Skip to main content

Dirgahayu ke-66 Republik Indonesia, Jayalah Indonesiaku



Sejak dua hari lalu, jalan-jalan yang kutelusuri dari tempat aku dibesarkan, Lubuk Sanai Mukomuko, beberapa kampung diwarnai dengan bendera Merah Putih di setiap halaman rumah warga. Bermacam-macam, ada bendera yang berkitar merah menyala, ada pula bendera yang mulai kusam warnanya serta tak bergerak sama sekali. Pun demikian dengan tiang bendera. Ada yang sengaja memakaikan kayu bagus serta dicat dengan baik. Ada pula hanya dengan sebilah bambu dan diikatkan pada pagar rumah-rumah warga. Pemasangan bendera ini tentu saja untuk mengenang dan menghargai jasa para pahlawan bangsa ini yang telah bersusah payah memerdekakan bangsa kita, Indonesia.

Tradisi tahunan ini, memasang bendera Merah Putih, ataupun jika ada dana mengadakan lomba makan kerupuk, pacu lari karung, dan sebagainya, semata-mata untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dengan penuh suka cita. Bangsa besar ini tentu tak mau dicap sebagai generasi pembangkang dan tak menghargai pengorbanan jasa para pahlawan yang telah tiada. Rasa cinta yang tulus dan dalam ini tak mudah lenyap dari dalam jiwa kita. Sebagai penerus, setidaknya kita tahu dan paham akan pengorbanan besar itu.

Pagi-pagi sekali pada tanggal 17 Agustus 2011, saya sengaja menengok-nengok ke sekeliling kompleks tempat tinggal yang selama kurang lebih empat tahun ini saya tempati. Niat hati untuk menghilangkan kantuk selepas sahur. Karena tepat sekali, selain memperingati 17 Agustus, juga memperingati malam ke 17 ramadhan 1432 hijriah tahun 2011 ini. Saya pun mencoba mengingat-ingat, kok ada yang kurang dengan pemandangan dip agar-pagar rumah penduduk pagi ini? Oiya ternyata para warga di sini tidak memasang bendera Merah Putih pada hari ini rupanya. Kasihan sekali, saya tidak dapat menikmati pemandangan warna merah putih itu lagi.

Ketika menolehkan kepala ke arah kiri, ternyata pagar rumah itu juga seperti hari-hari biasanya. Tak ada tiang dan bendera Merah Putih. Oiya ternyata rumah Pak Ketua RT pun sepertinya lupa dengan peringatan tujuhbelasan ini. Kasihan sekali aku. Ketika menolehkan kepala ke arah kanan, tepat rumah Bapak kostku sendiri, ternyata juga tak ada bendera. Justru suara-suara musik boyband dari kamar anak gadisnya berdentang-dentang pagi ini. Kemana orang-orang ini? Jalan-jalan sepi sesepi hatiku karena tak ada bendera yang menghiasi pagi ini. Kasihan sekali aku.

Secepat kilat kutelpon One, kakak perempuanku di rumah, apakah rumah kami juga tak memasang bendera Merah Putih pagi ini? Semoga tidak. Semoga ibu masih mengingat hari bersejarah nasional ini. Karena, sebelum aku berangkan ke kota ini, kemarin beliau berpesan kepada kakak laki-lakiku, agar mencarikan beliau sebatang bambu yang tak begitu besar yang akan dijadikan sebagai tiang bendera Merah Putih waktu pelaksanaan 17 Agustus kelak. Semoga beliau tidak lupa. Tapi One yang kutelpon ternyata belum di rumah. Ia masih di daerah dinasnya yang cukup jauh dari rumah. Sedangkan ibu, pasti sedang sibuk dengan pekerjaan beliau di pasar sana. Dan aku sangat tidak mungkin untuk menelpon beliau untuk saat ini. Pertanyaan ini pun masih menggantung hingga sekarang. Apakah rumah kami diwarnai bendera Merah Putih saat ini? Harapku iya.

Sembari kumenulis catatan ini, di dua radio-tape radio dan handphone radio-aku menyimak bagaimana upacara bendera memperingati 17 Agustus dilaksanakan baik di kota ini maupun di Jakarta sana yang dikomandoi oleh Presiden SBY. Aku menyimak hingga selesai. Senang rasanya bisa merasakan nuansa 17 Agustus yang sudah sangat jarang aku rasakan. Semenjak memasuki dunia kampus, berbagai upacara bendera tak lagi aku ikuti. Tak seperti waktu masih SD, SMP, SMA dahulu. Setiap Senin dan hari-hari nasional lainnya kami memperingati dengan riang gembira walaupun kadang disertai dengan canda tawa kami yang kanak-kanak.

Ah momen-momen itu sangat menyenangkan dan mengharukan. Tak mudah dilupakan dan tak mudah pula digantikan. Perjalanan ini begitu singkat. Tak terasa usiaku sudah memudahkanku untuk tak mengikuti acara-acara serupa ini. Banyak adik-adik yang ternyata jauh lebih baik dan apik memaknai hari nasional ini. Mereka jauh lebih cerdas, lebih nasionalis, dan tentu saja lebih memiliki masa depan yang lebih cerah. Semoga. Kadang aku melihat masa depan bangsa ini di dalam mata mereka yang lugu dan jujur apa adanya. Mereka masih perawan dan indah untuk disusupi berbagai ajaran dan cara menghadapi dunia ini dengan sangat indah dan pendek. Untuk saat ini aku mencoba berbuat sebermanfaat mungkin kepada mereka yang berhak mendapatkan masa depan dengan lebih baik dan adil. Demi bangsa ini dan di saat HUT RI ke-66 ini, dalam lubuk hati, aku siap mempersembahkan jiwa dan raga untukmu, bangsaku.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...