Skip to main content

Kota Padang Ultah Ke-342




Hari ini tanggal 7 Agustus 2011. Bertepatan dengan hari Minggu, libur rutin, hampir setiap orang. Termasuk saya, yang mencoba tidur seharian seperti bangkai di kamar kost. Mencoba menikmati akhir pekan pertama bulan puasa tahun ini dengan kesendirian, oh tentu saja tidak. Saya tak pernah sendiri. Walaupun pernah mencoba untuk sendiri. Ada kado tiga novel bagus-bagus yang menemani. Bercengkerama, mulai dari sebelum berbuka puasa, malam menjelang, setelah sahur, dan setia menemaniku di dalam angkutan kota yang selalu bising. Mayday.

Sehalaman koran lokal di kota ini dipenuhi oleh iklan ucapan Selamat Ulang Tahun untuk Kota Padang yang ke-342 tahun. Saya terpaku kemudian disusul senyum dikulum membaca iklan tersebut. Aha, hari jadi ke-342, tua banget, pikirku. Secepat kilat otakku berpikir, ini momen yang bagus dan yahud untuk menulis sesuatu tentang kota yang telah kudiami sekitar empat tahun ini. Ah, aku jadi ingat nenek-nenek dan kakek-kakek yang pernah beumur ratusan tahun.

Tak rela ketinggalan berita perayaan ulang tahun tua ini, sejak pagi kuputar-putar tuning radio butut di kamarku. Maklum, umur radio ini cukup tua dibanding umur kucing-kucing yang pernah ada di rumahku. Dan lagian ini radio bukan radio pribadiku. Radio kakak kostku yang kerap memutar musik yang bernuansa India dan Jiran. Selera kakakku yang satu ini benar-benar melankolis dan Melayu banget. Alhasil, beberapa siaran radio kutemukan dengan tetap bermusik ria. Karena aku bukan tipe yang mudah putus asa, sekali lagi kucoba mencari siaran yang klop markotop dengan telinga dan hasratku. Aku menemukan. Radio lokal kota ini, Sushi FM.

Acara diadakan di kantor DPRD Kota Padang. Dihadiri oleh berbagai pihak. Ada Gubernur Sumbar, Wali Kota Padang, para pemuka adat, bundo kanduang, dan urang-urang bagak di kampung-kampung dan di kampus. Namanya rapat pleno dengan anggota DPRD Kota Padang. Banyak bincang yang disampaikan dan didengarkan oleh berbagai pihak. Pun saya yang menyimak dari radio, sesekali mengernyitkan kening, kemudian terkekeh-kekeh mendengarkan celotehan para urang bagak dengan gaya bicara dan maksud pidato. Ah ternyata urang Minang memang sangat egaliter dan pintar-pintar rupanya.

Pidato pertama yang saya simak, pidato yang disampaikan oleh Wali Kota Padang, Dr. Fauzi Bahar, M.Si. Gelar M.Si dan Dr nya memang didapati dari kampus yang juga saya tempat kuliahi. Kalimat ini tidak berpretensi apa-apa, tidak bangga dan tidak juga senang. Biasa saja. Hanya memberi tahu kepada pembaca blog saya. Seperti yang sudah-sudah, bunyi pidato itu bikin saya terkikik-kikik. Ada yang janggal dan cuping telinga saya bergerak-gerak ketika menerima bunyi yang disampaikan oleh Pak Wali. Susunan kata dan kalimat yang disampaikan, terseok-seok dengan bahasa Indonesia resmi plus bahasa gado-gado dengan bahasa Minangkabau kebanggaan kita. Dilanjutkan dengan pidato urang awak di rantau, katanya dari Singapura, dan Gubernur Sumbar Prof. Irwan Prayitno dengan sekali-sekali menyematkan bahasa dan medok Jawa plus bahasa sleng. Ah Pak Gub ini semakin gaul saja. Batinku.

Seperti pidato SBY dan pidato resmi kenegaraan lainnya. Isi pidato berkutat dengan ekonomi masyarakat, kesehatan ibu dan anak, kematian bayi, politik dan kebijakan, agama Islam dan nonislam, pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, budaya ranah Minang, bencana serta penangggulangannya dan anak kemenakan yang sedang diurusi. Semua dibahas dengan komplit dan komprehensif, sayang hanya sebatas wacana yang tak pernah usai. Rencana ini itu, pembangunan yang akan dibangun di sana sini, dan rancangan yang akan dibahas kelak dan nanti. Rapat pleno ini begitu antusias ingin begini begono. Kesempurnaan Kota Padang memasuki usia ke-342 ini harus dipertimbangkan dengan matang. Padang diharapkan menjadi pionir dan percontohan untuk kabupaten kota lainnya di Sumbar, Sumatera, bahkan Tanah Air.

