Pesta demokrasi lima tahunan tahap pertama bangsa ini baru saja selesai. Mengapa tahap pertama? Karena masih ada tahap berikutnya, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden pada 20 Juli mendatang. Kemudian, mungkin, disusul lagi putaran kedua pemilihan yang sama pada bulan September 2004 lalu, jika tidak ada calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bisa memenangkan 50 persen pada putaran pertama. Sangat melelahkan, tetapi itulah konsekuensi pesta penghamburan uang rakyat yang harus dilewati.
Hasil dari pemilu legislatif tahap awal ini pun sebenarnya sudah bisa dilihat dari hasil penghitungan suara dari Quik Count (penghitungan cepat) dan penghitungan suara di pusat tabulasi suara tingkat nasional. Dari awal sebenarnya sudah bisa diprediksi kalau partai yang akan menjadi pemenang adalah partai yang mempunyai dana kampanye yang berlebih. Dana yang bisa menghipnotis rakyat dengan iklan di media massa, membeli suara, melakukan serangan fajar, memanipulasi penghitungan suara, atau bahkan menyewa preman untuk menteror rakyat untuk memilih partainya. Akan lebih menyedihkan lagi ketika terdeteksi ada lurah dipaksa harus menandatangani kontrak politik untuk memenangkan salah satu partai.
Berhasilkah kita mendemokratisasikan lembaga-lembaga politik dan semua komponen pendukung demokrasi lainnya? Kalau diukur dari stabilitas, maka pesta ini bisa dikatakan cukup berhasil, karena realitas di lapangan menunjukkan kalau semua tempat pemungutan suara (TPS) berlangsung dengan tenang dan damai. Namun jika kita melihat esensi demokrasi yang salah satunya bisa diukur dari tingkat partisipasi politik rakyat memberikan hak suaranya, maka pesta yang telah banyak menghamburkan duit ini penuh dengan kemunafikan. Pemilu (pemilihan umum) yang selalu disimbolisasikan sebagai pesta demokrasi ini tidak lebih dari sekedar upaya elit politik untuk melegitimasi pembohongan politik kolektif. Sampai keluar ‘hukum’ golput (golongan putih/golongan yang tidak memilih salah satu partai) itu haram, hakikatnya adalah kembali kepada kepentingan kelompok untuk sebuah kursi.
Indikatornya bisa dilihat dari berbagai hal, antara lain; pertama, hampir semua partai politik besar selama kempanye hanya mampu memobilisasi massa dengan cara-cara yang tidak elegan (money politic). Kedua, jutaan pemilih produktif akhirnya tidak bisa memilih karena tidak memiliki kartu C4 (undangan sebagai pemilih sah), sementara ada orang yang telah meninggal dan belum cukup umur justru memilikinya. Ketiga, sistem komputerisasi yang seharga miliaran rupiah itu dengan mudah bisa dimainkan oleh mafia penghitungan suara (hacker) yang tentunya dikomandoi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan di situ. Keempat, adanya ribuan bahkan mungkin jutaan surat suara yang tertukar dan rentan untuk dimanipulasi suara pemilih. Kelima, adanya pemilu susulan dibeberapa daerah yang merupakan sebagai titik rawan memanipulasi suara pemilih.
Dengan melihat indikator di atas, maka tidak heran jika pesta yang diagung-agungkan ini merupakan pesta ‘kemunafikan’ yang begitu dinikmati oleh para elit politik. Politik memang kotor, tapi bukan berarti kita harus membuang kotoran di pinggir jalan. Politik memang tidak ada yang jujur, tapi tidak perlu mengeksploitasi ketidakjujuran itu di depan rakyat yang tidak semuanya bisa dikibulin. Politik memang identik dengan kebohongan, tetapi di sinilah dituntut kelihaian politikus bagaimana bisa berbohong tanpa merasa rakyat bisa dibohongi. Artinya kalau menjanjikan rakyat sembilan, jangan hanya memberikan satu atau dua, tapi berilah enam atau tujuh. Dengan demikian rakyat tidak merasa dibohongi.
Inilah resikonya ketika hampir semua orang yang terlibat dalam proses pemilu, tidak konsen menjadikan pemilu sebagai pesta demokrasi untuk melahirkan pemimpin bangsa yang berkualitas. Tapi justru menganggap pemilu sebagai ‘proyek raksasa’ untuk berlomba-lomba mendapatkan keuntungan. Tidak ada jaminan kalau semua yang terlibat sabagai pelaksana pemilu tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan mendapatkan keuntungan finansial.
Karena pemilu dianggap sebagai proyek raksasa, maka hasilnya pun tidak lepas dari proses tawar menawar. Dalam tender proyek, siapa yang paling tinggi penawarannya, maka dialah yang menjadi pemenang. Begitulah yang terjadi dalam setiap pemilu, tidak hanya pada 2004 lalu namun juga 2009 ini. Parpol (partai politik) yang memiliki banyak uang, maka parpol itulah yang berpeluang besar memenangkan tender politik. Apalagi sejarah politik dunia telah membuktikan kalau politik bisa dibeli dengan uang. Jika tak percaya, tanyalah pada dedengkot demokrasi yang ‘lengsernya’ disertai lemparan sepatu, George Walker Bush, dengan menyuntikkan dana tambahan 182 juta dollar AS untuk kembali ‘bersemedi’ di Gedung Putih yang kedua kalinya dengan menghalalkan segala macam cara.
