Jika anda sehat dan normal, maka anda akan bisa membedakan mana yang baik dan pantas, dan mana yang hina dan tidak pantas. Kita dididik bukan untuk hanya pandai namun juga cerdas, cerdas terhadap lingkungan, masyarakat, diri sendiri, bahkan pada si tambatan hati.

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...