Sengaja membuka puasa tahun 2011 ini di rumah bersama Ibu, Nenek, dan kakak-kakak. Tak mau membuat Ibu sedih, kalau anak bungsunya tak mudik ketika Ramadhan menjelang. Ramadhan menjadi bulan paling sakral dan bahkan penuh dengan sesuatu yang mengharu biru-dalam keluargaku. Bulan ini semua orang harus hadir di depan mata, bagaimanapun keadaannya. Termasuk aku, yang sedang sibuk di tahun akhir perkuliahan.
Siapa lagi yang akan membuat Ibu senang dan bahagia kalau bukan kami-anak-anaknya yang sudah lumayan besar dan dewasa. Salah satunya berkumpul, bercerita, berdebat, memasak, berjualan, dan berziarah bersama ke makam Ayah. Sejak kepergian Ayah, kami semakin menyadari dan paham kehidupan harus tetap dilanjutkan tanpa beliau lagi. Dan berziarah, salah satu luapan rindu kepada beliau dan tetap mensyukuri yang ada dalam kehidupan kami.
Perjalanan dimulai H-5 Ramadhan, ketika aku meninggalkan kota dimana aku bermukim sejak empat tahun terakhir ini, kota Padang Tercinta, Kujaga dan Kubela-begitu semboyan paling mutakhir di salah satu kota ranah Minang ini. Melewati kota yang tengah berbenah-setelah setelah porak-poranda dihoyak gempa dua tahun lalu. Di sana sini masih banyak dilakukan pembangunan. Di salah satu jalan yang ditelusuri travel ‘carteranku’ Pemerintah Kota tengah membangun jalur evakuasi tsunami. Kota Padang semakin populer dengan kota yang memiliki ancaman bencana air bah tsunami di Tanah Air. Bulu romaku kerap bergidik mendengar kata dan kabar macam begini. Apa-apaan sih pakar bencana tsunami? Pikirku dalam hati.
Penumpang beragam. Aku yang paling muda, semua ibu-ibu dan bapak-bapak yang bisa dikatakan tak sehat 100 persen lagi. Ada yang baru selesai operasi katarak, cabut gigi, dan seterusnya. Tujuan mereka pun tak sama dengan tujuan ke kotaku, Lubuk Sanai, Mukomuko, Bengkulu. Ibu dan bapak-bapak ini hanya menempuh perjalanan maksimal tiga jam yang masih berputar-putar pada Provinsi Sumbar, Kabupaten Pessel. Sedangkan aku, selama seven hours. Cukup melelahkan dan tapi tak bosan kok.
Memasuki bulan puasa, beragam hal yang diceritakan oleh para ibu dan bapak ini. Tak seperti kita, anak muda. Beliau-beliau tak perlu kenalan dulu. Cukup bersinggungan di tempat duduk yang sama dan mengetahui kalau penumpang di sebelahnya menggunakan bahasa Minang, percakapan dari A, X, Y, Z pun mengalir tanpa henti. Sesekali diselingi sorak sorai dan kata-kata keluhan perihal berita yang disampaikan oleh teman sebangku.
Apalagi mendengar kabar harga-harga melonjak tinggi memasuki bulan puasa dan lebaran kelak. Musim panceklik, anak-anak yang masih sekolah dengan biaya tidak sedikit, baju lebaran, hasil panen kurang, serta harga jual pun melorot. “Harga buah sawit cukup bagus. Harga karet pun demikian. Tapi harga gambir, tak dapat diharapkan. Sudahlah kita capek mengurusi dan memasaknya, harganya begitu-begitu saja, bahkan turun,” keluh seorang ibu sambil menarik jilbab di sampingku duduk. Ibu itu semakin gerah dengan udara di dalam travel plus cerita hasil panen yang tak membahagiakan. Cerita ini pun disambut dengan kabar lainnya dari ibu dan bapak-bapak yang duduk di belakangku.
Perjalanan semakin jauh meninggalkan kota Padang. Satu-satu penumpang turun dan kembali travel ini sepi penumpang. Tinggal aku, dua penumpang lainnya serta pak supir. Pak supir tak bosan-bosan mengajakku bercerita meskipun aku tidak duduk di kursi depan. Ia tahu aku mahasiswa satu-satunya yang menumpang. Penumpang lainnya telah terlelap, ibu-ibu juga. Pak supir bercerita tentang anak-anak gadisnya yang terancam tak bisa melanjutkan sekolah karena usahanya bangkrut. Ia dan istrinya harus banting stir, jadi supir travel dan menyediakan panganan basah ke kedai-kedai di sekitar tempat tinggal mereka. Tiga anaknya, tengah membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk keperluan sekolah dan lainnya. Aku pun jadi iba.
