Skip to main content

Menularkan Tradisi Membaca dan Menulis





Sekitar 50 peserta antusias mengikuti undangan berdiskusi tentang tradisi membaca dan menulis oleh penyair Taufiq Ismail. Penyair Taufiq Ismail selaku pembicara, menyampaikan bahan diskusinya tentang tradisi membaca dan menulis dengan judul ‘Menutup Babak Generasi Rabun Membaca Buku, Pincang Menulis Karangan’. “Kita, orang Minang, memiliki tradisi membaca dan menulis yang tinggi. Apalagi zaman kemerdekaan dahulu. Tradisi ini harus kita tularkan dan lestarikan untuk generasi mendatang,” ungkap Taufiq Ismail di Rumah Puisi Taufiq Ismail, di Nagari Aie Angek, Padang Panjang, Sabtu (23/7) lalu.

Dalam materinya, Taufiq membandingkan bagaimana sekolah-sekolah di luar negeri menjadikan mata pelajaran membaca dan mengarang sebagai mata pelajaran wajib diikuti oleh para siswa. Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya menyediakan berbagai buku sastra yang dikarang oleh sastrawan-sastrawan besar dunia tetapi juga mewajibkan mengarang yang kelak akan dicetak menjadi buku-buku karangan para siswa tersebut. “Mata pelajaran membaca dan mengarang menjadi jauh lebih menarik para siswa, sehingga dua mata pelajaran ini mendapat tempat di hati para siswa,” kata Taufiq di depan para penulis dan penyair muda yan tersebar di beberapa kota di Sumatera Barat.

Ia melanjutkan, betapa budaya ini jauh berbeda dengan budaya membaca dan mengarang di Tanah Air saat ini. Mata pelajaran membaca dan mengarang jauh tertinggal di belakang. Para siswa lebih tertarik mempelajari ilmu alam atau eksakta daripada membaca dan mengarang. Padahal sejarah mencatat bagaimana para siswa yang banyak membaca dan menulis menjadi tokoh yang berpengaruh terhadap bangsa ini ke depannya. “Sukarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan seterusnya, adalah para siswa yang ditempa oleh sekolah Hindia Belanda untuk lebih banyak membaca dan mengarang. Dan ingat, mereka tidak hanya membaca buku dengan satu bahasa tetapi tiga atau empat bahasa sekaligus. Bayangkan!” pungkas Taufiq dengan nada meninggi.

Selanjutnya, Taufiq pun menampilkan angka-angka banyak buku yang tersedia di sekolah-sekolah, buku wajib yang harus dibaca oleh para siswa, jumlah karangan yang harus ditulis oleh para siswa apakah itu per minggu, per semester, per bulan hingga per tahun, kemudian jumlah buku yang berisi kumpulan karangan yang dihasilkan oleh para siswa tersebut setiap tahunnya. Taufiq menegaskan, budaya menularkan membaca dan menulis kepada para siswa bukan berarti mencoba menjadikan mereka sebagai sastarwan. Budaya membaca dan menulis bertujuan untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa lain di dunia. “Kita tertinggal jauh dengan bangsa lain. Dengan membaca dan menulis kita yakin dapat mengejar ketertinggalan itu seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang besar bangsa ini dahulu,” kata Taufiq menyemangati para peserta baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan guru.

Berbagai kegiatan pun telah dilakukan oleh Taufiq Ismail dengan Majalah Sastra Horison sejak tahun 1996. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, sanggar menulis, diklat, lomba, dan lokakarya sastra. Gerakan ini pun mendapat dukungan dari berbagai lembaga pemerintah, tokoh masyarakat, dan masyarakat umum. Hingga saat ini Taufiq masih mengembangkan dan membudayakan suka membaca dan menulis di Tanah Air dan khususnya di Sumatera Barat. Dengan kegiatan ini Taufiq memusatkan gerakan bagaimana kelas membaca dan mengarang itu menjadi kelas yang menyenangkan, asyik, dan gembira. “Dengan sastra nilai-nilai luhur itu akan tumbuh dan berkembang di dalam jiwa para siswa untuk mebekali dan menghadapi kehidupan yang jauh lebih keras di masa mendatang,” jelas Taufiq.

Acara yang dikomandoi oleh Muhammad Subhan ini berlangsung mulai pukul 10.00 hingga 16.00 WIB. Untuk menghibur peserta, diskusi juga diselingi dengan pembacaan puisi, musikalisasi puisi, dan menampilkan nyanyian-nyanyian oleh para peserta.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...