Skip to main content

Balada Berbalas Pantun

Pantun merupakan salah satu produk kebudayaan Melayu. Sebenarnya tidak hanya pantun, masih banyak lagi produk kebudayaan dari Melayu, seperti; Sejarah Melayu yang mengungkapkan silsilah raja-raja Melayu, Gurindam Dua Belas, Serampang Dua Belas dengan gerak gemulai yang meliuk dinamis, dan tidak ketinggalan pantun yang unik, sederhana, dan penuh misteri.
Dari sekian banyak produk Melayu, pantun mampu mewakili ikon kebudayaan tersebut. Hal ini dikarenakan berbagai faktor pendukung, pertama, pantun dinilai lebih kaya dan memukau dibanding produk Melayu lainnya, karena memang lahir dan berkembang jauh lebih dulu dari produk kebudayaan Melayu lainnya. Pantun sejak lama telah menjadi objek kajian para peneliti dari mancanegara yakni sekitar tahun 1688 lalu (Maman, 2005).
Kedua, dibandingkan dengan jenis kesenian lain yang lahir di alam Melayu, pantun relatif tidak terikat oleh batasa usia, jenis kelamin, dan stratifikasi sosial, dan hubungan darah. Di sana ada pantun anak-anak, ada pula pantun remaja, pantun dewasa, dan pantun orang tua-tua yang secara langsung terpecah pula kepada ketegori-kategori tertentu, seperti pantun usik-mengusik, pantun jenaka, pantun pengajaran, pantun pendidikan dan pantun dengan kategori lainnya.
Ketiga, pantun dapat digunakan oleh siapa saja, di sembarang tempat, dalam berbagai suasana, atau dalam kegiatan apapun. Ketika sedih dan gembira orang bisa memainkan pantun. Seorang pejabat negara dalam pidato resminya juga boleh menyelipkan pantun. Seorang khatib dalam kotbah keagamaannya, elok pula jika memasukkan pantun di antara fatwa atau ceramah yang disampaikannya. Demikian pula dengan upacara perkawinan, yang sangat akrab dengan berbalas pantun termasuk untuk masyarakat Minangkabau.
Dengan begitu, pantun telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu. Pantun telah menyelusup dan masuk ke berbagai aspek kegiatan kehidupan masyarakat Melayu. Ia boleh berada di mana saja, kapan saja, dan dapat dibawakan oleh siapa saja, tanpa khawatir melanggar tabu. Sehingga A. Teeuw pun menyatakan ‘pantun telah menjadi alat komunikasi yang lebih luas, di peringkat massa’.
Pertanyaannya mengapa masyarakat Melayu begitu dekat dengan pantun? Sebagai salah satu bentuk kesenian yang lahir dari naluri budaya masyarakat Melayu, pantun sangat mungkin sudah ada jauh sebelum Islam masuk. Walau begitu pantun relatif dapat bertahan meskipun pemakaiannya lebih banyak memanfaatkan pantun-pantun lama atau sengaja dibuat untuk lirik lagu-lagu pop ataupun dikemas untuk menciptakan idiom atau ungkapan-ungkapan baru.
Berdasarkan hal tersebut, niscaya pantun memiliki ada sesuatu yang luar biasa dalam pantun. Dalam hal ini pantun tidak hanya sebatas berurusan dengan kesamaan bunyi a-b-a-b atau hanya berkaitan dengan masalah sampiran dan isi yang telah begitu banyak diperbincangkan para peneliti, tetapi juga ada masalah yang lebih radikal dan filosofis yang mendasarinya. Penjelasan yang sangta berkaitan dengan alam pikiran masyarakat Melayu.
Di ranah Minang-yang juga satu rumpun dengan masyarakat Melayu- pantun juga menjadi komunikasi lisan yang tak habisnya. Dalam berbagai situasi pun masyarakat Minang mamakai pantun untuk mengungkapkan sesuatu. Itu dulu, namun sekarang telah berubah. Sekarang pengguna pantun semakin sedikit, dan budaya ini pun sudah jarang ditemukan dalam kehidupan sosial langsung di ranah Minang.
Walau demikian, tidak seutuhnya budaya berbalas pantun mati suri di ranah Minang. Jikalau diperhatikan, beberapa siaran radio di Kota Padang, hampir semuanya memuat acara berbalas pantun. Biasanya si penyiar mengundang pendengar dengan memanfaatkan komunikasi telepon rumah atau handphone untuk menjalankan program ini. Antara penyiar dan pendengar biasanya sama-sama mahir memainkan pantun. Pantun apa saja boleh dimainkan dalam program tersebut, apakah itu pantun jenaka, balada kehidupan, ataupun pantun sindiran untuk pejabat.
Fenomena ini bisa dijadikan tolak ukur betapa kuatnya pengaruh pantun dalam kehidupan masyarakat Melayu. Pantun bahkan menjadi ciri khas, karakter, watak, dan jiwa masyarakat Melayu. Kelestariannya juga perlu diperhatikan. Program berbalas pantun di radio memang dominan diikuti oleh generasi tua yang sudah berumur setengah abad lebih. Ini menjadi sebuah PR (pekerjaan rumah), dari sekian banyak PR, bagi masyarakat Melayu tentunya juga masyarakat Minang untuk melestarikan pantun dan mewariskannya ke generasi selanjutnya. Anak muda Minang ayo belajar berbalas pantun!

