Skip to main content

Jurnalistik Mahasiswa pun Perlu Kompetisi

Kunjungan perdana Studi Media dan Budaya Surat Kabar Kampus (SKK) Ganto di Jakarta sekitar sebulan lalu, 8 hingga 20 Agustus, pada surat kabar nasional Media Indonesia (MI). Salah satu media harian dari sekian banyak media yang berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat Indonesia ini, tak segan-segan memberikan pendapat, berbagi ilmu seputar dunia jurnaistik serta evaluasi terhadap SKK Ganto. Bertamu sekaligus belajar pada media nasional yang lebih profesional dari media kampus kami, kira-kira demikian kalimat yang cocok untuk menggambarkannya.
Lain MI lain pula Ganto. Jika pada keredaksian MI terdapat sesuatu yang menjadi ciri khas media ini, Ganto pun demikian. Perbedaan kontras dalam pemberitaan dan laporan antarmedia ini tidak begitu jauh. Walau pangsa pasarnya berbeda namun hakikat dan kode etik pun selalu dijalankan.
Bincang-bincang dengan kepala divisi pemberitaan MI, Ade Alwi, memaparkan seputar pemberitaan mulai dari ide yang diusung, hipotesa pra turun ke lapangan, editing, hingga pada masa layout, dini hari di percetakaan dan seterusnya pada sirkulasi produk MI ke ibukota serta daerah-daerah lainnya di tanah air. Khusus dalam sebuah berita baik yang soft news maupun hard news, tetap saja MI membingkai beritanya dengan sebuah frame. Pembingkaian berita di MI bertujuan agar berita tidak mencar ke mana-mana. Sudut pandang yang akan diambil pun lebih jelas hingga tidak menimbulkan kekacauan kacau tak menentu. Selain itu frame ini sangat efektif untuk mengkronologiskan sebuah peristiwa sesuai alurnya hingga mencapai sebuah titik yang telah ditentukan. Tidak hanya keindahan dan kejelasan yang akan diperoleh dari kegiatan ini, add value tersendiri akan segera dituai.
Pembahasan 15 menit tersebut masih seputar bingkai yang dipakai MI agar menjadikannya sebagai media pencetak informasi selain terbaru dan menarik serta credible (dipercaya pembaca) dengan pemberitaannya. Selang beberapa waktu, diskusi beranjak pada bentuk berita dan laporan yang ditawarkan. Tak pelak persaingan antarmedia semakin kuat dan keras. Masing-masing media pun harus berpikir keras menghadapi hal ini. Salah satu tantangannya ialah kecepatan dalam pemberitaan. MI melengkapi kebutuhan ini pun dengan telah mencoba menyatukan diri dengan dunia maya. Pemberitaan secara online tak bisa dielakkan. Harus dimiliki, demi sebuah kompetisi antarsesama.
Jika frame yang dipakai MI, mampu menjadikannya sebagai media yang kapabilitas di bidangnya, kenapa Ganto tidak pula untuk mencoba, demikian pikiranku saat itu. Ganto sebagai surat kabar kampus, media alternatif bagi civitas akademika UNP, tidak salah merombak diri, jika itu lebih baik, lebih variatif, dan lebih memasyarakat.
Pemberitaan MI pun juga dilengkapi dengan sistem online. Memang sudah sepantasnya setiap media memiliki hal ini. “Bagaimana pun juga, jika tidak ingin ketinggalan yah harus memakai sistem ini,” Jelas Ade Alwi selaku Kepala Divisi Pemberitaan. Untuk bentuk penyampaian informasi ini, Ganto pun telah memanfaatkan media online untuk keredaksiannya, berita. Namun belum menampilkan video sebagai penambah kemenarikan sebuah berita. Karena dengan adanya video di tampilan web Ganto sebagai penunjang informasi akan semakin bagus. Dengan video, penyampaian informasi kepada pembaca akan semakin banyak.
Ganto sebagai media dan atau bacaan bagi mahasiswa dan civitas akademika di kampus, jika mampu memanfaatkan sarana dan fasilitas yang ada akan membuat Ganto semakin besar dan lebih banyak dibaca orang. Labih dalam lagi, Ganto bisa menyaingi media local dengan cara dan cirinya sendiri, mahasiswa.
Sebagai mahasiswa, dengan ini Ganto dibangun, seharusnya bukanlah menjadi kendala jika dalam penyampaian berita akan lebih mampu menganalisa, bermain dengan riset, serta sangat mendukung dalam segi informasi yang lebih terbaru. Bergulat dengan jurnalisme sastrawi dan investigasi, bagi sebuah pers mahasiswa seperti Ganto, dirasa akan mampu. Belajar dari awal semenjak berada di Ganto merupakan sebuah modal untuk mengasah keterampilan menulis. Tidak hanya dalam menulis, mengasah kepekaan pun tidak kalah pentingnya. Namun, bagaimana caranya serta metode yang tepat dan sesuai dengan kondisi Ganto sendiri sangat perlu dipertimbangkan.
Selain itu, untuk di bidang riset, kalau di Ganto, namanya Penelitian dan Pengembangan, sebuah divisi yang bergulat dengan kemajuan dan serta selalu bermain dengan data, sampel, untuk menguatkan laporan. Pendapat dan keinginan pembaca kadang susah ditebak. Untuk itu sebagai media yang menomorsatukan data, fakta, dan logika, Ganto pun sudah seharusnya ‘membuka’ diri untuk siap dikritisi dan diberi saran dari pihak lain. Untuk itu, penelitian kecil-kecilan, riset serta bagaimana metode yang digunakan untuk menganalisa data tersebut memang harus sudah dimulai. Hal ini sangat berpengaruh bagi mahasiswa dan harian lokal setempat.
Media Indonesia (MI) memiliki bingkai/freame dalam setiap berita yang akan diturunkan. Frame ini sama dengan sudut pandang yang dipakai akan kemana berita diarahkan agar jelas duduk peristiwa serta solusi (jika ada) yang akan ditawarkan. Selalu hidupkan budaya ilmiah, baca, tulis di setiap kegiatan. Biasakan berhipotesa dengan isu dan peristwa hangat, agar banyak ide dan angel yang bisa diambil dalam menentukan dan menyelesaikan berita atau laporan.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...