Tengah enak-enaknya makan malam di warung nasi langganan, tiba-tiba si bapak Sumbawa nyeletuk, bahwa perempuan cantik yang berteduh setengah menit tadi, super wangi dan renyah. Saya terbahak dan berhenti menyuap. Si bapak ngotot kemudian mengatakan bahwa saya tidak menyimak wewangiannya. Kali ini saya cengengesan.
Orang-orang wangi begitu, sambung bapak Sumbawa, didapatkan memang sudah 'turunan' dari langit. Sudah digariskan bahwa mereka kemana-mana pakai sedan antik dan mahal. Tidak akan bersusah payah dan harus kere dalam mencari makan, seperti kebanyakan penjual makanan di kota ini. Saban hari, lanjut bapak Sumbawa, kerja mereka ya cuma ngumpul-ngumpul sembari tanda tangan ini itu.
"Saya memang tak pernah mimpi hidup seperti itu, tapi saya memimpikan untuk anak saya kelak mba," lanjut bapak Sumbawa. Untung ini suapan terakhir, jadi saya bisa mengiyakan angan si bapak.
Sembari menyiapkan teh hangat buat dirinya sendiri, si bapak melanjutkan cerita. Luarnya saja Muntilan dan Singosaren ini sepi, kalau sudah kenal, dimana-mana ya kayak gitu. Si bapak menunjuk rumah beton berpagar tinggi dengan lampu lima watt di setiap sudut rumahnya. Sangat klasik namun terkesan mewah. Di depan pagar, berjejer lima hingga sepuluh sedan, mulai dari yang antik hingga yang mutakhir. Sangat mewakili dari gelak tawa dan suara-suara di balik pagar. Ada pesta kecil-kecilan mungkin di sana mba, lanjut bapak Sumbawa, seolah tahu apa yang kupikirkan.
Pantas saja, perempuan muda dan mulus tadi sibuk mencari tempat parkir untuk mobil antiknya. Pun demikian dengan laki-laki agak tambun dengan sedan keluaran terbaru itu. Tak keberatan, bapak Sumbawa mengatur arus jalan kampung yang mulai sesak oleh kendaraan mewah. Saya hanya menonton dan mereka-reka. Kira-kira para tamu ini anggota dewankah? Pengusahakah? Atau generasi kedua atau ketiga yang mendapat warisan milyaran dollar dari mbah-mbah mereka?
Ya, itu tadi mba. Semua itu datang dari 'langit' dan tinggal pakai kok, jawab bapak Sumbawa. Lagi-lagi, saya kecolongan pikiran oleh si bapak. Ah, bapak bisa saja, kataku agak canggung. Mata dan telinga ini pun masih saja mempel pada celah-celah pagar tembok, terlihat satu, dua orang berlalu lalang dan saling menjabat kemudian merangkul. Sepertinya enak hidup seperti itu ya pak? Tanyaku. Kayaknya iya mba, tapi saya belum pernah coba mba, he he he, kata bapak Sumbawa sembari menghenyakkan bokongnya di kursi bambu.
Tidak satu dua pesta kecil-kecilan diadakan di rumah-rumah yang tergolong jetset di kampung ini. Kalau tidak malam Minggu, ya malam Selasa, atau malam Kamis. Motifnya juga macam-macam. Ada yang memang hanya untuk kumpul-kumpul, nyanyi-nyanyi, makan-makan, atau bahkan awalnya pengajian. Kemudian, ya terserah yang punya hajatan.
"Di sini mba, setiap orang bebas membuat perkumpulan. Dan hampir setiap orang pula yang senang atau takkan ada gangguan," ujar bapak Sumbawa. Saya mengiyakan dan melirik buku tulis setengah halaman yang penuh dengan tulisan resep Rendang Padang.
Itu tulisan tangan saya sendiri tempo hari. Bapak Sumbawa sangat ingin tahu dan akan mencoba memasak Rendang Padang yang sangat populer itu. "Saya terheran-heran, kok bisa ya rendang seenak itu mba. Kalau saya makan di rumah makan Padang, saya pasti ambil kuah rendang." Begitu alasan bapak Sumbawa agar saya berkenan menuliskan resep Rendang di buku tulis anaknya.
"Suatu saat nanti saya akan coba buat Rendang Padang, dan saya nggak akan lupa jasa mba sudah kasih saya resep ini," lanjut si bapak. Saya terbahak sambil mengaminkan niat bapak Sumbawa.
Adalah lelaki setengah abad lebih yang memutuskan hidup di tanah Jawa bersama istri, anak, menantu, dan cucu. Ia datang dari timur sana, Sumbawa, yang terkenal dengan ribuan kuda liar yang melintasi tanah penuh rumput hijau itu sepanjang tahun. Sang istri yang memang berdarah Jawa, enggan diajak kembali hidup di tanah Sumbawa. Alasannya di sini, di kampung ini, adalah surga yang tak mungkin tergantikan. Ia mendapat banyak cinta, walaupun pernah direnggut oleh ayah kandung sendiri.
"Istri saya diusir dari rumah beberapa tahun lalu oleh ayahnya mba. Karena hal anak-anak, sepele sekali, bukan? Saya sedih dan sakit hati. Karena kami telah membangun rumah permanen di sana. Untung kami sudah memiliki lahan di jalan lintas itu. Kami mendirikan pondok dan hidup bersama anak di sana."
Perkara itu menjadi semangat bagi saya untuk mengembangkan usaha rumah makan, lanjut bapak Sumbawa. Walaupun saya tidak dari Padang, saya sangat ingin memasak masakan khas orang sana mba. Mba bantu saya ya? Pinta bapak Sumbawa. Tak ada alasan saya untuk menolak pinta itu. Selagi saya tahu dan pernah mempraktikkan bersama ibu di rumah dulu, tentu saja saya akan bagi resep itu.
Jika sudah begitu, saya merenung betapa ilmu memasak yang ibu berikan dulu sangat penting dan mulia. Bukan semua untuk saya, tapi lebih kepada pertanggungjawaban saya sebagai anak muda Minang yang perkara selera di kampung kami menjadi primadona dunia. Mungkin saya tidak akan memasak Rendang Padang di sini, tapi saya tidak mungkin merahasiakan tanah tumpah darah saya, Minang. Dan sangat tidak cool, kalau saya mengaku dari Suriname hanya karena saya tak tahu resep Rendang Padang. Saya tak ingin mengecewakan ibu dan tanah tumpah darah saya.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^