Hasil dari pemilu legislatif tahap awal ini pun sebenarnya sudah bisa dilihat dari hasil penghitungan suara dari Quik Count (penghitungan cepat) dan penghitungan suara di pusat tabulasi suara tingkat nasional. Dari awal sebenarnya sudah bisa diprediksi kalau partai yang akan menjadi pemenang adalah partai yang mempunyai dana kampanye yang berlebih. Dana yang bisa menghipnotis rakyat dengan iklan di media massa, membeli suara, melakukan serangan fajar, memanipulasi penghitungan suara, atau bahkan menyewa preman untuk menteror rakyat untuk memilih partainya. Akan lebih menyedihkan lagi ketika terdeteksi ada lurah dipaksa harus menandatangani kontrak politik untuk memenangkan salah satu partai.
Berhasilkah kita mendemokratisasikan lembaga-lembaga politik dan semua komponen pendukung demokrasi lainnya? Kalau diukur dari stabilitas, maka pesta ini bisa dikatakan cukup berhasil, karena realitas di lapangan menunjukkan kalau semua tempat pemungutan suara (TPS) berlangsung dengan tenang dan damai. Namun jika kita melihat esensi demokrasi yang salah satunya bisa diukur dari tingkat partisipasi politik rakyat memberikan hak suaranya, maka pesta yang telah banyak menghamburkan duit ini penuh dengan kemunafikan. Pemilu (pemilihan umum) yang selalu disimbolisasikan sebagai pesta demokrasi ini tidak lebih dari sekedar upaya elit politik untuk melegitimasi pembohongan politik kolektif. Sampai keluar ‘hukum’ golput (golongan putih/golongan yang tidak memilih salah satu partai) itu haram, hakikatnya adalah kembali kepada kepentingan kelompok untuk sebuah kursi.
Indikatornya bisa dilihat dari berbagai hal, antara lain; pertama, hampir semua partai politik besar selama kempanye hanya mampu memobilisasi massa dengan cara-cara yang tidak elegan (money politic). Kedua, jutaan pemilih produktif akhirnya tidak bisa memilih karena tidak memiliki kartu C4 (undangan sebagai pemilih sah), sementara ada orang yang telah meninggal dan belum cukup umur justru memilikinya. Ketiga, sistem komputerisasi yang seharga miliaran rupiah itu dengan mudah bisa dimainkan oleh mafia penghitungan suara (hacker) yang tentunya dikomandoi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan di situ. Keempat, adanya ribuan bahkan mungkin jutaan surat suara yang tertukar dan rentan untuk dimanipulasi suara pemilih. Kelima, adanya pemilu susulan dibeberapa daerah yang merupakan sebagai titik rawan memanipulasi suara pemilih.
Dengan melihat indikator di atas, maka tidak heran jika pesta yang diagung-agungkan ini merupakan pesta ‘kemunafikan’ yang begitu dinikmati oleh para elit politik. Politik memang kotor, tapi bukan berarti kita harus membuang kotoran di pinggir jalan. Politik memang tidak ada yang jujur, tapi tidak perlu mengeksploitasi ketidakjujuran itu di depan rakyat yang tidak semuanya bisa dikibulin. Politik memang identik dengan kebohongan, tetapi di sinilah dituntut kelihaian politikus bagaimana bisa berbohong tanpa merasa rakyat bisa dibohongi. Artinya kalau menjanjikan rakyat sembilan, jangan hanya memberikan satu atau dua, tapi berilah enam atau tujuh. Dengan demikian rakyat tidak merasa dibohongi.
Inilah resikonya ketika hampir semua orang yang terlibat dalam proses pemilu, tidak konsen menjadikan pemilu sebagai pesta demokrasi untuk melahirkan pemimpin bangsa yang berkualitas. Tapi justru menganggap pemilu sebagai ‘proyek raksasa’ untuk berlomba-lomba mendapatkan keuntungan. Tidak ada jaminan kalau semua yang terlibat sabagai pelaksana pemilu tidak memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan mendapatkan keuntungan finansial.
Karena pemilu dianggap sebagai proyek raksasa, maka hasilnya pun tidak lepas dari proses tawar menawar. Dalam tender proyek, siapa yang paling tinggi penawarannya, maka dialah yang menjadi pemenang. Begitulah yang terjadi dalam setiap pemilu, tidak hanya pada 2004 lalu namun juga 2009 ini. Parpol (partai politik) yang memiliki banyak uang, maka parpol itulah yang berpeluang besar memenangkan tender politik. Apalagi sejarah politik dunia telah membuktikan kalau politik bisa dibeli dengan uang. Jika tak percaya, tanyalah pada dedengkot demokrasi yang ‘lengsernya’ disertai lemparan sepatu, George Walker Bush, dengan menyuntikkan dana tambahan 182 juta dollar AS untuk kembali ‘bersemedi’ di Gedung Putih yang kedua kalinya dengan menghalalkan segala macam cara.
Comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar ^_^