Skip to main content

[Cerita di Minggu Pagi] Jogging dengan Seribu Sejarah




Sekitar 10 menit perjalanan jogging dari tempat tinggalku ke arah utara, kau akan bertemu dengan tiga jenis batu yakni Batu Gilang, Batu Gatheng, dan Batu Gethong. Sebelumnya, di sini di kota ini kita tentu saja tak mengenal hulu dan hilir kawan, karena kota ini adalah kawasan yang terletak di tepi pesisir/laut serta juga lembah. Masyarakatnya mengenal arah dengan sebutan mata angin yaitu biasanya utara, selatan, barat, dan timur. Dan ketiga jenis batu ini adalah obyek peninggalan sejarah Keraton Mataram 1509. Sangat tua bukan kawan?

Nah bangunan ini dipugar, dicat ulang, dan dirapikan kembali. Letaknya persis di tengah jalan dan di antara dua pohon beringin tua yang akar gantungnya menjuntai kemana-mana. Oiya, waktu kanak-kanak dulu, di Pulau Rose, beringin adalah rumahnya para wewe gombel serta makhluk halus lainnya. Itu cerita di Pulau Rose dan kami meyakini. Akan tetapi, di kota ini, beringin tidak demikian, mereka tumbuh di tengah-tengah kota, sebagai tempat berteduh dan bermainnya anak-anak, serta juga sangat dihormati. Beringin yang kira-kira mencapai 30m dan butuh tiga orang untuk mampu merangkul batangnya, saya kira usianya pun sudah mencapai ratusan tahun. Atau bisa dikatakan beringin menjadi situs sejarah yang hingga kini masih bernyawa.

Karena letaknya persis di tengah jalan, jadi bangunan ini pun ditempeli lambang tertib berlalu lintas. Saya tersenyum ketika melihat garis merah dan biru horizontal tertempel di kanan kiri pinggang bangunan. 'Akhirnya kau dipaksa patuh dengan inginnya generasi muda' bisikku sembari mengulum senyum pada bangunan itu. Tak jauh berbeda dengan Kandang Menjangan di Krapyak. Letaknya makin ke barat kota ini, persisnya selatan Keraton Ngayogyakarta. Bangunan yang dulunya dipakai sebagai perangkap ketika berburu rusa, kini menjadi situs sejarah berupa benteng. Letaknya persis di tengah jalan dan ditempeli lambang tertib berlalu lintas. "Di kota ini, apakah sengaja rakyatnya memosisikan situs sejarah menjadi tempat umum agar selalu dilihat dan gratis. Atau merupakan wasiat?" "Entahlah, siapa sangka bangunan ratusan tahun masih kokoh hingga sekarang," ujar teman enggan mengungkit-ungkit sejarah.

Kembali kumenyusuri perkampungan kota ini yang tidak hanya asri namun juga penuh warna. Macam-macam, sepanjang jalan kau akan menemukan warung-warung makan yang bangunannya unik serta sangat jadul, kampung-kampung kecil dengan nama dan slogan sesuai RT/RW mereka, pemakaman para ustad atau orang-orang yang dianggap bertuah, panganan industri kreatif, serta mural-mural di sisi kiri kanan tembok-tembok rumah penduduk. Ada yang berbicara tentang gotong royong, memasak bersama, posyandu, pos ronda, dan wayang. Dan tak perlu harus menjadi feminis, karena sudah sangat jelas setiap perempuan dalam mural itu kerjanya hanya berputar-putar di dapur, sulam, dan mengasuh anak. Sedangkan para lelaki, memikul cangkul di sawah, mengasah parang, dll. Pakaian mereka sangat Jawa, berkemben, sarung batik, serta sanggul, sangat Kartini.

Akan tetapi akan berbeda dengan mural yang menyuguhkan posyandu, pos ronda, dan PAUD. Para perempuan tak lagi berkemben, tetapi berjilbab serta memakai celana panjang. Serta para lelaki mereka duduk-duduk merokok di pos ronda. Ada banyak cerita dari mural ini yang bisa kita terjemahkan sesuai hasrat kita masing-masing. Tapi, tak usahlah.

