Skip to main content

BBM Naik, Matilah Rakyat!





Presiden dan jajaran orang penting serta berduit di negeri ini kembali ambil kebijakan menaiktinggikan harga BBM, sebagai kebutuhan utama rakyat. Analisa dan pertimbangannya, aku tak mau tahu. Namun, dengan bergemanya jeritan rakyat mulai dari Timur hingga Barat, sudah menjelaskan betapa kebijakan itu sangat ditentang dan menjijikkan.

Adalah pada bulan ini semakin garang jeritan itu di sana sini. Mulai dari kalangan elit, sebut saja mahasiswa, masyarakat, dan seterusnya. Mereka buka mulut, tak hanya di jalanan, seperti yang sudah-sudah dengan berdemonstrasi, memblokir SPBU, bakar foto-foto pejabat sana sini, serta jika juga tak digubris maki ini itu. Aparat keamanan pun 'bersitungkin' (Minang, artinya bekerja keras) mengamankan jalannya demonstrasi. Media pun ramai orderan.

Pun dengan teman-teman yang tak sempat mengacung-acungkan kepalan tangan di jalan, mereka menulis di hampir setiap jejaring yang tersedia. Riset kecil-kecilan, menyimak berita yang lalu lalang tentunya, sembari mengutip di sana sini, jadilah tulisan pedas mengkritik kenaikan BBM. Tak luput pasti, komentar dari puluhan teman, ada yang pro, dan ada juga kontra. Tergantung kocek dan kepentingan mereka.

Ibu-ibu dan Kebimbangan

Kenaikan harga BBM yang kabarnya akan dimulai pada 1 April mendatang, secara pribadi dan menurut kebutuhan sendiri, saya agak tidak bimbang. Pun rasanya saya tak harus kebakaran jenggot dengan keputusan 'tega-tegaan' para pengambil kebijakan itu. Karena, semoga, saya masih bisa bertahan dengan pundi-pundi yang tersedia. Ini terdengar egois, memang.

Akan tetapi, saya memiliki ibu yang selalu saya pikirkan dan kerap pula saya cemaskan. Beliau, (saya ceritakan) sepertinya tak bisa 'hidup' tanpa minyak tanah. Kadang saya menduga-duga, ibu saya adalah pemakai terbesar minyak tanah di kelurahan kami. Karena, pengakuan ibu, beliau tak mau gosong dimamah ledakan gas. Oh, ini penyebab utama. Sial sekali bukan gas-gas elpiji itu?

Dalam pengalaman saya, yang telah beberapa kali merasakan langsung dampak dari kenaikan harga BBM, minyak tanah pasti akan lebih mahal dan sangat langka. Ini aneh, jika dibandingkan dengan premium, solar, dan sejenisnya. Kenaikan BBM menjadikan harga minyak tanah mencapai Rp 10 ribu per liter. Gila bukan? Dan ibu saya, kadang tak mau tahu dengan harga, yang penting minyak tanah. Anda bayangkanlah!

Tentu saya tak tega menyalahkan ibu saya dengan keputusannya seperti itu. Bagi beliau, kebijakan pemerintah 'memindahpaksakan' masyarakat dari pemakai minyak tanah ke gas itu hanya sia-sia. Sia-sia jika setiap pagi beliau menonton televisi, di sana sini gas sialan itu meledak dan membuat ibu-ibu melepuh. Oh, berhentilah makan, kata beliau suatu waktu.

Kami, saya dan para saudara, juga tak kuasa egois. Ibu masih setia dengan minyak tanah dan kompor tuanya. Kami tak dapat memberikan lebih, setidaknya kami mampu menjamin rasa aman bagi ibu. Itu saja.

Nah, saya yakin, ada puluhan ribu ibu di Tanah Air ini yang pemikirannya mirip dengan ibu kami di rumah. Dengan kenaikan BBM, mungkin kecemasan beliau tidak akan 'semembabi buta' kita para anak muda. Beliau-beliau akan berpikir ulang ikut berdemonstrasi dan cuap sana sini. Beliau akan lebih legowo sambil mengurut dada dengan putusan asal-asalan ini. Karena, memang begitulah para ibu kita.

Akan tetapi, di balik legowo itu, pasti ada setitik harapan, bahwa kalau dapat janganlah dinaikkan harga BBM itu. Ingatlah kami, para ibu tua, yang mengurus dapur mulai dari pagi ke pagi lagi, yang berjualan panganan di pasar-pasar dengan harga Rp 2000-5000 an, yang memakan gaji harian di ladang-ladang Rp 20 ribu-30 ribu per hari, namun kami harus mengeluarkan Rp 5000-10 ribu untuk minyak tanah per liternya saja setiap hari. Jika ditimbang-timbang, hanya tenaga yang tersisa di sana.

Benar, harapan untuk sejahtera seperti termaktub dalam pancasila itu masih sangat jauh, setidaknya jangan 'menghukum' rakyat kecil dengan putusan-putusan yang masih memiliki alternatif untuk tidak diambil. Dengan menuliskan ini, saya menentang kenaikan harga BBM, murni hanya untuk mewakili suara ibu saya dan semoga ,mungkin, juga suara ibu-ibu lain di Bumi Ibu Pertiwi ini.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...