Skip to main content

[MayDay] Catatan Seorang Buruh




Sebagai seorang buruh, saat ini, setidaknya saya harus menulis peringatan Hari Buruh Internasional (MayDay) yang baru pertama kali saya rasakan. Ya, pada peringatan MayDay tahun ini, 1 Mei 2012, saya baru tahu dan sadar betapa pentingnya hari ini diisi dengan, katakanlah, sedikit protes (perjuangan) oleh kaum buruh sedunia.

Adalah sistem outsourching yang ramai dibincangkan di banyak media, baik cetak maupun elektronik. Sistem ini dinilai menjadi sistem perbudakan yang kembali terbangun setelah zaman jahiliyah. Sistem yang sewenang-wenang terhadap nasib dan harkat diri umat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi. Karena dengan sistem ini, pekerja sewaktu muda diperas otak dan ototnya, maka menjelang berumur atau tua, mereka dicampakkan (dikembalikan) kepada si penyuplai tenaga kerja. Maka sistem outsourching sama dengan agen murahan. Pada MayDay, ini pun digugat habis-habisan.

Saya tahu karena saya sengaja pantau MayDay ini sejak subuh hingga malam hari. Tentu saja di sela-sela tengah mengerjakan pekerjaan kantor juga. Sebagai buruh, kebijakan tertinggi tidaklah berapa di tangan kami. Faktanya, jika di luar negeri sana atau di Jakarta peringatan MayDay semua buruh diliburkan, maka saya dan rekan-rekan tetap masuk kerja. Kenapa kami tak protes? Bukankah itu momen yang pas? Entahlah. Mungkin kami terlalu sopan dan banyak menghargai perasaan orang lain. Jadi, cukup protes di blog saja, jika pun tulisan ini bernada protes.

Kembali ke sistem perbudakan era neolib. Beberapa teman saya di Pulau Rose bekerja mengandalkan sistem ini. Hingga sekarang, mereka belum terkena masalah. Apakah itu perihal gaji, kontrak kerja, serta layanan kesehatan. Entahlah kalau tahun depan. Apakah mereka masih akan baik-baik saja dengan sistem ini. Saya akan tunggu kabarnya.

Memang, kerap berhembus kabar ke telinga, sewaktu-waktu mereka dapat diberhentikan oleh yang empunya perusahaan atau ditarik oleh sistem dimana mereka bergantung. Ini akan sangat mengerikan, kata salah satu teman yang tergabung di sistem ini. Tentu saja ada alasan kenapa mereka dikeluarkan atau ditarik. Akan tetapi, alasan yang dominan kerap kali bukanlah alasan profesional. Misal, karena karakter pribadi yang kalau dicari ujungnya belum tentu berpengaruh kepada kualitas kerja. Pun dengan karakter yang empunya perusahaan yang tidak sedikit pula kurang bersahabat bahkan sentimen kepada karyawan atawa buruh.

Ini merupakan bentuk sewenang-wenang empunya perusahaan dan agen tadi. Ini pulalah yang menginspirasi saya menyebutnya sebagai perbudakan era neolib. Beruntung saya bekerja tidak memanfaatkan sistem sialan ini. Ini baru satu kasus di Pulau Rose yang tidak semetropolitan Jakarta. Apalagi di Ibu Kota yang terkenal angker dan beringasnya itu. Hak-hak para buruh, kerap kita dengar, tidak terpenuhi dan selalu diabaikan.

Para buruh ini rela dimiskinkan oleh perusahaan dimana ia mengabdi. Suatu putusan yang luar biasa dan sudah membumi. Kenapa? Ya karena demi anak tetap bisa sekolah dan atau karena jika lebaran bisa mudik. Sayangnya, yang empunya perusahaan dan agen tadi adalah oknum-oknum mata duitan berotak setan. Mereka memikirkan hal ini hanya sepintas. Karena darah kapitalis sudah mengalir deras dari tumit hingga ubun-ubun. Maka tak peduli lagi dengan sekolah atau tidak, bahkan lupa kapan lebaran.

Kondisi ini, pada MayDay, menjadikan buruh turun ke jalan. Mereka bersorak dengan spanduk penuh dengan tulisan protes dan kebencian. Macet Jakarta jadi dua kali lipat. Syukur jika tak ada yang anarkis dan merusak fasilitas umum. Teve, radio, detik.com dan koran penuh dengan MayDay. Saya dan rekan-rekan pun hanya menonton. Sekali-kali berkomentar tak penting. Ya, mungkin begini saya memperingati Hari Buruh Internasional 2012 ini. Selamat MayDay ya.

#foto dari internet

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...