Sekitar lima menit jogging ke utara dari tiga jenis batu ini, kau akan bersua dengan kompleks pemakaman Raja-raja Mataram (1575-1640), khususnya Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-17. Awalnya kau akan disambut dengan sebatang beringin besar dan tinggi menjulang. Lagi, saya yakin usianya sudah mencapai ratusan tahun. Kemudian melewati beberapa benteng yang mirip dengan candi-candi Hindu, dan kau akan bersua dengan Masjid peninggalan Kesultanan Mataram yang dipinpim oleh Panembahan Senopati (Sutawijaya). Semakin ke dalam, kau akan berjumpa dengan pemakaman raja-raja ini dimulai dari yang pertama, ada Sultan Agung, Paku Alam I, Sultan Hamengkubuwono I, dan seterusnya.

Di sini setiap orang boleh berziarah. Tentunya harus sesuai jadwal dan cukup umur. Ada peraturan yang bagi saya sendiri unik dan membuat berdecak kagum. Jika biasanya kita berziarah lebih kepada agama atau syariat, nah di sini, di pemakaman ini anda berziarah bisa dikatakan tidak lagi menurut syariat, tetapi menurut keraton. Sebelum memasuki makam, anda yang laki-laki harus dan wajib mengenakan pakaian bak pada zaman kesultanan atau monarki Mataram tempo dulu. Memakai blankon, baju khas kesultanan (saya lupa namanya), sarung batik, serta sandal. Nah, bagi yang perempuan tentu saja harus memakain kemben, sarung batik, dan tak boleh memakai perhiasan emas. Semua dilepas, termasuk yang memakai jilbab. "Karena ke makam itu kita tidak sedang menjalankan syariat agama, namun ingin 'menghadap' sultan," begitu kata seorang kenalan yang tengah 'bertapa' di sekitar kompleks itu. "Ooooooo" jawabku panjang.

Untuk sewa pakaian ini, anda akan dikenakan biaya sebesar Rp 10.000 per stel. Terserah mau berapa lama berziarah di makam para raja itu. Yang jelas harus sepengetahuan pengelola kawasan tersebut. Selain itu, di sini juga disediakan tempat mandi untuk para perempuan dan laki-laki yang letaknya bersebelahan. Air yang digunakan untuk mandi itu, kabarnya berasal dari makam-makam para raja yang tak pernah kering apalagi keruh. Air itu dimuarakan ke dalam beberapa kolam yang juga berisi ikan-ikan. Ada lele sebesar paha orang dewasa, ikan mas, dan jenis ikan lainnya yang enak untuk digoreng. Konon, ikan ini juga berperan dalam menyampaikan 'pesan' dari sultan kepada pertapa-pertapa di kawasan ini.

Namun, dengan gaya yang santai, teman kenalan tadi tak begitu menggubris, karena pada dasarnya ikan-ikan yang dipelihara baik di kolam penampungan air mandi, maupun di sekeliling masjid, gunanya agar jentik-jentik nyamuk tak berkembang biak di sekitar kompleks makam dan masjid ini. Masuk akal. Karena, kawasan ini baik siang maupun malam selalu diramaikan oleh para peziarah dari berbagai tempat di nusantara. "Kasihan mereka ketika tidur di balai-balai pada bentol digigit nyamuk," ujarnya sembari tertawa.

Selain itu, kawasan ini juga khas dengan keberadaan pohon tua lainnya yaitu sawo kecik. Ada sekitar sepuluh sawo kecik meneduhi kawasan masjid. Pohon ini juga menjadi salah satu ikon di lambang kerajaan Mataram. Kawasan ini selalu bersih dan riuh oleh suara anak-anak yang bermain di sekitar masjid. Maklum, benteng yang melindungi masjid, makam, dan tempat mandi ini sengaja tidak dipisahkan dengan pemukiman setempat. Pun di kompleks ini disediakan klinik, warung makan, toko kelontong, untuk para pengunjung. Makam raja-raja Mataram tak sekedar sejarah dan tempat berziarah, ia telah terubah menjadi ikon wisata sekaligus menafkahi mereka yang hidup di sekitarnya. Mungkin hal ini tak pernah terpikirkan oleh Sultan sebelumnya. Apa boleh buat, inilah adanya.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...