Skip to main content

Lupa Sejarah Lupa Nasionalisme


Resensi buku

Judul : Membaca Sejarah Nusantara
25 Kolom Sejarah Gus Dur
Pengarang : Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Cetakan : I, Januari 2010




Gus Dur juga menulis tentang sejarah. Alasannya, sejarah tak lepas dari kontroversi. Apalagi kisah atau cerita yang sudah lama berlalu, begitu terbuka untuk dikritisi dari berbagai sudut yang memang tak bisa dihindari. Bak dirinya yang selalu menuai kritikan karena sikap, perkataan, komentar, dan perkiraan –yang kadang- tidak wajar bagi kebanyakan kalangan Indonesia. Dengan alasan inilah Gus Dur melahirkan tulisan-tulisan yang memuat kajian sejarah, walau tak begitu panjang hanya dalam bentuk tulisan kolom.
Sejarah masa lalu dalam kaca matanya yang jeli, kritis, unik, dan nekat, sehingga seperti biasa, kemungkinan orang akan terkaget-kaget atau setidaknya tergelitik membaca tafsir dan spekulasi yang ia lontarkan tentang sejarah. Sesuatu yang selama ini mungkin sudah umum dipercayai sebagai ‘kebenaran sejarah’, tiba-tiba digoyangnya sedemikian rupa sehingga mau tidak mau orang pun tergelitik untuk melakukan peninjauan ulang.
Kisah sejarah yang dirunutkan Gus Dur dalam buku ini beragam. Ada yang berkisah tentang agama; Islam, Hindu, Budha, ada pula tentang kerajaan, agama yang belum ‘diridhoi’ pemerintah, multikultural, pluralisme, dan tentu tak ketinggalan dengan Nahdatul Ulama (NU). Semua kisah yang dituliskannya, sedikit banyak membawa pembaca pada sebuah titik ‘berbeda’. Berbeda secara fakta sejarah, pandangan pembaca, hingga terpengaruh terhadap pandangan Gus Dur, yang kadang membingungkan.
Dalam 25 kolom sejarahnya ini, Gus Dur berbicara, walau banyak kajian, namun titik pandangnya adalah nasionalisme. Ia memaparkan bagaimana sejarah bangsa besar ini diisi dengan kerajaan, raja dan ratu, istana, agama, budaya, keanekaragaman, dan seterusnya, dalam konsep nasionalisme yang pada masa itu bukan untuk memperebutkan kekuasaan, namun menciptakan suasana yang demokratis. Konsep yang dipaparkan begitu arif dan luhur.
Akan tetapi masa sekarang, nasionalisme dijadikan dasar untuk memperebutkan dan memperoleh kekuasaan. Demokratisasi tak lagi tujuan bersama. Demokrasi di depan mata yang tamak kekuasaan sudah tak bergigi lagi, walau kata demokrasi selalu mengembel-embeli orasi mereka di depan publik.
Gus Dur mengkritik dan tak menyepakati konsep macam ini. Ia sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir dan bertindak yang tidak melanggar hukum. Ia tampakkan nasionalismenya pada bangsa ini dengan berbagai cara, salah satunya dengan menjadi presiden Republik Indonesia. Walau hal itu tak happy ending. Setidaknya ia telah mencoba dan ingin merubah pemikiran bangsa ini dari mengingatkan kembali nasionalisme hingga mewujudkan kehidupan yang demokrasi.
Pada dasarnya kolom-kolom ini ditulis Gus Dur setelah ia lengser dari kursi kepresidenan. Dalam kurun waktu September 2001 hingga Maret 2002, puluhan artikel telah ia lahirkan, dalam berbagai tema dan telah dipublikasikan. Bahasanya cukup ringan dan mudah dipahami walau kajiannya sebenarnya berat. Ini nilai plus dari buku tersebut. Di sisi lain, ukuran bukunya tak memenuhi tas anda hingga tak begitu ribet untuk membawanya kemana-mana; kampus, jalan-jalan, atau bahkan ke kamar mandi.

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...