Skip to main content

Sepasang Sepatu

Sepatu pada awalnya berfungsi melindungi kaki dari berbagai ancaman. Sebagai pelindung, sepatu selayaknya digunakan dengan rasa aman dan mendukung berbagai kegiatan yang dilakukan. Saat ini, sepatu tidak hanya sebagai penopang kaki dan tubuh ketika berjalan, namun juga menggambarkan kelas seseorang yang memakai sepatu.
Jenis dan mode sepatu apa yang akan digunakan bisa saja menjadi persoalan besar. Apakah seseorang pantas mengenakan sepatu itu atau tidak? Persoalan ini pun bisa menyangkut apakah seseorang pantas dan memenuhi syarat dimasukkan ke dalam kelompok tertentu atau harus pindah ke kelompok lain.
Sepasang sepatu mampu menggambarkan bagaimana status sosial seseorang. Sepasang sepatu juga mampu mengangkat atau menjatuhkan harkat, martabat, dan derajat manusia. Sepatu bermerek akan dipandang sebagai citra diri tersendiri (ekslusif) dan cenderung istimewa. Begitu juga sebaliknya. Sepasang sepatu mampu beralih fungsi tidak hanya sebagai benda pakai, tetapi mempunyai bahasa tubuh tersendiri yang memiliki intrik. Selain sebagai produk historis, sepasang sepatu juga menjadi alat ukur kepuasaan sosial seseorang.
Sebagai contoh, tokoh Suhas dalam film 3 Idiots, kerap menampilkan siapa dia melalui apa-apa yang tengah ia gunakan, tidak hanya sepatu, tetapi juga jam tangan serta pakaian. Cerita Cinderella yang melegenda pun, dengan sepatu kaca menampilkan sosok putri atau perempuan sempurna dalam hal kecantikan dan keanggunan. Tak heran, berbondong-bondonglah para perempuan memakai sepatu serupa dengan sepatu Cinderella. Begitu kuat daya magis dari perubahan fungsi sepasang sepatu.
Selain itu, sepasang sepatu dalam konsep analisis wacana kritis, juga memiliki teks dan konteks. Hal ini tergambar pada peristiwa pelemparan sepatu oleh Muntadar al-Zeidi kepada Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, pada 2008 silam. Sepatu yang dilemparkan tersebut dihargai sekitar US$ 20 juta. Dukungan terhadap al-Zeidi pun muncul hampir di seluruh wilayah Arab. Walaupun ia sempat dibui, namun dukungan dan simpatisan yang menganggap ia sebagai pahlawan semakin banyak. Bahkan ada yang berniat menjadikannya sebagai menantu.
Pada peristiwa itu, sepatu tak lagi menjadi benda pakai yang digunakan di kaki, tetapi sebagai simbol perlawanan dan pemberontakan terhadap kekuasaan rongrongan bangsa Amerika Serikat. Ekspresi kekesalan dan kemarahan al-Zeidi melalui sepatu, menjadikan sepatu tersebut memiliki nilai jual tinggi, menjadi model untuk memproduksi sepatu serupa, dan digemari orang-orang. Ada kandungan teks, konteks, nasionalisme, dan perlawanan budaya terhadap kekejaman Amerika Serikat pada kasus pelemparan sepatu tersebut.
Perubahan fungsi sepatu tidak terlepas dari kepentingan produsen. Mitos iklan, yang penuh daya tarik dan pesona, mampu menyulap pemikiran manusia akan pentingnya citra diri dan menafikan fungsi utama sepasang sepatu. Akan banyak lahir mitos-mitos yang mempengaruhi dan mengatur pola pikir dalam menjelaskan siapa seseorang dan bagaimana karakternya melalui benda-benda yang diiklankan. Susunan kata-kata dalam bahasa iklan, langsung atawa tidak langsung dan sadar atau tidak sadar, pelan-pelan membuat orang-orang mengkultuskan mitos tersebut dan menjadikan diri sebagai korban secara sukarela.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...