Bagiku, ultah Kota Padang ini memberikan suatu nuansa yang memang patut disyukuri. Otak kiriku berputar-putar, sejak empat tahun aku mengarungi kehidupan di kota ini, ya tak jauh signifikan perubahan, mulai dari tata kota, masyarakatnya, pendidikannya, pariwisata, teknologi, dan seterusnya. Yang banyak berkembang adalah dialektis para juru bicaranya yang semakin merebak kemana-mana. Perubahan yang dilakukan memang banyak hanya dalam diskusi, ruang pertemuan yang full AC, tunjuk sana sini dengan semangat menyampaikan ide-ide brilian. Pun demikian dengan para perantaunya yang kebanyakan sukses di luar sana. Perubahan yang akan dilakukan cukup memberikan angin segar bahkan angin surga bagi masyarakat kota ini. Namun setelah acara selesai, ide-ide dan semangat tadi terkurung di dalam ruangan full AC. Tak berpindah kemana pun. Sesampai di rumah, para pembicara asyik masyuk bergelut dengan anak, istri, dan keluarga. Ide pun melayang-layang bak arwah gentanyangan. Tak tentu arah.

Saya memiliki cukup pengalaman dengan hal ini. Beberapa kali mengikuti pelatihan, rancangan, deklamasi, diskusi pergerakan, dan seterusnya. Hasilnya, tebakan pembaca tak salah lagi. Hampir nihil. Memang kita harus optimis dengan segala yang telah dilakukan. Dan tak ada yang sia-sia dilakukan. Namun, otak saya masih saja mencemooh adegan demi adegan serupa ini. Ya serupa rapat ulang tahun ke-342 kota Tercinta Kujaga dan Kubela ini. “Memang kita banyak dan sepertinya kita cerdas, tapi kita berbuat tak sebanding dengan kepintaran kita”. Saya benar-benar sadar dengan kalimat ini. Bagaimana tidak, hingga malam menjelang dan saya menuliskan hal ini, kalimat ini tetap mengiang-ngiang di telinga dan hati saya. Bahkan ketika berjumpa dengan banyak orang yang saya yakin mereka adalah orang-orang pilihan. Namun, mereka tak bisa berbuat banyak. 11 12 dengan saya. Unbelievable.

Itu otak kotor saya yang berpikir aktif. Sedangkan otak kanan saya lebih dewasa dan sedikit cerdas. Ia sangat anggun, keibuan, serta kebapakan. Semua ini harus dihadapi dengan penuh harap dan wajah cerah. Ah kayak iklan pemutih wajah saja. Maksud otak kanan saya, semua ini harus dipikirkan dan ditelaah dengan mahzab kekananan. Tak boleh kiri. Sebab, dengan kekananan semua ini tidak akan menyebabkan saya kena stress dan stroke. Jika selalu kiri, potensi stress dan stroke itu besar sekali. Sekalipun kamu bukan pejabat. Begitu kata otak kanan saya menyindir. Benarkah? Ah otak kanan saya ini benar-benar sok tahu. Saya tak memiliki riwayat stroke muda di dalam keluarga besar. What’re you talking about my heart?

Begitu juga dengan Kota Padang yang tengah berulang tahun ini. Kita harus optimis, kota yang kecele karena sering ditimpa musibah ini harus menengadah dan tak menunduk terus. Kasihan dia. Sudah jatuh tertimpa tangga, terjerembab ke tai ayam, eh datang pula gempa menyenggol. Malang benar kan? Hanya orang-orang dari kota inilah yang lebih banyak optimis membangun kota tercinta ini. Dalam ulang tahun ke tiga abad lebih ini, kota ini memang harus banyak berbenah, beikhtiar, serta berdoa. Pun demikian saya yang tengah mempersiapkan diri untuk meninggalkan sementara kota ini. Ya, semoga saya tidak menjadi insan dialektor yang hanya cerdas di ruang full AC. Di luar saya kecele seperti kota ini. Selamat ulang tahun Kota Padang. Jaya selalu ya. Don’t give up.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...