Skip to main content

[Musefun] Twitter, Kamar Ke 2 Kita



Sejak mencoba aktif dan merayakan hidup bersama twitter, sebelumnya tentu saja facebook dkk, hidup ini lambat laun terkikis dan aus. Oleh pergaulan dan magnetnya dunia internet yang merambah sampai ke kamar mandi. Bagaimana tidak, daya tarik socmed ini sangat kuat dan meluluhlantakkan hati yang tak kuat.

Hasrat ingin bergabung pun tak terbendung. Akhirnya dengan meneguhkan hati, ngetwit pun dimulai. Welcome to twitter, begitu kira-kira sambutannya. Saya lupa dan sedang malas mengingat-ingat apalagi berpikir. Kreasi Jack Dorsey pun merayapi sekujur hari-hari. Saya tak mampu menolak. Karena memang orang-orang lucu dan kreatif plus cerdas banyak di sana rupanya. Pun demikian dengan si doi yang lebih dahulu bergabung.

Memang, sudah hampir enam tahun lalu socmed ini lahir dan berkembang di Amrik sana. Hanya saja, sejak 2010 lalu, socmed satu ini menggema keras di Indopahit. Pun, dengan saya, jurnalis muda dan kadang ecek-ecek sudah familiar perihal twitter singgah di telinga. Akan tetapi, baru tahun 2012 ini sangat aktif menggunakannya. Sejak 2010 sudah buat akun, karena di Pulau Rose orang jarang memakainya, maka setibanya di rantau penjual bak mie saja pakai twitter, pasti ada yang salah dengan saya yang tidak memanfaatkannya. Maka jadilah, kembali aktif maksudnya.

Berbulan-bulan kemudian, follower semakin bertambah. Ada-ada saja yang memfollowed. Pun dengan twit mereka yang cerdas, aneh, lucu, dan kadang bodoh. Di sini kembali saya belajar. Mana orang yang benar-benar cerdas di twitter, dan mana pula yang goblok. Tentu saja ada yang hanya seperti kebanyakan, metwit hal-hal seputar kegiatan mereka sehari-hari. Tak ubahnya seperti saya ini. Garing ya? Ya begitulah. Otak belum ingin dipaksakan buat berpikir banyak.

Catatan saya, jika di facebook atau socmed lainnya, mungkin penggunanya bisa memanipulasi karakter dan siapa mereka, di twitter seperti sangat sulit buat begitu. Karena dengan kapasitas kata yang hanya 140 karakter itu, anda akan menjadi diri anda sendiri. Tak bisa sok baik dan sok alim. Lambat laun akan terlihat siapa anda. Tak percaya, silahkan cek atau follow orang-orang yang anda idolakan. Anda akan tahu apa, dengan siapa, dan seperti apa isi otak mereka setiap detik.

Cerita sedikit, saya memfollow orang yang saya anggap hebat. Ternyata kerjaan seharian hanya memention setiap kabar yang ada di dinding twitternya. Acapkali mention itu tak penting dan hanya sekedar menertawakan. Sungguh, saya kasihan dengan perilaku bertwitter macam begini.

Awalnya saya benar-benar shock dan nggak nyangka. Lama-lama saya terbiasa dan paham dengan maksud terselubung dilahirkannya socmed satu ini. Anda dipaksa berkicau, karena dengan berkicau anda menjadi lebih eksis dan demi menambah follower. Hal ini akan selalu berlangsung jika anda tidak membatasi waktu memantau twit satu dengan yang lain.

Masih banyak cerita lagi tentang twitter yang saya pantau dari hari ke hari. Mungkin saya termasuk yang gila twitter. Maka maafkanlah kicauan saya yang freak ini. Salam berkicau!

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...