Skip to main content

Belajar Kepemimpinan dari Cina


Judul : The Little Red Book
Leadership Secrects of Mao Tse-Tung
Penerjemah : A. Rachmatullah
Penerbit : ONCOR Semesta Ilmu
Tebal : x + 230 halaman
Cetakan : Pertama, 2010
Harga : Rp 40.000,-
Resensiator : Adek Risma Dedees, Mahasiswa Sastra Indonesia UNP



“Kita harus memberi pemahaman kepada rakyat bahwa negara kita ini masih miskin, dan kita tidak dapat merubah keadaan dalam waktu singkat; perubahan hanya mungkin terjadi jika generasi muda bersatu dengan rakyat, bekerja keras; hanya dengan cara demikian Cina akan menjadi kuat dan makmur dalam beberapa dekade ini. Penerapan sistem sosialisme kini telah membuka jalan kita menuju masyarakat yang ideal pada masa depan, namun untuk mewujudkannya dibutuhkan kerja keras.” On the Correct Handling of Contradictions Among the People (27 Februari 1957).
Kalimat di atas salah satu quotation dari Mao Tse-Tung dalam menyemangati anak-anak muda Cina untuk bangkit dari kemiskinan dan ketertinggalan dari bangsa lain. Calaan-celaan yang dihujamkan pemerintah Sovyet kepada Cina waktu itu, menyebabkan Mao begitu gigih menjalankan misinya, membangkitkan, memajukan, serta membuat Cina disegani negara-negara lain di dunia. Walhasil, Cina pun tampil sebagai sebuah raksasa yang baru bangun dari tidurnya dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat merambah hampir ke penjuru dunia, termasuk Indonesia saat ini.
Dewasa ini, Cina tidak lagi menjadi negeri ‘di balik tirai’ yang dikelilingi tembok tinggi yang angkuh. Kini, Cina yang komunis itu sudah membuka gerbangnya lebar-lebar dan menjadi negara sosialis kapitalis. Memang, julukan itulah yang tepat disandang negara Tiongkok itu sekarang. Cina tidak lagi menjadi kawasan tertutup bagi investasi dari luar. Justru kini, dunia sedang berlomba-lomba menancapkan paku bumi investasinya di negeri Cina itu. Tidak sedikit orang-orang Cina menjadi konglomerat baik di tanah leluhurnya maupun di tempat lain.
Perkembangan ini tidak terlepas dari peran pahlawan Cina, Mao Tse-Tung yang memproklamasikan Cina pada 1 Oktober 1949 lalu. Mao sendiri sebenarnya bukanlah seorang filsuf yang orisinil. Gagasan-gagasannya banyak dipengaruhi dan didasarkan dari bapak-bapak sosialisme lainnya seperti Karl Marx, Lenin, serta Stalin. Tetapi ia banyak berpikir tentang materialisme dialektika yang menjadi dasar sosialisme dan penerapan gagasan-gagasan ini dalam praktiknya. Namun, Mao menjalankan semua prinsip yang ia dapati secara orisinil pada Cina waktu itu. Mao bisa pula dikatakan seorang filsuf Cina yang pengaruhnya paling besar pada abad ke 20.
Konsep falsafah Mao yang terpenting adalah konflik. Menurutnya konflik bersifat semesta dan absolut, hal ini ada dalam proses perkembangan semua barang dan merasuki semua proses dari awal hingga akhir. Model sejarah Karl Marx juga berdasarkan prinsip konflik: kelas yang menindas dan kelas yang tertindas, kapital dan pekerjaan berada dalam sebuah konflik kelas. Pada suatu saat hal ini akan menjurus pada sebuah krisis dan kaum pekerja akan menang. Semua proses akhirnya, menurut Mao, akan membawa kita kepada sebuah keseimbangan yang stabil dan harmonis. Mao jadi berpendapat bahwa semua konflik bersifat semesta dan absolut, jadi dengan kata lain bersifat abadi. Konsep konflik Mao ini ada kemiripannya dengan konsep falsafah Yin-Yang di Cina.
The Little Red Book atau Buku Merah ini memaparkan nilai-nilai dasar kepemimpinan politik Mao selama memimpin Cina. Selama Revolusi Kebudayaan, para pelajar dan buruh wajib memiliki ini dan mempelajarinya. Buku ini disusun secara tematis dalam 33 bab, yang berisi nilai-nilai dasar kepemimpinan politik Mao. Bab-bab dengan halaman-halamannya membicarakan beragam persoalan kepemimpinan Mao. Mulai dari Partai Komunis Cina, Pertentangan Kelas, Perang dan Perdamaian, Kerja Politik, Pejabat dan Rakyat, Demokrasi dalam Tiga Lapangan Utama, Heroisme Revolusioner, Kader, Masa Muda, Wanita, hingga Kebudayaan dan Kesenian. Buku ini layak dibaca untuk seseorang yang menginginkan revolusi, paling tidak ‘revolusi’ bagi diri sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...