Comments

Popular posts from this blog

Jakarta Undercover, Seksualitas Membabi Buta Orang-orang Ibu Kota Negara

Judul : Jakarta Undercover 3 Jilid (Sex 'n the city, Karnaval Malam, Forbidden City) Pengarang : Moammar Emka Penerbit : GagasMedia Tebal : 488/394/382 halaman Cetakan : 2005/2003/2006 Harga : Mohon konfirmasi ke penerbit Resensiator : Adek Risma Dedees, penikmat buku Jakarta Undercover, buku yang membuat geger Tanah Air beberapa tahun silam, pantas diacungi empat jempol, jika dua jempol masih kurang. Buku ini menyuguhkan beragam peristiwa dan cerita malam yang kebanyakan membuat kita ternganga tak percaya. Kebiasaan atau budaya orang-orang malam Jakarta yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Ini bukan perihal percaya atau tidak, namun merupakan tamparan fenomena dari kemajuan itu sendiri. Menurut pengakuan penulis dalam bukunya, Moammar Emka (ME), yang seorang jurnalis di beberapa media lokal Ibu Kota, tentu saja cerita ini didapatkan tidak jauh-jauh dari pergulatan kegiatan liputannya sehari-hari. Tidak kurang enam tahun menekuni dunia tulis menulis, ME pun menelurkan ber...

Review Encoding/Decoding by Stuart Hall

Stuart Hall mengkritik model komunikasi linear (transmission approach) –pengirim, pesan, penerima- yang dianggap tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang ‘momen-momen berbeda sebagai struktur relasi yang kompleks’ serta terlalu fokus pada level perubahan pesan. Padahal dalam proses pengiriman pesan ada banyak kode –pembahasaan- baik yang diproduksi (encode) maupun proses produksi kode kembali (decode) sebagai suatu proses yang saling berhubungan dan itu rumit. Proses komunikasi pada dasarnya juga berkaitan dengan struktur yang dihasilkan dan dimungkinkan melalui artikulasi momen yang berkaitan namun berbeda satu sama lainnya –produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (produksi-distribusi-reproduksi). Landasan Hall atas pendekatan ini adalah kerangka produksi komoditas yang ditawarkan Marx dalam Grundrisse dan Capital, terminologi Peirce tentang tanda (semiotic), serta konsep Barthes tentang denotatif dan konotatif yang bermuara pada ideologi (denotative-connotative-id...

Review The Commodity as Spectacle by Guy Debord

Menurut Debord sistem kapitalisme yang mendominasi masyarakat menciptakan kesadaran-kesadaran palsu para penonton atau audiens untuk memenuhi segala bentuk kebutuhan, baik berupa barang (komoditas) ataupun perilaku konsumtif. Kesadaran palsu ini dibangun melalui citra-citra yang abstrak atau bahkan irrasional, yang dianggap rasional oleh penonton, sebagai bentuk pengidentifikasian diri dalam relasi sosial. Relasi sosial ini bergeser jauh dan dimanfaatkan oleh era yang berkuasa sebagai komoditas dalam dunia tontonan. Kaum kapitalis mempunyai kontrol yang kuat atas apapun termasuk mampu mengubah nilai-nilai personal menjadi nilai tukar. Hal ini sejalan dengan otensitas kehidupan sosial manusia, dalam pandangan Debord, telah mengalami degradasi dari menjadi (being) kepada memiliki (having) kemudian mempertontonkan (appearing). Ketiga aspek ini selalu dikendalikan atau disubtitusikan dengan alat tukar yakni uang. Ketika ketiga aspek ini tidak terpenuhi, penonton tidak hanya terjajah (he...