Skip to main content

Pemilu Mahasiswa

Seiring waktu, kepengurusan sebuah organisasi harus diakhiri dan digantikan oleh orang-orang baru dan tentunya berbeda. Bagi yang harus hengkang atau meninggalkan, tentu akan lebih baik tidak meninggalkan ‘pekerjaan-pekerjaan rumah’ yang memusingkan. Pasalnya, tidak sedikit organisasi mahasiswa atau ormawa, ketika tak menjabat lagi, beribu masalah dan kendala diwariskan.
Sedangkan bagi yang akan duduk pada kursi baru yang sebelumnya belum pernah diduduki, jangan pula terlalu hanyut dan terbuai ke awan-awan hingga lupa akan kewajiban dan tanggung jawab. Bukankah jika posisi seseorang semakin tinggi, tuntutan tanggung jawab dan kewajiban semakin tinggi atau besar pula? Demikian setidaknya pesan yang disampaikan penulis kepada mahasiswa sebelum beringsut dari tahta dan akan segera bertahta dalam tataran organisasi mahasiswa di kampus.
Dunia mahasiswa adalah miniatur dari bentuk sebuah negara. Kita hidup di Republik Indonesia (RI) dengan seorang presiden sebagai kepala negara. Sebuah kampus juga demikian. Pemilihan presiden juga ditentukan dengan sebuah pesta rakyat dalam memilih, namanya pemilu mahasiswa. Memilih kepala negara atau presiden baru yang tentunya lebih peduli, lebih mengayomi, dan lebih baik dari yang sudah-sudah. Jika tidak terpenuhi, percuma saja pesta dan memilih.
Pemilu mahasiswa juga tidak jauh berbeda cara dan mekanisme pelaksanaannya di kampus. Pemilu mahasiswa di dunia kampus, diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM). MPM merupakan lembaga tertinggi di dunia kampus, sekaligus lembaga legislatif. Sebagai legislasi tugas lembaga ini juga berkutat dengan Petunjuk Pelaksana (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) pelaksanaan suatu program kerja dan kegiatan lainnya bagi seluruh ormawa kampus.
Juklak dan Juknis tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang Mahasiswa. Kalau pada negara RI sama dengan Undang-Undang Dasar ’45. Pelaksanaan pemilu pun harus dan tidak boleh melanggar ketetapan dan aturan yang telah tercantum serta ditetapkan dalam Juklak dan Juknis. Jika terjadi pelanggaran, siap-siap dengan sanksi tegas yang sudah menunggu.
Pemilu mahasiswa dimulai dengan pencalonan diri presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) kepada Panitia Pemilihan Umum (PPU). PPU ini adalah produk MPM yang terkhusus menangani dan menyelenggarakan pemilihan umum saja. Pemilu selesai, PPU pun akan segera dibubarkan. Panitia ini beranggotakan utusan masing-masing fakultas yang ada di universitas.
Setelah capres dan cawapres mencalonkan diri serta mengembalikan formulir pendaftaran kepada PPU. Tahap selanjutnya ialah tahap verifikasi, tahap pemeriksaan kebenaran syarat-syarat yang telah diajukan PPU kepada setiap bakal calon (balon). Biasanya syarat-syarat ini berkaitan erat dengan akademis, seperti Indeks Prestasi (IP), terdaftar sebagai mahasiswa atau kartu mahasiswa, dan lainnya. Jika ingin lolos tahap ini, satu pun persyaratan harus dipenuhi dan tentunya tidak boleh terlambat mengembalikan formulir, jika tak ingin hanya bermimpi jadi presiden mahasiswa.
Tahap yang paling menarik, bagi capres dan cawapres serta semua mahasiswa, adalah tahap kampanye. Baik itu kampanye berupa penyebaran pamflet maupun kampanye dialogis, debat calon dan mahasiswa. Mengasyikkan sekaligus menegangkan. Di tahap inilah mahasiswa, calon pemilih, menilai layak dan tidak layaknya sang calon diluluskan menjadi kepala negara.
Salah satu dari sekian hal yang dinilai calon pemilih ialah visi dan misi capres dan cawapres. Melalui visi dan misi inilah mahasiswa lain bisa melihat apakah calon yang akan menjadi kepala negara itu serius, sungguh-sungguh, dan berkomitmen meminpin untuk masa depan lebih baik. Atau justru sebaliknya, melalui visi dan misi ini calon tersebut hanya sekedar mencari sensasi, ketenaran, dan bentuk kemarukan atas kedudukan dan posisi yang baginya adalah lahan gembur untuk dieksploitasi. Ingat, dunia mahasiswa adalah replika bentuk negara sebenarnya, termasuk Indonesia, ada yang berjiwa luhur dan ada juga yang berhati busuk.
Tahap selanjutnya adalah pesta akbar mahasiswa, kebetulan pemilu presiden mahasiswa diselenggarakan setiap kepengurusan, sekali setahun, tidak lima tahun sekali seperti negara kita Indonesia. Tahap ini juga tak kalah menarik dan menegangkan. Jika pada pemilihan presiden 2009 lalu terjadi kecurangan-kecurangan di berbagai wilayah di Indonesia, pemilu presiden kampus pun juga demikian. Kecurangan dari tim sukses dan oknum yang tidak bertanggung jawab juga mewarnai pesta demokrasi kampus. Jika ketahuan, sanksi akan berjalan dan lebih parahnya tentu sanksi moral sesama mahasiswa.
Tidak hanya kecurangan, apakah itu penggandaan suara dan lainnya, yang tidak ikut memilih juga tidak sedikit, abstain bahasa pemilunya. Beragam alasan mahasiswa tidak menyalurkan hak pilih. Dalam dunia demokrasi, sebenarnya itu tidak bijaksana dan kurang terpuji. Namun jika kekecewaan atas pemimpin masa lalu sebagai penyebab, tentu dapat dipertimbangkan dan ditoleransi.
Tahap terakhir, adalah tahap puncak, klimaks sekaligus tidak menutup kemungkinan menimbulkan konflik. Semisalnya, calon A tak terima calon B menang, karena calon B curang dalam memberikan hak suara. Adu otot tak terelakkan. Hal ini bisa saja terjadi. Dan kembali penulis mengingatkan dunia kampus dan dunia sebenarnya adalah dua mata yang saling merefleksikan satu dengan lainnya, termasuk Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...