Keibaan ini menghantarkanku untuk berimajinasi. Suatu hari kelak, cita-cita dan anganku ingin membantu anak-anak yang putus sekolah semakin kuat. Andai-andai aku sukses mulai tahun ini dan seterusnya pun menghias kepalaku. Dan kelak jika aku kenal anak pak supir, aku akan membantu bocah tersebut untuk bisa kuliah dan jadi gadis cerdas, pikirku. Tentu saja hal ini tidak kuutarakan kepada pak supir, aku bisa ditertawakannya.
Panjang cerita merebak ke wilayah politik dan kepartaian. Untung sebelum meninggalkan kota Padang, aku masih sempat membaca Koran dari Palmerah dan kota Padang serta majalah Tempo yang terkenal itu. Masih, kasus Nazar menghiasi surat kabar-surat kabar. Tak ketinggalan nama Anas, Ketua Partai Demokrat di sebut-sebut dan SBY, presiden Indonesia tahun ini. Pak supir ini ternyata tak hanya peduli pada bangsa ini, tapi cerdas juga menyampaikan pendapat dan prediksi nasib partai tersebut serta nasib Indonesia berikutnya. Aku kagum.
Asyik, karena nyambung dengan obrolan yang diciptkan, aku ditraktir pak supir makan siang di rumah makan yang sering kusinggahi. Alhamdulillah, pak supir ini selain peduli bangsa juga peduli dengan aku dan kantungku. Makan lahap tanpa sungkan. Pak supir pun membawa semua itu santai dan aku tak merasa berutang duit padanya. Perjalanan dilanjutkan dengan obrolan lainnya.
Lubuk Sanai, Mukomuko, Bengkulu, adalah kota dimana aku tidak dilahirkan tetapi mendapatkan banyak cinta dan kasih dari orang-orang sana. Tak mudah melupakan masa-masa kanak-kanak dan remaja di kota kecil itu. Bergaul dengan banyak keluarga dan beragam suku, tak hanya menarik tapi juga kerap beradu mulut. Semua berjalan normal, ketika satu per satu anak-anak daerah itu terbang ke kota lain untuk beberapa waktu dan akhirnya kembali. Begitu dengan aku.
Para tetangga tak berubah jauh. Keramahan dan suka menggosipkan orang lain masih tumbuh subur-aku tak menampik hal ini pernah juga dilakukan oleh sanak saudaraku. Semoga setelah kupesankan, tak asyik ngomongin orang di belakang mereka, sifat dan sikap ini sedikit berubah. Sepak terjang para orang-orang untuk memperoleh kehidupan lebih baik-secara ekonomi-juga terasa kental di sini. Ada yang baru pulang haji. Ada yang baru membeli mobil. Ada yang baru menanam lahan sawit berhektar-hektar. Ada yang baru kawin lari. Ada yang baru dirundung sedih karena ditinggal anak atau suami selamanya. Dan macam-macam. Serta temanku yang baru saja menjomblo atau sedang penjajakan untuk pacar ketiga, selingkuh lagi.
My fast kuhabiskan membantu Ibu dan kakak berjualan di pasar, bergelut dengan kucing sawah yang baru diadopsi kakak laki-lakiku, cekikikan dengan OVJ, serta telpon dan SMS an dengan teman-temanku di kota Padang. Sedangkan lepiku, terpaksa kutaskan karena fan nya tak berfungsi baik sehingga aku harus membongkar dan merogoh kocekku sebesar Rp 350 ribu. Amboy. Rezeki tak berpintu. Tapi aku ikhlas teman.
Tak lama, aku harus kembali ke kota Tercinta ini dan menyelesaikan semua tanggung jawabku kepada Allah Swt, kampus, Ibu, dan diri sendiri. Aku harus menutup babak ini dengan apik, sesuai harapan Ayah dahulu. Setelah itu, aku merasa punya sepasang sayap yang bisa kuandalkan untuk mewarisi semangat dan daya juang Ayah untuk menjejaki wilayah baru dalam kehidupan masing-masing kita. Merantau. Semoga.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^