Skip to main content

Bunuh Diri, Solusi ‘Cerdas’ yang Tak Pantas

Oleh Adek Risma Dedees

Baru-baru ini, hampir disetiap media massa baik cetak maupun elektronik, lokal maupun nasional, kembali membahas tragedi pembunuhan dengan cara bunuh diri. Apakah itu dengan gantung diri, seperti yang dilakukan Hendriadi, warga Jorong Gantiang, kenagarian koto Tangah, kabupaten Agam (Singgalang, Minggu 26/4), memotong urat nadi, meminum racun, melompat dari ketinggian, menusuk bagian tubuh, dan menembak diri, seperti yang dilakukan oleh Kapolsek Padang Utara Ajun Komisaris Polisi Asril Radjam. Ini hanya segelintir dari kasus pembunuhan di sekeliling kita. Belum lagi dari kalangan rakyat biasa, bunuh diri juga sesuatu yang jamak. Namun, karena yang bunuh diri hanya rakyat biasa dan tidak cukup punya nilai berita maka bunuh diri seorang buruh miskin, pemuda yang sedang patah hati atau anak yang gagal masuk universitas tidak begitu menjadi sorotan.

Semakin maraknya kasus bunuh diri yang tidak hanya dilakukan dari kalangan masyarakat biasa namun juga oleh mereka yang di ‘atas-atas’ sana, membuktikan kalau bunuh diri sudah mendapat ‘tempat’ di hati masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Bunuh diri telah dianggap sebagai sebuah solusi yang ‘cerdas’ untuk menyelesaikan masalah. Dengan bunuh diri semua problema yang sedang mendera dan membayang-bayangi seseorang (mungkin) akan terselesaikan dengan lebih mudah dan sempurna. Padahal anggapan ini sangat tidak sesuai dan bertentangan dengan hakikat kehidupan manusia itu sendiri.

Kenapa mereka bunuh diri? Apakah karena faktor ekonomi, dililit hutang dan kemiskinan misalnya, depresi, psikosis atau gelisah, dipermalukan atau direndahkan oleh teman sejawat maupun pacar, atau pun juga karena tarjadinya kekerasan keluarga, termasuk fisik, atau penyalahgunaan seks. Banyak faktor yang melatarbelakangi kasus ini, yang membuatnya semakin ‘digemari’ di masyarakat.

Ketika seseorang mencoba menyudahi kehidupan ini dengan disengaja ataupun dipaksa (bunuh diri) maka semakin teranglah bahwa mereka (korban bunuh diri) sebelumnya tidak mengetahui bagaimana kehidupan setelah mati. Pengetahuan setelah mati bukankah diperoleh dengan mempelajari agama dan kepercayaan yang dianut. Untuk daerah Sumbar, pengetahuan ini diajarkan tidak hanya di bangku sekolah, namun juga di tempat-tempat nonformal lainnya. Dan itu pun tidak hanya diajarkan pada anak-anak yang sedang menempuh pendidikan. Di lembaga lainnya juga seperti itu. Katakanlah di sebuah departemen, instansi, lembaga publik baik swasta maupun negeri, walupun porsinya tidak sebanding pada dunia pendidikan.

Kasus bunuh diri akan berbeda jika pada negara atau daerahnya tidak diajarkan tentang kehidupan setelah mati. Indonesia yang terkenal dengan negara religius, hampir pada setiap lembaga mempunyai badan atau semacam bidang yang menangani tentang keagamaan. Berbeda jika kasus ini dibandingkan dengan Korea, di sekolah anak-anak, remaja, maupun dewasa tidak belajar agama. Mereka hanya diajarkan tentang moral, baik dan buruk bukan tentang kehidupan lain setelah dunia dan mati. Mereka tidak mengenal akan ada balasan tentang apa yang telah diperbuat sewaktu hidup di dunia. Mereka tidak tahu tentang surga dan neraka. Hal ini sangat bertolak belakang dengan Indonesia. Walaupun demikian, tetap saja kasus bunuh diri semakin menonjol di negara ini. Alasannya, mungkin saja agama dan kepercayaan sudah tidak dipelajari dan tidak dipahami lagi maka wajarlah seseorang tidak mengetahui betapa hinanya mati dengan cara seperti ini.

Indonesia, salah satu negara yang sedang berkembang, masalah ekonomi, sosial, kebudayaan, kesehatan, kependudukan maupun keagamaan tentu tidak begitu stabil jika dibanding dengan negara maju lainnya. Ketidakstabilan ini salah satu pemicu yang menyebabkan depresi, strees, dan kehilangan kontrol diri ketika menghadapi permasalahan diri. Walaupun demikian, bukan berarti bunuh diri dianggap jalan utama untuk menyelesaikan masalah. Apalagi jika bunuh diri dianggap salah satu cara untuk mengurangi kepadatan dan perkembangan penduduk, tentu cara ini sangat tidak elegan, tidak bijak, dan tidak pantas.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...