Meskipun hujan deras begini, tidak berarti tabungan air di kamar melimpah. Persediaan air putih yang sedia semakin menipis. Untungnya para teman tak keberatan berbagi minuman. Walau begitu, tentu saja tidak boleh boros. Karena menyulitkan orang lain itu tidak enak. Dihemat-hematlah minum air putih. Pun dengan berbicara agar tak lekas haus. Selain cangkirnya ditutup, agar tak masuh benda-benda aneh, diawasi juga agar tak tersenggol kaki yang kadang tak terkontrol.
Akan tetapi, penyakit lupa yang meletakkan begitu saja roti tak jauh dari cangkir, telah mengundang sekitar lima kepala keluarga semut ke sana. Alhasil, berkerubunglah mereka. Ada yang sedang sibuk mencari celah membobol roti, ada pula yang tengah bermain-main di bibir cangkir. Ini bukanlah pemadangan bagus. Harus segera diungsikan roti dan cangkir dari serangga-serangga lapar itu. Usahapun dimulai.
Niatnya ingin mengeluarkan seekor semut yang terlanjur jatuh dan basah kuyup di dalam cangkir. Ternyata serangga satu ini bodohnya minta ampun. Seringkali semut yang terjerembab ke dalam cangkir berisi air biasanya mengapung-apung di permukaan. Mengais-ngais ke dinding cangkir, dan segera menjauh. Eh, yang ini ternyata terbenam seperti batu kali. Jika tidak karena bodoh, mungkin karena terlalu kenyang. Si gundul hitam pun naik turun mengikuti riaknya air ketika cangkir digoyang-goyangkan. Harapnya agar segera ke permukaan, eh malah semakin menuju dasar cangkir. Sial!
Terpaksalah telunjuk mengais-ngais, membantu serangga gundul satu ini agar segera keluar dari satu-satunya minuman yang tersisa malam ini. Beberapa kali kais, telunjuk tak mampu menangkapnya. Gravitasi bumi sepertinya tengah tertarik dengan si gundul hitam. Dan berpacu dengan telunjuk 22 tahun ini. Singkatnya, sang talunjuk memenangkan perpacuan. Tak ingin melukai, si gundul hitam diletakkan di lantai. Hati-hati. Basah kuyup dan tak bergerak lagi. Mati? Oh, semua akan sia-sia.
Entah mengapa, tiba-tiba sangat ingin menyaksikan si gundul hitam kembali berdiri dan berlari menuju teman-teman dan keluarga. Namun, tak kunjung juga. Masih basah. Inisiatif pun berdatangan. Dilaplah si gundul hitam dengan pembesih lubang telinga. Kapas ini akan cepat menyerap air di badannya, pikirku. Dan benar. Mulai kering. Detik berikutnya ia mulai bergerak, menggeliat mungkin. Ditunggu-tunggu, kembali tergolek. Lemas. Masih menunggu.
Dan, entah sahabat, entah pacar, atau entah ayahnya, si gundul hitam 2 datang. Menciumi, tepatnya membaui. Berkali-kali dan tak ingin menjauh. Menjilati air yang masih melekat, mungkin juga. Menarik-narik kaki-kaki si gundul hitam. Tak juga berdiri, si gundul hitam 2 pun kelihatan panik. Ia bergegas, separuh berlari mengelilingi si gundul hitam. Pikirnya mungkin si gundul hitam akan mati jika tak segera dibawa ke dukun para semut. Bisa jadi kaki atau lehernya patah hingga tak kuat berdiri.
Hilang sabar atau sebuah keputusan matang, si gundul hitam 2 mengangkat si gundul hitam di kepala dan membawanya berlari. Menuju kresek, melintasi ubin, menjauh lagi, memanjat dinding, berkeliling, belok kanan, panjat lagi, kali ini mencapai semeter, dua meter, mencari-cari celah, jeda sejenak dan jreppp -saya memotret- kemudian lenyap di antara pertemuan loteng dan dinding. Mungkin akan segera bertemu dukun ahli patah tulang, harapku.
Next, I'm in a musing.
Peristiwa sepele tadi, saya yakin ada kuasa Ilahi di sana.
Adalah cerita hidup yang bagi banyak orang tak penting dan buang waktu saja. Begitu juga denganku. Apa itu? Membantu serangga jahil kemudian menyimpan albumnya di netbok? Ah, sejak merantau kau terlihat arif, perhatian, dan alim sekali. Benar kau mampu bertahan? Entahlah, batinku cepat menyergah.
Hanya saja, dalam kesendirian yang panjang, otakku tak bisa diawasi untuk berpikir aneh-aneh. Termasuk menghormati hak hidup serangga-serangga itu. Sejak 15 tahun belakangan hingga sore kemarin, hasrat membunuh serangga itu tinggi sekali kawan, terutama nyamuk. Rasanya menambah harga dan derajat diri ketika berhasil menangkap dan meratakan tubuh mereka di telapak tangan.
Hmm, yummie!
Rasa benci dan dendam kepada serangga-serangga itu sudah ditanam dan dipupuk dari dulu. Mekar dan berseri. Hingga tak layak memberi maaf pada mereka jika berpapasan. Langsung saja tepok!
Namun, malam ini, mungkin aku agak kemayu, -selain krisis air minum. Kehadiran mereka adalah jawaban dari kebesaran Ilahi di muka bumi. Pertolongan yang kuberikan, bukanlah jaminan seuntas nyawa -nyawa serangga- akan pasti selamat. Pertolongan itu harus diikuti dengan pertolongan selanjutnya agar si hitam gundul dapat terus bernapas. Ini bukti, bahwa aku -manusia- tak begitu punya banyak daya dan kuasa. Untuk menyelamatkan hidup seekor semut saja kau belum mampu? Apalagi dirimu? Ibumu? Saudaramu? Bahkan bangsamu!
Bah, cerita ini jadi membelit diri.
Dan, untaian pertolongan rajutlah selalu. Karena, sepertinya rajutan yang panjang dan bertingkat itu, mungkin justru untuk dirimu sendiri nantinya. Bukankah itu menyenangkan kawan? Kau ditolong ketika susah. Kau dihibur ketika duka. Dan kau dipuji ketika jaya. Semoga saja.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^